Kendal Itu Persis kayak MU: Punya Kekayaan, tapi Nggak Bisa Apa-apa, Alih-alih Berjaya, Malah Konsisten Jadi Medioker!

Kendal, Daerah Medioker yang Masih Punya Hal-hal Baik di Dalamnya

Kendal, Daerah Medioker yang Masih Punya Hal-hal Baik di Dalamnya (Wikimedia Commons)

Jujur saja. Ngomongin soal Kabupaten Kendal, di benak kebanyakan orang Jawa Tengah—dan mungkin sebagian besar Pulau Jawa—yang terlintas cuma satu hal: daerah di Jalur Pantura yang ada di pinggiran Kota Semarang.

Kendal adalah tempat di mana kamu mempercepat kendaraan setelah lepas dari macetnya Semarang, atau cuma tempat singgah saat kamu kebelet buang air atau sekadar mampir mencari masjid untuk salat di perjalanan. Kendal adalah titik transit, persimpangan yang terlupakan.

Padahal, wilayah Kendal itu sebenarnya sangat strategis, berada di pesisir pantai utara Jawa Tengah, diapit oleh Kota Semarang dan Kabupaten Batang. Posisinya berada di jalur Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, Semarang, Purwodadi) yang diharapkan menjadi kawasan metropolitan dan pusat kegiatan ekonomi internasional.

Dengan status yang sekeren itu, kabupaten ini harusnya jadi pusat pertumbuhan yang dinamis. Tapi ironisnya, Kendal justru kerap dicap sebagai kabupaten berkembang yang tidak punya identitas yang jelas, sebuah entitas geografis yang sebenarnya ada, tapi seolah tak ada karena tidak memiliki ciri khas atau keunggulan yang mampu menonjol di kancah regional maupun nasional.

Daerah ini memiliki segalanya, mulai dari laut, pegunungan, industri besar, dan warisan budaya kuat. Tapi semua berjalan sendiri-sendiri, ala kadarnya, dan terkesan pasrah dalam bayang-bayang daerah lain. Kendal seperti tidak punya gairah untuk menerobos batasan ketidakjelasan itu. Dari semua kategori itu, tidak ada satu pun yang benar-benar jadi identitas yang menonjol. Ibarat istilah sepak bola, Kendal adalah daerah medioker.

Kawasan Ekonomi Khusus Kendal: baju mahal tapi kantong tetap tipis

Sektor industri pengolahan adalah penopang utama perekonomian Kendal. Kehadiran Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kendal atau Kawasan Industri Kendal (KIK) menjadi sebuah terobosan ekonomi bilateral yang ambisius antara Indonesia dan Singapura yang seharusnya menjadi lokomotif utama yang mengangkat derajat daerah ini.

Sekilas, proyek investasi triliunan rupiah ini memang menjanjikan. Tapi nyatanya, data dan fakta di lapangan justru menunjukkan hal yang sebaliknya.

Salah satunya adalah kegagalan penyerapan tenaga kerja lokal. Meskipun KIK membutuhkan ribuan pekerja, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) di Kendal belum menunjukkan penurunan yang signifikan, bahkan sempat meningkat. Hal ini menunjukan jurang lebar antara kebutuhan industri akan tenaga kerja terampil dengan ketersediaan SDM lokal. Investasi masuk, tapi manfaatnya didominasi oleh pendatang atau pekerja dari luar daerah, membuat janji manis KIK tidak dirasakan secara langsung oleh masyarakat.

Kapasitas fiskal daerah juga tidak kalah ironis. Meskipun volume ekonomi Kendal didorong oleh industri, kapasitas fiskal daerah ini masih dikategorikan sangat rendah. Ini berarti pemerintah daerah belum mampu mengoptimalkan pendapatan dari sektor-sektor unggulan tersebut, baik melalui retribusi, pajak, maupun kontribusi lainnya.

Akibatnya, Kendal kesulitan mendanai pembangunan infrastruktur secara mandiri, yang berdampak pada buruknya kualitas jalan dan fasilitas publik yang serba terbatas.

Tidak selesai di situ saja, KIK juga memberikan ancaman ekologis akibat alih fungsi lahan. Perluasan kawasan industri telah mengorbankan lahan pertanian, tambak, dan pesisir.

Alih fungsi lahan ini tidak cuma menghilangkan mata pencaharian tradisional, tetapi juga memicu masalah lingkungan baru, seperti peningkatan suhu di beberapa kecamatan dan potensi risiko bencana rob yang lebih parah. ini menunjukkan lemahnya tata kelola ruang dan keberpihakan ekologi dalam perencanaan pembangunan.

Yang lebih ironis adalah, setelah semua kebijakan ekonomi itu, Kendal tidak kunjung mendapat identitas sebagai daerah industri yang maju. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi hanya dinikmati oleh segelintir investor besar, sementara pembangunan dan pemerataan tetap berjalan di tempat, dan Kendal masih tetap menjadi daerah medioker.

Branding identitas yang gagal tumbuh

Jika ada satu identitas yang paling sering dijual, itu adalah “Kota Santri,” merujuk pada warisan keagamaan yang kuat dan dominasi pesantren di Kecamatan Kaliwungu.

