Pernah terpikir tidak bahwa perdebatan kontroversial “siapa-yang-bayarin-makan-di-kencan-pertama” sesungguhnya adalah kritik sosial terhadap belum terwujudnya kesetaraan gender di Indonesia?
Gini, gini. Coba ingat-ingat apa yang jadi topik utama dalam diskusi tersebut. Beberapa orang merasa yakin bahwa seharusnya laki-lakilah yang membayar makan malam di kencan pertama sebagai bentuk kesopanan. Sebaliknya, tak sedikit yang percaya bahwa siapa yang ngajak duluan, dialah yang harus membayar. Kayak lirik lagu: Kau yang memulai, kau yang mengakhiri. Kau yang ngajak, kau yang bayarin.
Namun, yang luput dari perhatian orang-orang, ada kemungkinan lain yang mendukung terjadinya kontroversi ini. Mula-mula, mari kita simak data dari Badan Pusat Statistik (BPS).
Disebutkan dalam data resmi, di dunia kerja, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja (TPAK) per Agustus 2020 untuk pegawai perempuan adalah 53,13 persen, sedangkan laki-laki mencapai 82,41. Angka ini mengajak kita semua untuk melihat data yang lain, yaitu data pendapatan. Ternyata, dari segi gaji, jaraknya juga jauh. Kalau per Februari 2020 rata-rata upah buruh laki-laki adalah 2,98 juta rupiah, buruh perempuan hanya dapat 2,35 juta rupiah.
Dari data ini, saya jadi curiga bahwa jarak antara pendapatan pegawai laki-laki dan perempuanlah yang menjadi salah satu penyebab diskusi sengit soal “siapa-yang-bayarin-makan-di-kencan-pertama”. Selagi beberapa orang berfokus pada aspek kesopanan dan kesetaraan, beberapa lainnya mungkin baru saja mengalami kesenjangan yang menyebalkan di slip gaji.
Itu baru satu hal yang bisa kita amati dari PR kesetaraan gender. Di luar nominal pendapatan, ada banyak alasan yang melatarbelakangi rendahnya partisipasi pegawai perempuan dan besarnya jarak antara keberadaan kedua gender. Salah satunya adalah fakta bahwa perempuan—sayangnya—lebih jarang dapat promosi jabatan.
Secara umum, ada lebih banyak pekerja laki-laki di posisi senior manajemen perusahaan, sedangkan pekerja perempuan kebanyakan berada di posisi yang lebih rendah. Sebuah studi menyebutkan bahwa hanya 5 persen perempuan yang berhasil sampai ke level CEO di perusahaan. Bahkan meski ia punya pendidikan lebih tinggi dan pengalaman yang mumpuni, perempuan tak selalu mendapat promosi jabatan yang setimpal jika dibandingkan laki-laki.
Lantas, apakah hal ini akan terjadi selamanya? Eits, tunggu dulu.
Kesenjangan gender dan perbedaan angka Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja laki-laki dan perempuan tentu bukan PR yang bisa diselesaikan dalam semalam. Namun, berkat transformasi digital yang berjalan terus-terusan, kesempatan dan peluang kerja bagi gender mana pun sekarang sudah terbuka lebih lebar.
Beberapa tahun belakangan, tokoh-tokoh pemimpin perempuan mulai bermunculan. Fenomena ini seolah memperlihatkan bahwa apa yang dulu tampak terlalu maskulin kini menjadi sesuatu yang bisa dimasuki siapa saja secara adil. Ada banyak nama yang bisa kita amati, mulai dari Prima Sulistya sebagai Redaktur Pelaksana Mojok.co (cieee), Najwa Shihab yang mendirikan Narasi TV, Maya Juwita sebagai Direktur Eksekutif di Indonesia Business Coalition for Women Empowerment, hingga Melissa Siska Juminto sebagai COO Tokopedia dan Priscilla Anais sebagai AVP Product di perusahaan yang sama.
