Saya adalah tipikal anak perempuan yang paling tidak suka mendengar omelan ibu di rumah. Masalahnya, ibu saya adalah tipikal ibu yang suka sekali mengomeli anak.
Mungkin dalam pandangan ibu, saya adalah anak perempuan yang harus diomeli setiap hari. Dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Kalau ada sehari saja ibu tidak mengomeli saya, berarti dia akan mengomeli adik saya. Lengkap sekali bukan, kesibukan ibu setiap hari. Profesi ‘tukang ngomel’ pas sekali bagi ibu, bisa diapresiasi dalam bentuk penghargaan tokoh paling aktif bicara dalam keluarga.
“Ini mau bangun jam berapa sih? Anak perempuan mau bangun jam berapa?” itu omelan pembuka yang biasanya saya dengar setiap pagi ketika dibangunkan. Sudah cukup merusak mood pagi saya sebagai anak perempuan. Jauh sekali dengan ekspektasi dibangunkan baik-baik, apalagi akan ditanya “Mimpi apa semalam” atau “Nyenyak tidak, tidurnya” boro-boro dah.
Tak berhenti sampai di sana saja, omelan itu masih to be continue saat kita sudah bangun, sudah cuci muka, tapi malah langsung duduk di kursi sambil memainkan gadget kesayangan. “Jeghe tedung matanah langsong mellak ke hp. Jeghe ra, neghuk po-sapoh joh” dalam bahasa Madura, yang artinya, “Bangun tidur langsung matanya melek liat hp. Bangun nah, pegang sapu sana” hadeh, salah lagi kan.
Sudah, sampai di situ? Oho.. tidak mafren. Episode selanjutnya adalah sesi ketika hendak makan. Biasanya saya makan kalau orang-orang rumah sudah makan semua, rasanya itu lebih enak saja. Daripada nanti pas lagi enak-enak makan, diomelin lagi. Apa ngga keseleg tuh. Strategi ‘makan setelah orang-orang di rumah makan’, ini ternyata tidak efektif juga. Hal ini malah membuat ibu akan mengeluarkan fatwa dan nesehat baru.
“Anak perempuan itu, jangan ke dapur pas makan aja. Kamu pikir nasi itu langsung mateng, ikan itu langsung masak, dan sayur asem itu langsung jadi, mbok ya bantu-bantu masak lah sekali-kali” mendengar itu, selera makan saya langsung ambyar. Memilih melanjutkan makan atau keluar saja dari dapur sambil menelah ludah, rasanya sudah kenyang.
Ada lagi nih, satu momen omelan ibu yang paling diwanti-wanti. Saya tidak suka bila ibu masuk ke kamar, tanpa memberi tahu adanya jadwal kunjungan. Entah itu seminggu sekali atau seminggu dua kali. Ibu akan masuk ke kamar, untuk survey keadaan kamar anaknya. Adakah barang-barang yang tidak pada tempatnya, adakah debu di kaca, lantai, dan sawang-sawang dilangit-langit kamar.
Jika ada satu barang saja, yang menurut dia tidak pada tempatnya. Langsung akan keluar kata-kata mutiara selanjutnya, alias saya diomelin lagi, dimarah-marahi lagi. Bagaimana, sudah macam minum obat bukan, bahkan ini melebihi sehari tiga kali. Ya memang, omelan ibu itu ibarat jamu yang pahit ditelan, tapi akan ada manfaatnya dikemudian hari.
Saya tahu, sebenarnya ibu tidak akan marah-marah jika anaknya tak salah. Tidak akan mengomel setiap hari, jika saja anaknya mau melakukan apa-apa yang menurutnya berada di jalan yang lurus dan benar. Tapi rasanya kebanyakan jalan pemikiran anak, apalagi yang usianya masih belum matang, rawan berbenturan dengan jalan pikiran ibu. Hal itu berhasil saya buktikan saat saya masih seumur jagung, dan betapa seringnya ibu mengomel karena banyak hak yang tidak beres.
Namun setelah sekian tahun hidup berjarak dengan ibu, di tanah perantauan saya baru menyadari bahwa omelan-omelan ibu ketika di rumah, menjadi sangat dibutuhkan ketika saya berada di luar rumah. Hidup bersama dengan banyak orang, dengan kebiasaan yang beragam. Dan faktanya, saya juga merasa kesal jika melihat sesuatu yang tak beres dipandang mata. Alias saya jadi pengen ngomel-ngomel.
Ternyata memang tidak semua orang mendapat pendidikan dengan sistem diomelin seperti saya, yang kemudian hal itu malah menjadi berharga. Sekarang saya jadi tahu rasanya, ketika melihat orang-orang disekitar saya, yang suka ngaret, suka malas-malas, tidak menjaga kebersihan, dan cenderung hidup idealis, menjadi sangat meyebalkan.
Saya, secara refleks kadang suka tiba-tiba ngomelin teman satu kamar yang biasanya bangun kesiangan. Suka ngomel ketika ada barang-barang berantakan di kamar, suka marah-marah jika ada yang ikut makan tapi ngga ikut masak nasi. Ini kebiasaan ibu saya yang suka ngomel-ngomel, saya tidak suka diomeli jika di rumah. Tapi ketika hidup di luar dan menemukan orang-orang model saya (ketika di rumah), membuat saya sendiri kesal dan greget melihatnya.
Hidup dengan rapi itu ternyata penting, dan ini sebuah kenyamanan yang diinginkan semua orang. Tapi jarang sekali yang mau peduli dengan itu. Dimulai dari kebiasaan-kebiasaan positif, hidup akan menjadi positif, dan akan berdampak positif. Bahkan tak hanya bagi diri sendiri, melainkan juga bagi orang lain yang hidup di sekitar kita.
Jadi sebaiknya, bagi kalian yang suka diomeli ibu ketika di rumah. Jangan langsung tutup telinga, dan kabur ketika diomeli. Melainkan juga mengambil beberapa hal penting, poin penting dari nesehat ibu yang berwujud omelan itu. Ibu hanya ingin membentuk sebaik-baik anaknya, membekali anaknya dengan berbagai pelajaran kehidupan. Sebab kita tak hanya hidup di dalam rumah, melainkan juga di luar rumah, dengan banyak orang, dengan banyak kebiasaan yang beragam.
BACA JUGA Halo IndoAlfa, Sebagai Ibu Rumah Tangga Saya Usul Pajang Kinder Joy di Tempat Kapur Barus Aja atau tulisan Alhaditsatur Rofiqoh lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.