Kereta Api Sancaka Utara akhirnya kembali, dan warga pantura tak lagi kebingungan untuk menjelajah kota-kota di selatan
Pemberlakuan Gapeka 2025 mulai 1 Februari 2025 ditandai dengan transformasi skala besar pada layanan kereta api di seluruh Indonesia. Ada yang rute perjalanannya berubah, kelasnya berganti, sampai kemunculan kereta-kereta baru yang meramaikan jagad perkeretaapian tanah air. Selain itu, ada juga kereta api yang dibangunkan dari tidur oleh KAI untuk kembali mengeksplor rute yang unik.
Kereta api itu adalah Sancaka Utara yang comeback setelah 5 tahun dibekukan akibat pandemi. Bangkitnya Kereta Api Sancaka Utara tidak hanya jadi pelengkap jadwal semata. Ini adalah angkutan darat yang sudah lama dinantikan oleh warga pantura untuk bepergian ke daerah-daerah di selatan Jawa.
Daftar Isi
- Berlari kembali setelah vakum 5 tahun
- Kembali ke peradaban
- Melewati jalur yang sempat mati suri
- Singgah di stasiun yang jarang diketahui
- Sancaka Utara juga menjelajah Gemolong
- Sancaka Utara, penolong warga pantura untuk menjangkau daerah selatan
- Sancaka Utara, penolong warga utara yang ingin liburan ke selatan
Berlari kembali setelah vakum 5 tahun
Sancaka Utara bukan tergolong pendatang baru di jajaran kereta api. Bila kita mundur ke lini masa tanggal 1 Desember 2019, saat itulah kali pertama kereta ini diluncurkan. Ramai sambutan positif ditujukan karena melayani rute yang menarik dan baru diciptakan, Surabaya Pasar Turi-Kutoarjo PP. Sancaka Utara bergerak dari utara Jatim kemudian berbelok ke lintas tengah Jawa dan berakhir di jalur selatan.
Berdasarkan jadwal yang rilis 2019 lalu, Kereta Api Sancaka Utara bertolak pukul 07.00 WIB dari Surabaya dan tiba di Kutoarjo pukul 14.07 WIB, sementara dari arah Kutoarjo berangkat pukul 17.15 WIB dan sampai di Surabaya dini hari pukul 00.35 WIB. Estimasi waktu tempuhnya sekitar 7 jam untuk perjalanan Surabaya-Kutoarjo dan sebaliknya. Sancaka Utara berhenti di 6 stasiun termasuk 2 stasiun besar langganan sobat traveler yaitu Solo Balapan dan Yogyakarta.
Kereta api ini terpaksa dihentikan pada 31 Maret 2020 meski belum lama beroperasi. Pagebluk COVID-19 jadi biang keroknya sehingga pemerintah menerapkan kebijakan lockdown yang menyebabkan seluruh perjalanan kereta api dibatalkan demi mencegah penularan virus. Direksi KAI saat itu belum bisa memastikan sampai kapan Sancaka Utara vakum.
Sempat beredar isu akan dihapus, hilal akhirnya terlihat di penghujung 2024 lalu. Survei online buatan KAI untuk menilai tingkat antusiasme terhadap kemungkinan kembalinya Sancaka Utara direspons baik oleh masyarakat. Mayoritas responden meminta agar Kereta Api Sancaka Utara dimasukkan dalam agenda Gapeka 2025. Aspirasi tersebut ternyata benar-benar didengar oleh kantor pusat di Bandung.
Kembali ke peradaban
Sancaka Utara kembali lagi ke peradaban dengan rute anyar hasil perpanjangan. Pemberhentian terakhirnya tidak lagi di Kutoarjo, melainkan pindah ke Cilacap. Perubahan tersebut membuat Sancaka Utara harus berlari sejauh 502 km melintasi 20 stasiun masih termasuk Solo Balapan dan Yogyakarta. Dengan jumlah stasiun pemberhentian yang bertambah, otomatis estimasi waktu tempuhnya juga bertambah menjadi sekitar 9 jam untuk perjalanan Surabaya-Cilacap dan sebaliknya.
