Di masa lalu, Bung Karno pernah mengatakan, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri.”
Saya ingin mengawali dengan pernyataan, Indonesia ini sering dilanda kegaduhan karena kita terlalu banyak punya kebenaran, satu kelompok ataupun golongan yang mengaggap dirinya paling benar, satu golongan yang lain juga mengaggap dirinya yang paling benar, begitu seterusnya sehingga pada akhirnya kita tak lebih dari para pemburu kebenaran,
Ini akibat tidak adanya kebenaran yang hendak kita sepakati.
Sebentar, sebenarnya sampai sekarang ini kebenaran apa sih yang kita permasalahkan?
Jika melihat suasana lima tahun belakangan setidaknya saya mencatat ada dua problem kebenaran yang sangat subtantif di negara kita yaitu isu seputar kebenaran Ideologi dan kebenaran Politik.
Coba kita kupas satu-persatu
Kebenaran Ideologi
Tentu saya tak hendak mengatakan bahwa kita sudah lupa dengan ideologi kita sendiri. Sejak dahulu kita telah bersepakat dengan sebuah ideologi yang kita sebut Pancasila. Para Founding Father Indonesia, termasuk di antaranya Bung Karno, tentu tidak akan ngawur menyusun dan merumuskan Pancasila, misal tidak akan mungkin ketika merumuskan Pancasila mereka lakukan dengan sembarangan seperti seorang mahasiswa mengerjakan tugas akhir bernama skripsi—main copy paste dan dengan pede-nya di presentasikan di depan dosennya.
Perumusan Pancasila adalah hasil perdebatan panjang para cendekiawan, agamawan sampai kalangan budayawan. Penting sekali saya nyatakan bahwa Pancasila sebenarnya telah berhasil menempatkan kedaulatan rakyat diatas segala-galanya—bahkan (mungkin) diatas kedaulatan Tuhan sekalipun.
Namun, kita yang hidup di negeri dengan beragam suku dan budaya, dengan beragam kelompok dan golongan, dengan beragam kepercayaan dan agama, dengan beragam warna kulit yang berbeda—yang tentu masing-masing membawa kepentingan.
Karena memang tak akan menjadi mudah mengelola negara sebesar Indonesia. Itulah alasan di lambang logo seragam SD sampai SMA selalu terlihat tulisan kecil yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua—adalah sebenarnya solusi yang sudah ditawarkan oleh para pendahulu kita.
Pada suatu hari, saya pernah mendengar perdebatan kecil diantara kawan saya. Mereka berdua membahas sebuah pertengkaran dua ormas Islam terbesar di Indonesia yang satu adalah salah satu ormas yang menyerukan negara islam/khilafah dan yang satu adalah ormas dengan paham moderat dengan menyandingkan Islam dan kenegaraan secara berimbang.
Teman saya yang satu mengatakan, Indonesia adalah negara dengan dengan penduduk yang mayoritas muslim, bahkan konon paling besar di dunia, maka apa salahnya kita buat negara khilafah? Bagi saya menjadi wajar adanya pendapat kawan saya yang satu ini.
Sementara kawan saya yang satu mengatakan, negara khilafah bukan satu-satunya solusi yang harus dan akan ditempuh, karena negara kita punya banyak agama dan keyakinan, kita punya kaum minoritas yang harus diperhatikan, maka satu-satunya jalan adalah Islam Nusantara, ujarnya.
Bayangan saya adalah—tentu semoga saya tidak salah—barangkali Pancasila sebagai ideologi masih belum final untuk disepakati? Atau orang-orang seperti para penganut paham khilafah yang terlambat menyepakati, sehingga sampai sekarang mereka terus saja menggugat?
Terlepas dari itu bagi saya apapun ideologinya selama tidak merusak kemanusiaan dan tentu tidak memecahkan kenapa harus kita halang-halangi?Jawaban yang paling simpel adalah, “yang penting rakyat menyepakati”.
Bukankah di awal saya mengatakan bahwa harus ada kebenaran yang membuat kita semua sepakat. Memang sulit, tapi setidaknya mendekati.
Pilihan Politik
Masalah yang ini—akhir-akhir ini selalu kita lihat—puncak kegaduhan sejak lima tahunan belakang menjadi tontonan gratis bagi kita semua. Bagi saya ini adalah konsekuensi dari kebenaran yang kita sepakati dahulu kala bernama demokrasi. Namun, negeri kita tampaknya masih berumur bayi dalam belajar berdemokrasi. Sehingga tidak heran jika demokrasi kita masih diwarnai kekisruhan.
Namun yang saya sayangkan adalah demokrasi yang sejak dulu khas dengan memanusiakan manusia—malah dicabik-cabik hingga jauh dari kemanusiaan. Kita malah berlomba-lomba melakukan kekacauan dan kekerasan.
Perbedaan pilihan politik adalah salah satu konsekuensi etis dari sebuah negara penganut sistem demokrasi, namun perbedaan itu tentu tidak serta merta membuat kita harus melakukan kekerasan dan kekacauan, hal ini malah menyakiti ideologi kita sendiri, yang seharusnya bahu-membahu menjadi satu kita tak ubahnya diperbudak oleh ego kita sendiri.
Perbedaan pilihan sebenarnya harus sudah kita sepakati sebagai kebenaran lewat wadah yang disediakan negara bernama KPU. Pertengkaran perbedaan pilihan politik seharusnya selesai di perhelatan Pemilu seharusnya tak perlu membawa sentimen politik kepada publik yang malah hanya menimbulkan bermacam konflik.
Saya jadi berpikir apakah ini yang dirasakan Pak Prabowo beberapa waktu silam yang mengatakan tahun 2030 Indonesia akan bubar? Sebuah rasa putus asa terhadap perdamaian yang semakin hari semakin memprihatinkan.
Entahlah, saya membayangkan seandainya Bung Karno akan bangkit dari kuburnya lalu lihat Twitter dan melihat sendiri rakyatnya saling berdebat dan menjatuhkan, pasti betapa bersedihnya beliau melihat bangsa ini sedang gaduh hampir setiap hari. Lalu beliau menangis dan berkata:
“Kapok, Apa kubilang dulu! Perjuangan kalian akan lebih sulit karena kalian akan melawan bangsa sendiri!”