“Eh, kita kumpul di Jakal Atas, ya? Kamu, dari Bantul keberatan nggak?”
Pakai ditanya, ya jelas saya keberatan! Memangnya kamu mau jemput saya?
Namun, mau sampai mulut saya berbusa menjawabnya, pertanyaan tersebut selalu saja muncul kembali ke permukaan. Pertanyaan seperti itu kebanyakan diajukan oleh mereka yang berasal dari luar DIY dan belum lama tinggal di Jogja.
Oke, sebagai gambaran awal, saya ini tinggal di Bantul dan selalu nglaju ke mana-mana. Saya wajib mengalokasikan waktu, minimal banget, dua jam untuk persiapan dan keberangkatan.
Selain itu, kalau harus ke tempat yang belum pernah saya kunjungi sebelumnya, saya masih harus memikirkan jalan mana yang lebih efektif. Khususnya untuk memangkas waktu perjalanan. Ya biar orang lain nggak kelamaan nungguin saya datang.
Selain itu, saya dan beberapa teman yang juga tinggal di Bantul itu memegang prinsip untuk lebih baik pulang daripada menginap di rumah teman. Sini saya jelaskan.
Ke Bantul, dong, kalau berani!
Kemarin banget, salah seorang teman mengirimi saya tautan video dari Tiktok. Isi video tersebut adalah fakta keras bahwa ada bentuk ketidakadilan yang sejatinya selalu hadir menimpa kami, para sobat nglaju daerah Bantul. Ini videonya. Tonton dulu:
@kainetnic Replying to @santosoadji865 Mau daerah mana lagi nih? #anaksleman #anakbantul ♬ Backsound Lucu – Faid rafanda
Kalau sudah merasa pergi ke Bantul itu jaraknya jauh, kok masih bisa mulutnya enteng sekali meminta kami yang ke Sleman saja. Halo?
Salah seorang teman bahkan sampai mencoba menenangkan kemarahan saya yang mulai meledak-ledak. Katanya, warga luar DIY itu memang kadang nggak paham dengan jarak tempuh orang nglaju di Jogja. Padahal, aslinya, orang yang nglaju di Jogja itu harus memangkas jarak tempuh yang jauh banget.
Ya, saya setuju dengan pernyataannya yang demikian. Faktanya, saya saja kalau berangkat kuliah itu harus menempuh 14 kilometer dalam waktu satu jam. Meskipun berulang kali saya mengutarakan keresahan ini, tetap saja setiap ketemuan akhirnya cuma dikasih pilihan: Monjali atau Jalan Kaliurang. Share loc saja kalau gini, berantem kita!
Baca halaman selanjutnya….
Sleman bukan pusat dunia!
Asli, saya curiga, jangan-jangan mereka mengira pusat dunia itu adanya di Sleman, ya? Padahal, di pusat Kota Jogja itu ada banyak kafe yang bisa dijadikan tempat pertemuan selayaknya di Sleman. Misalnya, nih, Legend Coffee atau Kumpeni.
Bisa juga mencari di sekitar daerah Taman Siswa, Prawirotaman, atau Jalan Kranggan itu banyak sekali kafe dan co-working space. Di Bantul pun juga ada Bento Kopi atau Kopi Nuri yang sama persis seperti yang ada di Sleman.
Ya maaf saja, saya masih belum bisa berdamai dengan ajakan ngumpul di Sleman. Ini kalau saya pribadi, lho ya.
Kita nglaju itu nggak cuma memikirkan jarak, lho, tetapi juga cuaca, estimasi waktu pulang, sampai bensin. Kalau cuaca nggak mendukung, kita juga semakin lama berada di jalan. Belum kalau pertemuannya dilaksanakan malam hari dan mundur dari waktu perkiraan. Harus diingat, jarak tempuh untuk kami pulang itu nggak kemudian berkurang jadi setengahnya lho, ya!
Kegelisahan warga Bantul
Padahal kami, sebagai sobat nglaju, mintanya cuma satu, yaitu merasa adil dengan jarak tempuh. Namun, semakin ke sini, saya semakin yakin bahwa memang keadilan soal jarak tempuh cuma dipegang sama mereka yang tinggalnya di Sleman.
Hal-hal sekecil menghargai jarak tempuh inilah yang nggak kemudian dipikirkan oleh mereka ketika mengadakan pertemuan. Padahal, timbal balik itu penting sebagai bentuk rasa dihargai dan menghargai. Wajar makanya kalau saya marah: mangkat kadohan, ora mangkat dadi omongan, terus saiki aku kon piye?
Penulis: Cindy Gunawan
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Bantul, Daerah yang Penuh dengan Kejadian (dan Orang) Aneh
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.