Ketahuilah Wahai Mahasiswa, Kelas yang Sunyi Bikin Kami para Dosen Sakit Hati

Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah

Dosen Bukan Dewa, tapi Cuma di Indonesia Mereka Disembah (Pixabay.com)

Struggle-nya dosen itu bukan hanya soal tri dharma, tapi juga memerangi mahasiswa malas yang kalau kuliah, otak dan hatinya tidak pernah di kelas.

Bayangkan saja, suatu ketika menjelang semester baru, saya mendapatkan surat tugas untuk mengajar mata kuliah Semiotika di semester 5. Tentu sudah menjadi kewajiban saya untuk kemudian belajar, membuat, dan mempersiapkan materi ajar sebelum perkuliahan dimulai. Saya menurunkan buku-buku babon dari Ferdinand de Saussure sampai Charles Sanders Peirce, sebagai bekal memahami konsep dasar semiotika.

Pun buku-buku sekunder dan artikel penelitian yang relevan, saya babat habis. Saya pilih dan pilah betul poin-poin yang selayaknya menarik untuk diketahui oleh mahasiswa.

Kalau sudah belajar model begitu, waktu dan pikiran saya benar-benar terkuras. Begadang bahkan sering menjadi jalan tengah bagi dosen seperti saya karena harus berbagi dengan pekerjaan administratif lain yang juga terpojok deadline. Belum lagi urusan peribadi dan keluarga yang tak mau kalah minta jatah. Tapi tak apa, niat saya tulus, supaya mahasiswa memahami sekaligus tertarik dengan materi kuliah yang saya sampaikan.

Tetapi apa yang terjadi justru mirip peribahasa “air susu dibalas dengan air tuba”. Sepanjang kelas perkuliahan berlangsung, dari materi pembuka sampai penutup, suasana kelas begitu anyep. Sesi diskusi dan tanya jawab yang saya buka berakhir dengan nestapa: tak ada yang bertanya, dan tak ada yang menimpali untuk diskusi. Kalaupun ada yang bertanya, kesannya lebih seperti ungkapan “daripada tidak”. Dengan kata lain, jelas bukan pertanyaan yang berasal dari ketidaktahuan atau keingintahuan.

Apakah saya yang salah?

Dalam hati, saya marah bercampur sedih. Rasanya sia-sia betul mengorbankan banyak waktu untuk sesuatu yang pada akhirnya tidak dihargai. Mereka seharusnya paham bahwa materi ajar yang saya sajikan di perkuliahan bukan barang semalam jadi! Melainkan dari proses intelektual yang panjang dan tak gampang. Lagi-lagi tak apalah, risiko menjadi dosen, batin saya.

Saking green flag-nya saya sebagai seorang pendidik, saya bertanya ke diri sendiri. Apakah mungkin cara mengajar saya yang salah sehingga mereka kurang interested? Atau bahasa yang saya gunakan terlalu menyundul langit, sehingga mereka takut berargumentasi? Demi menjawab pertanyaan-pertanyaan itu, berbagai metode pembelajaran sudah saya coba praktikkan. Dari ketidakpuasan model ceramah berganti ke model pembelajaran berbasis kasus.

Merasa tak ada perubahan yang signifikan ihwal motivasi belajar mahasiswa, saya berpindah dari berbasis kasus ke project. Lagi-lagi hasilnya mengecewakan. Semakin menegaskan bahwa mahasiswa lebih sering tampil diam tak bersemangat daripada action menunjukkan ketertarikan. Dari situ saya menyimpulkan bahwa penyebab ketidaktertarikan mahasiswa pada ilmu bukan semata-mata berada pada cara saya, tapi memang ada sesuatu yang lebih mendasar, yaitu kesadaran belajar yang mulai terkikis.

Jelas saya sebagai dosen bertanggung jawab atas tuduhan itu karena fenomena itu nyata saya hadapi. Tubuh mereka memang hadir di kelas, tapi pikiran mereka boleh jadi melayang entah ke mana. Mungkin di notifikasi ponsel, feed Tik-Tok, atau objek lain yang saya juga tak perlu tahu. Mereka lupa bahwa ilmu tidak akan pernah didapatkan dari ruang kelas yang hening tanpa perdebatan.