Sancaka Utara mangkat dari Surabaya pukul 07.00 WIB dan tiba di Cilacap pukul 15.58 WIB, sementara dari Cilacap berjalan pukul 17.10 WIB dan berhenti di Surabaya esok hari pukul 02.58 WIB. Formasi rangkaian versi 2025 masih sama dengan versi 2019, yaitu gabungan gerbong eksekutif mild steel dan bisnis. Tetap dipakainya gerbong bisnis seolah memberi isyarat kalau layanan kereta kelas dua masih bisa eksis mengabdi walaupun unitnya semakin langka.
Melewati jalur yang sempat mati suri
Sebelum dilalui Sancaka Utara pada 2019, jalur ini sempat mati suri dan hilang dari peta sejak 2010. Jalur Gambringan-Gundih terakhir kali melayani perjalanan kereta api ketel BBM dari Kilang Minyak Cepu menuju Rewulu. Jalur ini mendadak sepi dari lalu lalang setelah Pertamina menyetop operasional kereta api tersebut.
Keberadaan jalur Gambringan-Gundih dapat dilacak sejak zaman kolonial. Pemrakarsanya adalah Nederlandsch Indische Spoorweg Maatchappij (NIS) sebagai bagian dari proyek jalur yang menghubungkan Stasiun Surabaya NIS (Surabaya Pasar Turi) dengan Semarang Tawang. Pembangunannya dimulai secara bertahap antara 1900-1903 setelah NIS memperoleh konsesi pada 1896.
Petak Gambringan-Gundih yang dibuka pada 1903 dengan panjang 10 km awalnya berfungsi sebagai satu-satunya jalur dari Surabaya menuju Semarang. Penumpang harus turun dan berganti kereta api di Stasiun Gundih untuk melanjutkan perjalanan sebelum 1924. Hal itu disebabkan karena perbedaan lebar rel yang dipakai, yaitu 1.067 mm (Surabaya-Gundih) dan 1.435 mm (Gundih-Semarang).
Status jalur Gambringan-Gundih sekarang ditetapkan sebagai semiaktif. Kereta api akan lewat sini apabila ada insiden darurat seperti kecelakaan atau bencana alam di lintas utama Surabaya-Semarang. Seperti yang terjadi belum lama ini ketika banjir besar luapan Sungai Tuntang mengakibatkan rel di petak Gubug-Karangjati terputus berhari-hari. Alhasil, beberapa kereta api seperti Harina, Sembrani, hingga Argo Bromo Anggrek terpaksa diungsikan lewat jalur Gambringan-Gundih.
Kini hanya Sancaka Utara saja yang rutin melewati jalur ini 2 kali sehari pasca penerapan Gapeka 2025. Meski begitu, masinis dilarang menggeber keretanya di atas ambang batas kecepatan 40 km/jam karena kondisi rel dan bantalannya tidak sebaik di lintas utama. Perbaikan prasarana sedang diusahakan oleh KAI agar perjalanan di jalur ini jadi lebih cepat dan nyaman, khususnya untuk Sancaka Utara.
Singgah di stasiun yang jarang diketahui
Ini pengalaman lain yang didapatkan kalau naik Sancaka Utara, yaitu singgah di stasiun yang jarang diketahui. Pasti masih banyak orang yang belum tahu tentang keberadaan 4 stasiun ini. Sebetulnya wajar karena keempatnya memang bukan langganan pemberhentian kereta api. Kebanyakan kereta api hanya numpang lewat saja di sini sambil membunyikan klakson dari lokomotif.
Stasiun yang pertama adalah Kradenan. Masuk dalam kategori kelas II, stasiun ini dulunya punya percabangan menuju eks Stasiun Wirosari milik maskapai Semarang-Joana Stoomtraam Maatschappij (SJS). Bangunan yang ada saat ini adalah bangunan baru yang dipakai sejak 2014 menggantikan bangunan lama. Selain Sancaka Utara, kereta api yang berhenti di Stasiun Kradenan setiap hari adalah Ambarawa Ekspress (Surabaya Pasar Turi-Semarang Poncol) dan Blora Jaya (Cepu-Semarang Poncol).
Berikutnya Stasiun Gambringan yang juga tergolong stasiun kelas II. Sudah berdiri sejak 1903, stasiun di Kecamatan Toroh Kabupaten Grobogan ini sebelumnya hanya bertugas untuk mengawasi persusulan antarkereta. Sancaka Utara adalah satu-satunya kereta api yang berhenti reguler di Gambringan mulai 2025. Dari stasiun ini terdapat percabangan single track menuju Stasiun Solo Balapan di selatan.