Dilansir dari IDN Times, Melissa mulanya menjabat accounting and finance lead di Tokopedia pada tahun 2012. Ketekunannya membawa dirinya melesat dengan karier cemerlang, bahkan sempat meraih The Best Marketing Campaign dengan tajuk “Ciptakan Peluangmu” di Tokopedia. Saat ini, dengan jabatan C-level, Melissa bagaikan Dewi Srikandi yang jadi panutan prajurit perempuan.
Namun, ada satu pertanyaan lain yang mengganjal: Dari hebatnya nama perempuan pemimpin perusahaan di atas, pernah nggak, sih, mereka mengalami perasaan kurang percaya diri atau—seperti yang diucapkan oleh tokoh Neti dalam film Imperfect—merasa insecure?
Priscilla Anais adalah jawaban nyatanya. Di usia yang masih tergolong muda, berkat kegigihannya, perempuan lulusan Harvard Business School ini berhasil menapaki jenjang karier dengan pesat dan kini menjabat sebagai Associate Vice President of Product di Tokopedia.
Tanggung jawab yang besar inilah yang kadang membuatnya ragu dan insecure: Benar bisa nggak, ya? Baginya, sebuah perusahaan yang menyerahkan kepercayaan begitu besar pada pemimpin muda adalah sesuatu yang luar biasa. Apalagi, tantangannya banyak dan nggak semudah membalikkan tangan. Sebagai manusia biasa, jelas ia harus berbesar hati dan bekerja sambil belajar bersama seluruh anggota tim. Kalau diibaratkan dalam sebuah pantun, mungkin keadaannya begini: Kalau ada sumur di ladang, boleh kita menumpang mandi. Kalau ada halangan menghadang, sudah pasti harus tetap dihadapi.
Dengan posisi setara dan mengikisnya diskriminasi gender berkat transformasi digital, semakin dekat pula kita pada “ramalan” riset McKinsey tahun 2018 lalu. Disebutkan, kesetaraan gender ini punya potensi meningkatkan perekonomian Indonesia sampai ke angka 135 miliar dolar AS di tahun 2025 nanti. Loh, kok bisa?
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati—yang juga menjadi sosok perempuan pemimpin paling menginspirasi—menyebutkan bahwa ketidaksetaraan gender memang berdampak buruk pada produk domestik bruto (PDB) Indonesia. Akibat kesenjangan gender tadi, kita terancam kehilangan 12 triliun dolar atau setara dengan 16,5% dari total PDB di seluruh dunia.
Untuk itulah, lanjut Sri Mulyani, berbagai kebijakan dikeluarkan untuk mencapai tujuan kesetaraan gender, salah satunya berupa kesempatan bagi para perempuan untuk bekerja di rumah. Dalam hal ini, ia merujuk pada bidang perdagangan online atau e-commerce.
Lagi-lagi, ini soal perkembangan teknologi digital. Selain melahirkan pemimpin, ia bahkan membuka peluang lebih besar untuk perempuan mana saja, di level apa saja. Bukankah ini seperti mimpi yang jadi kenyataan? Mimpi yang menegaskan bahwa kita, sebagai perempuan, bisa menjadi manusia setara dengan laki-laki, dengan peluang yang sama, potensi yang berhak dikembangkan, dan tujuan yang jadi terasa lebih dekat.
Kini, perempuan mana saja yang tengah berusaha sudah pasti punya kemungkinan yang sama untuk berhasil, untuk bangkit dan memimpin apa yang diupayakan sekuat hati. Seperti Sri Mulyani. Atau Najwa Shihab. Atau Melissa Siska.
Atau seperti kamu, yang berusaha tak padam-padam.
Foto dari Instagram Melissa Siska Juminto.
BACA JUGA Mana yang Lebih Baik Mengatasi Pandemi, Pemimpin Perempuan atau Laki-laki? dan tulisan Aprilia Kumala lainnya.