Ilmu adalah keputusan akan pengetahuan

Saya jadi teringat ketika dulu sekolah di Tamansiswa, pamong-sebutan untuk guru-kami marah betul jika anak didiknya diam ketika sesi diskusi tiba. Satu kalimat menukik yang mendasari kemarahan itu adalah, “Ilmu adalah keputusan akan pengetahuan. Kalau kalian tidak memutuskan apa-apa, kalian tidak akan memiliki ilmu. Jadi bicaralah!”

Dulu, saya anggap pernyataan itu layaknya petuah bijak belaka. Tapi ketika semakin lama saya terjun di dunia pendidikan sebagai dosen, semakin paham bahwa pernyataan itu adalah jantung dari proses belajar. Yang membuat pengetahuan itu menjadi ilmu adalah keputusan, yakni keberanian untuk menguji, meyakini, bahkan mempertanggungjawabkan apa yang kita putuskan sebagai kebenaran.

Nah, proses menguji, meyakini, dan bertanggung jawab atas kebenaran itulah esensi dari ilmu. Tidak sekonyong-konyong hanya modal duduk di bangku perkuliahan, mencatat apa yang penting, presensi, lalu pulang. Jika tidak memberi keputusan apa-apa pada apa yang kita dapatkan, muskil untuk berilmu.

Celakanya, mayoritas mahasiswa yang saya (dan mungkin dosen lain) hadapi di kelas ini boro-boro berani memutuskan, niat untuk mau menerima pengetahuan pun terasa enggan. Mereka lebih suka menunda keputusan itu. Apa yang mereka lakukan pada kenyataanya membiarkan pengetahuan lewat begitu saja di pikiran mereka, tanpa pernah berupaya untuk mempertanyakan, memperdebatkan, dan mengolahnya.

Mentok beberapa mahasiswa yang mendapatkan predikat “rajin”, menganggap mencatat adalah sebaik-baiknya belajar. Itu tidak sepenuhnya salah, tapi apa gunanya mencatat jika otak tak berupaya untuk merebut makna dari apa yang dicatat.

Mendebat dosen itu justru menunjukkan rasa hormat

Bahaya juga jika perkuliahan minim feedback ini menjadi sesuatu yang normal di kelas-kelas universitas. Proses belajar yang harusnya dua arah menjadi satu arah. Dosen akan menjadi pusat, sedangkan mahasiswa seperti gelas kosong yang ngikut saja mau diisi apa. Tidak ada perdebatan pengetahuan yang dilalui sebelum mendapatkan ilmu. Padahal pengetahuan yang kita dapatkan bisa saja salah, tergantung bagaimana cara kita memutuskan itu tadi.

Nah, kalau proses memutuskan saja tidak pernah diuji dalam kelas, bagaimana kalian bisa tahu bahwa apa yang diputuskan benar secara logic? Bagaimana jika apa yang kita putuskan sebagai pengetahuan itu salah? Pada proses belajar yang demikianlah menuntut critical thinking, level berpikir yang seharusnya menghinggapi sanubari mahasiswa.

Berdebatlah di kelas dengan siapa pun dengan argumen, niscaya semua terlibat di dalamnya akan mendapatkan pendewasaan dalam belajar. Jangan pernah berpikir bahwa bertanya atau mendebat dosen dan teman kalian saat presentasi adalah tindakan yang kurang ajar juncto tidak sopan. Justru diamnya kalianlah yang berpotensi nirempati.

Saya sebagai dosen tidak sedang mencari penghormatan dalam bentuk diam, tapi perdebatan. Saya secara pribadi sangat senang jika apa yang saya sampaikan tak dianggap sebagai kebenaran tunggal. Prinsip saya “semua orang bisa menjadi guru”. Kalian para mahasiswa bisa menjadi guru saya dalam hal apa pun, pun sebaliknya. Syaratnya, kelas harus hidup sebagai ruang menguji pengetahuan.

Tetapi, jika normalisasi kelas-kelas perkuliahan yang sepi ini terus menjangkit, saran saya lupakanlah kalimat heroik kalian bahwa mahasiswa sebagai agent of change.

Penulis: Isnan Waluyo
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Berambisi Jadi Dosen biar Terpandang dan Gaji Sejahtera, Pas Keturutan Malah Hidup Nelangsa

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version