Sancaka Utara juga menjelajah Gemolong
Masih di wilayah Grobogan terdapat stasiun dengan langgam arsitektur Chalet khas Eropa yang cantik dipandang mata. Stasiun Gundih jadi saksi bisu pembangunan jalur Kedungjati-Gundih sebagai kelanjutan dari jalur Semarang-Tanggung. Dibuka pada 10 Februari 1870 stasiun ini terletak di zona strategis pertemuan jalur dari Semarang, Gambringan, dan Solo.
Menyandang status stasiun kelas I membuat aktivitas naik-turun penumpang di Gundih cukup intens. Kereta api Brantas (Blitar-Pasarsenen), Matarmaja (Malang-Pasarsenen), Joglosemarkerto (Semarang Tawang-Solo Balapan), dan Banyubiru (Semarang Tawang-Solo Balapan) sudah lebih dulu singgah di Gundih sebelum Sancaka Utara.
Terakhir ada stasiun kecil atau kelas III bernama Salem. Lokasinya di Gemolong Kabupaten Sragen sehingga tidak jarang disebut Stasiun Gemolong. Keunikan dari Stasiun Salem terletak pada bangunannya yang masih otentik era NIS dari 1870. Meski kecil dan lebih mirip halte, Stasiun Salem kini juga melayani pemberangkatan kereta api Joglosemarkerto (Semarang Tawang-Solo Balapan), dan Banyubiru (Semarang Tawang-Solo Balapan).
Sancaka Utara, penolong warga pantura untuk menjangkau daerah selatan
Kembalinya Sancaka Utara adalah momen kebahagiaan bagi warga pantura khususnya Lamongan, Babat, Bojonegoro, dan Blora. Bagaimana tidak, vakumnya Sancaka Utara imbas pandemi membuat mereka kesulitan untuk menjangkau daerah selatan dengan kereta api. Pilihannya hanya dua, transit dulu di Surabaya dan Semarang atau pindah ke moda transportasi darat lain seperti bus antarkota dan mobil travel via Tol Trans Jawa.
Mengutip dari media online, banyak warga keempat daerah tersebut mengeluhkan ribetnya untuk sampai selatan. Beberapa di antaranya berstatus sebagai mahasiswa kampus yang ada di Solo dan Yogyakarta. Matinya Sancaka Utara membuat mereka kekurangan opsi transum untuk pulang kampung dari perantauan.
Seperti kisah seorang mahasiswi asal Blora yang berkuliah di Yogyakarta. Sebelum Kereta Api Sancaka Utara kembali, ia merasakan pengalaman pulang kampung yang tidak efektif secara waktu. Butuh waktu 8 jam perjalanan menggunakan mobil travel dari Yogyakarta menuju Cepu. Bila dibandingkan kereta api, waktunya bisa dipangkas menjadi 4-5 jam untuk rute yang sama.
Sancaka Utara, penolong warga utara yang ingin liburan ke selatan
Masalah lain datang saat musim liburan panjang tiba di mana permintaan dari warga pantura untuk plesir ke destinasi wisata terutama di Solo dan Yogyakarta melonjak. Situasi seperti ini sejatinya adalah ladang cuan bagi KAI. Namun karena tidak ada kereta yang langsung menuju selatan membuat perusahaan gagal menambah pundi keuntungan. Persoalan-persoalan di atas mendasari KAI untuk membangunkan lagi Sancaka Utara.
Beruntung warga pantura sudah bisa kembali menikmati layanan Kereta Api Sancaka Utara. Sepur yang selama ini dinantikan menjadi penolong di tengah keterbatasan pilihan transum menuju daerah selatan. Harapannya, Sancaka Utara dapat bertahan lama seperti saudara tuanya, Sancaka “Selatan” (Surabaya Gubeng-Yogyakarta) agar makin banyak warga pantura yang terbantu.
Penulis: Muhammad Luthfi Lazuardi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Joglosemarkerto, Kereta Loop yang Bikin Jogja Lebih Mudah Dijangkau Anak Pantura