Namun, identitas historis yang mahal ini cuma berhenti di batas seremonial keagamaan dan stempel administratif, gagal total untuk bertransformasi menjadi brand daerah yang berdaya saing secara ekonomi. Kendal sejatinya dianugerahi potensi pariwisata yang lengkap, ironisnya, potensi itu tidak pernah dieksekusi dengan baik menjadi identitas yang jelas.

Kendal memiliki wisata religi di Kaliwungu. Identitas “Kota Santri” seharusnya bisa menjadi magnet setara Ampel (Surabaya) atau Banten Lama. Tapi, alih-alih mengemasnya sebagai destinasi utama yang terpadu, Kendal membiarkannya berdiri sendiri. Tidak ada support system yang memadai dalam menunjang destinasi wisata religi sebagai sumber daya yang menyumbang multiplier effect yang signifikan bagi ekonomi lokal.

Kendal juga punya wisata alam pegunungan, seperti Curug Sewu dan Kebun Teh Medini. Padahal kendal memiliki aset premium seperti Curug Sewu, salah satu air terjun tertinggi di Jawa Tengah. Tapi di mata investor dan turis, aset ini tidak ada harganya.

Mengapa? Karena di sana, yang ada cuma aksesibilitas yang menyiksa, fasilitas pendukung yang minim dan promosi berskala regional/nasional yang nyaris nihil. Potensi di sektor ini tenggelam, kalah jauh oleh self-branding desa-desa wisata di Ungaran yang jauh lebih agresif.

Baca halaman selanjutnya

Punya pantai, tapi kalah sama Jepara dan Batang

Punya wisata maritim, tapi kalah jauh dari Jepara dan Batang

Tidak cuma itu, Kendal juga punya wisata maritim/pantai. Kendal punya garis pantai yang panjang. Sayangnya, ia gagal meniru kesuksesan Jepara atau Batang. Kawasan pantai Kendal terkesan kumuh, minim sentuhan desain modern, dan sering kali terancam abrasi atau tergerus limbah.

Akibat final dari kegagalan branding terpadu ini membuat citra Kendal di mata publik nasional tidak lebih dari sebuah titik lewat di Jalur Pantura. Kendal cuma sebuah daerah yang wajib dilewati demi mencapai tujuan yang lebih menarik. Kendal seolah tak tahu harus menjual apa, sehingga kini, identitasnya dipaksa cuma menjadi lokasi bagi pabrik-pabrik Kawasan ekonomi Khusus (KEK), sebuah narasi autopilot yang minim kreativitas dan rawan konflik sosial-ekologis.

Inilah wujud paling nyata dari daerah medioker. Punya segalanya, tapi tak tahu cara membuatnya menjadi istimewa.

Integrasi tiga kekuatan dengan visi mandiri

Kendal cuma bisa keluar dari jebakan medioker dengan merumuskan ulang identitasnya dan mengintegrasikan tiga kekuatan utamanya, yaitu industri, spiritualitas, dan sumber daya alam. Kendal harus mengikat industri pada kesejahteraan lokal.

KIK harus diwajibkan untuk berkolaborasi dalam menyusun program vocational training yang spesifik. Selain itu, Kendal perlu memberikan insentif khusus bagi industri yang bersedia membangun rantai pasok lokal (local supply chain), khususnya di bidang pengolahan hasil laut dan pertanian. Ini memastikan adanya efek manfaat dari investasi asing ke dompet warga lokal.

Lalu, mewujudkan Kendal sebagai smart industrial city. Kendal tidak harus meniru Semarang, tetapi harus menjadi smart industrial city yang unik. Ini berarti infrastruktur perkotaan harus dibangun dengan standar tinggi yang sesuai dengan statusnya sebagai daerah industri, bukan lagi sebagai desa besar yang berada di pinggiran kota.

Kendal juga bisa menggunakan semangat Kota Santri sebagai nilai inti (core value) yang diterjemahkan menjadi keramahan, integritas, dan kebersihan dalam semua aspek pelayanan publik, pariwisata, dan etos kerja industri. Wisata alam dan religi harus dikemas dalam satu paket promosi yang cerdas. Membangun sebuah city branding yang fokus pada slogan: “Kendal Sebagai Pusat Industri dengan Hati Nurani Santri.”

Kendal harus punya identitas jelas

Kendal harus berjuang mendapatkan identitas yang jelas. Salah satu dari kategori atau bahkan jika perlu semua kategori itu digabungkan menjadi satu menjadi identitas daerah yang benar-benar baru karena memiliki semua sumber daya yang menunjang kemajuan peradaban dan ekonomi.

Itu kalau Kendalnya mau, kalau nggak ya, terserah kalian aja. Palingan juga kalian bakal jadi kayak Manchester United yang sekarang jadi tim medioker, punya segalanya tapi tetep jadi badut di liga Inggris. Kendal juga tetep bakal jadi daerah medioker kalau masalah ini nggak segera ditangani. Punya segalanya, tapi bakal tetep jadi badut pantura.

Penulis: Esha Mardhika
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Kendal, Daerah Medioker yang Masih Punya Hal-hal Baik di Dalamnya

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version