Beberapa waktu yang lalu, di Facebook beredar postingan lama Ivan Lanin karena dibagikan oleh banyak orang. Postingan tersebut terkait dengan konten milik Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa yang berada di bawah naungan Kemendikbud yang disebut “Ejaan Hari Ini”. Konten itu berisi tentang ejaan yang yang salah dan benar menurut Badan Bahasa tersebut.
Postingan tersebut ramai karena banyak jokes yang beredar tentang ejaan-ejaan tersebut. Salah satu kata yang banyak dijadikan jokes adalah kata capek yang di dalam konten tersebut dianggap salah karena yang benar capai. Ada seorang netizen yang menulis “Ingat, woooi! Yang benar itu “’Capailah Cita-cita’, BUKAN ‘Capeklah Cita-cita’”. Ya, itu menjadi rancu karena capai dengan maksud capek penulisannya sama dengan capai dengan maksud raih. Selain itu ada yang memposting foto tokek menempel di dinding dan menulis caption “… dan tokek menyusul datang.”, di kolom komentarnya ada yang menulis, “yang benar tokai sebagaimana capek ditulis capai.”
Jika dilihat satu persatu, ada beberapa ejaan yang benar menurut Badan Bahasa tersebut memang terasa asing, aneh, atau malah lucu. Yang pertama tentu saja capek yang menurut Badan Bahasa salah, dan yang benar adalah capai. Yang lain di antaranya: sate dianggap salah, yang benar satai; umroh dianggap salah, yang benar umrah; panu dianggap salah, yang benar panau; sholawat dianggap salah, yang benar selawat.
Sebagaimana yang kita ketahui, ejaan bahasa Indonesia itu sangat teknis. Sebuah kata terbentuk dengan menggabungkan ucapan setiap huruf dengan huruf vokal sebagai huruf penghubung huruf konsonan. Misalnya S A Y A, dibaca saya. Tidak seperti bahasa Inggris yang antara pengucapan tiap huruf terasa tidak konsisten karena jika digabung menjadi berbeda pengucapannya. Misalnya U N D E R dibaca ander. Padahal U dbaca yu, E dibaca i. Kalau konsisten tentu saja bacanya bukan ander, tetapi yundir.
Berkaitan dengan ejaan yang benar menurut Badan Bahasa tersebut saya tidak paham. Apakah aturan membaca dalam bahasa Indonesia itu mau diubah seperti bahasa Inggris, yang antara tulisan dengan ucapan seringkali tidak konsisten?
Misalnya, dalam kata satai memang untuk penulisan saja. Dibacanya tetap sate. Apalagi, setahu saya, tidak pernah dalam sehari-hari orang mengucapkan kata satai yang cenderung tidak praktis pengucapannya. Sebab, di akhir huruf A bergabung dengan I yang pengucapannya jika digambarkan dengan garis akan seperti garis bengkok seperti anak kecil menggambar gunung dengan satu puncak. Yang jelas di lidah akan sangat terasa lebih mudah mengucapkan sate. Kalau memang mau dibuat seperti bahasa Inggris, bahasa Indonesia akan terasa aneh.
Atau, penulisan satai itu maksudnya hanya dipergunakan untuk sesuatu yang bersifat formal akademis atau formal birokratif. Tapi, kapan kata satai akan digunakan secara formal akademis atau formal birokratif? Bukankah penulisan tentang salah satu jenis makanan itu seringkali hanya untuk papan nama sebuah warung. Misalnya, Warung Sate Pak Pong. Bukankah aneh jika tiba-tiba berubah menjadi Warung Satai Pak Pong.
Atau, ada tujuan lain. Kalau ada, apa?
Itu baru satu kata, satai. Belum kata yang lain. Coba bayangkan Anda ngobrol dengan seseorang dengan tema umroh, tapi Anda menyebutnya dengan umrah karena mengikuti ejaan yang benar menurut Badan Bahasa. Alih-alih ngobrol tentang umroh, Anda dengan lawan ngobrol Anda pasti akan membahas mana yang benar. Kata umroh yang lumrah disebut di masyarakat atau penyebutan umrah yang benar menurut Badan Bahasa.
Kira-kira seperti ini jika obrolan tersebut disimulasikan:
“Eh, katanya pak itu mau umrah lho,” Anda bertanya.
“Umrah? Apa sih umrah?” jawab lawan bicara Anda.
“Itu lho, pergi ke Mekkah, selain haji,” jawab Anda.
“Oalah, umroh to maksudmu?”
“Kalau menurut Badan Bahasa yang betul umrah, bukan umroh”.
Atau, coba Anda bayangan pergi ke apotek bilang, “permisi, mau beli obat panau.” Alih-alih dilayani, Anda pasti akan ditanya ulang, “Obat apa?”, oleh pegawai apotek. Dan Anda malah memperlama diri dengan menjelaskan bahwa panau itu maksudnya panu, alih-alih beli obat, bayar, pulang.
Sebenarnya sebelum ejaan-ejaan itu ramai, sudah ada kata baku bahasa Indonesia yang rancu, karena pada akhirnya tidak diucapkan sesuai tulisan. Salah satunya bus. Dalam pengucapan tidak pernah orang mengucapkan bus, pasti mengucapkannya bis. Entah itu dalam urusan formal maupun tidak. Seharusnya hal semacam itu dikoreksi, ditulisnya bis saja, karena toh diucapkannya bis.
Pembaharuan bahasa, bisa juga dengan mengoreksi hal-hal yang kurang pas walau sudah digunakan sangat lama sebagaimana kata bus yang sering diucapkan bis itu. Bukan malah mengubah yang sudah umum di masyarakat menjadi sesuatu yang aneh, asing, dan lucu.
Sumber gambar: Pixabay