Saya lebih memilih berdiri berdesakan di dalam bis, daripada duduk diam dan menunggu mata terpejam. Sungguh tidak menyenangkan menjadi ngantukan seperti saya. Luput sedikit saja, bisa kelewat tujuan utama.
Sudah tidak terhitung lagi berapa kali saya mendapat kesialan ini. Semuanya bermula ketika saya mulai merasa nyaman bersandar di kursi angkutan. Waktu itu, hampir setiap hari saya naik angkot, karena memang belum punya motor. Sampai sekarang belum punya, sih.
Namanya juga tinggal di Jawa, falsafah hidup nenek moyang pun terbawa dalam tubuh saya. Apalagi kalau bukan witing tresna jalaran saka kulina. Saking terbiasanya bersandar di kursi angkutan, punggung saya kok, ya, jadi kerasan. Bisa dibilang ketagihan. Tidak naik angkot sehari saja, rasanya seperti terpisah lama dari kekasih tercinta.
Brengseknya punggung saya ini, setelah setahun kenal dengan kursi angkutan, lama-kelamaan mata saya diajaknya terpejam. Baru kenal kok ngajak tidur. Mau bagaimana lagi kalau mata saya ternyata gampangan juga? Jadi deh tubuh saya tergolek pulas. Sebagai pemilik sah atas tubuh ini, saya sendiri jadi ikutan menikmati. Brengsek memang.
Sekali. Dua kali. Tiga kali. Sampai pada hitungan kali ke sekian, sopir angkot jadi hafal. Awalnya saya was-was. Selalu berusaha agar tidak tertidur. Apalagi sampai pulas. Diturunkan di tempat yang tidak seharusnya kan, ya, sakit juga. Bisa dibayangkan, to, kepiye rasane? Seperti seorang kekasih yang habis bertengkar dengan pasangannya. Luoruuu, Nda!
Rasa was-was saya di muka, menjadi tenang begitu sopir angkotnya selalu membangunkan saya. Terkadang si Sopir juga suka bercanda. Saya dibangunkan ketika perjalanan kami sudah dua putaran. Muterin kota dua kali itu lama, woy…. Setiap ditanya mengapa, jawabnya nggak mau mengganggu mimpi saya. Dengan begini, saya kan jadi tidak enak hati kalau mau naik angkutan lain. Saya tahu sakitnya diduakan.
Hari-hari berikutnya, saya selalu setia menunggu angkutan tercinta. Mau seberapa lama pun, saya tetap saip sedia. Terkadang, saya malah benar-benar menunggu. Berdandan rapi dan membawa bingkisan rahasia. Berharap dia terkejut dan memeluk saya.
Kebiasaan itu terbawa pada perlakuan saya terhadap kursi-kursi kendaraan lain. Biasanya saya tak pernah menikmati duduk nyaman dalam sebuah perjalanan. Setelah kisah cinta dengan kursi angkutan itu, saya jadi mengidap penyakit ngantukan. Biar pun di bis pasar yang penuh ibu-ibu, saya tetap bisa turu. Apalagi di dalam kereta yang jarang ada orang berbicara. Saya bisa benar-benar dimabuk cinta.
Lebih parah lagi, saya sering mendapati kerepotan seorang teman ketika memboncengkan saya. Bukan punggungnya yang bidang dan bau keringatnya yang mampu membius. Melainkan, kursi kendaraan beroda dua ternyata nyaman juga. Bukan itu juga sih, kayaknya memang dasarnya saja saya yang ngantukan.
Saya sudah mengumpulkan beberapa julukan. Sebagian teman, menjuluki saya pelor, karena setiap menempel langsung molor alias tidur pulas. Julukan ini semula hanya karena kambuhnya penyakit ngantukan saya dalam sebuah diskusi. Waktu itu, saya memang bersandar di dinding. Harapannya agar lebih nyaman, eh kok malah jadi ketiduran.
Sebagian teman yang lain menjuluki saya tuti alias tukang tidur. Saya rasa tuti ini adalah akibat dari ke-pelor-an saya. Di mana pun, seolah-olah saya bisa tidur. Terkadang, dalam kondisi apa pun. Mau telanjang ataupun berseragam sesepatu-sepatunya, saya tidak bisa menghindari hasrat tidur kalau penyakit ngantukan itu kambuh.
Selain menjadi bahan bully, ngantukan saya ini selalu menjadi kambing hitam. Dalam kondisi mengidap penyakit seperti ini, saya tidak bisa menikmati secara utuh sebuah pertunjukkan teater ataupun film. Saya selalu kehilangan satu atau dua adegan. Tidak jarang, adegan-adegan penting.
Bisa kamu bayangkan, bagaimana tersiksanya saya seusai menonton pertunjukkan teater atau film. Ketika teman-teman lain membicarakan adegan demi adegan, saya biasanya hanya bisa mengangguk-angguk mengiyakan. Saya berusaha terlihat mengerti semuanya. Meskipun itu hanya dusta.
Tersiksanya saya sebenarnya bukan sekadar itu. Saya mengerti benar bahwa momen-momen berbincang dengan teman-teman itu mulai langka. Setelah disibukkan dengan urusan masing-masing, menonton dan berdiskusi setelahnya adalah momen yang dinantikan. Sialnya, ngantukan saya masih sering kambuh. Dengan begini, betapa indahnya untuk misuh. Asyu….