Sebelum terkenalnya aplikasi Spotify, JOOX, atau aplikasi musik berbasis digital seperti saat ini, pada tahun 2000-an, jika saya ingin mendengarkan sebuah lagu, saya akan membeli kaset dari suatu band favorit, yang memiliki side A dan side B dengan judul lagu berbeda (biasanya ada 10-12 lagu dalam satu kaset), lalu akan didengar melalui di radio tape atau pemutar audio portable.
Selalu ada kenangan tersendiri saat mendengar lagu dengan menggunakan radio tape. Semisal, jika pita kaset kusut, akan menyebabkan lagu tidak enak didengar dan kacau. Jika terjadi hal demikian, saya harus segera mengeluarkan kaset serta merapikan gulungan pita kaset dengan menggunakan pensil, menggulungnya serapi mungkin agar lagu dapat didengar kembali. Ada jenis radio tape yang menggunakan listrik, ada pula yang menggunakan baterai.
Hobi orang tua saya yang suka bermain dan mendengarkan musik ,akhirnya menurun ke diri saya, dari situ saya mulai memiliki band dan musik favorit serta mengoleksi beberapa kaset dari band ternama, mulai dari Sheila On 7, Padi, Dewa, Netral, Peterpan, System of A Down, Good Charlotte, Linkin Park, Simple Plan, dan lain sebagainya. Untuk K-Pop, karena belum setenar saat ini, jadi, belum saya koleksi.
Memang dasarnya saya hobi mendengarkan musik di mana saja dan kapan pun, saya merasa harus memiliki satu gadget yang pada tahun 2000-an cukup tenar dan dimiliki banyak orang. Pemutar audio portable, atau biasa disebut Walkman. Yah, sejenis radio tape yang dibuat mini dan bisa dibawa ke mana-mana. Sebetulnya, Walkman sendiri kepunyaan industri Sony, namun entah kenapa orang-orang terbiasa menyebutnya demikian. Sama seperti ketika kita membeli air mineral di warung, kita akan menyebut produk AQUA, padahal yang diberikan oleh pedagang adalah merk Le Minerale yang ada manis-manisnya itu—yang ajaibnya walau yang diberi adalah merk yang berbeda, tidak menjadi suatu permasalahan.
Jadi, agar mainstream dan mengikuti pola yang ada, kita sebut saja gadget ini Walkman agar tidak repot harus menyebutkan tiga suku kata (pemutar audio portable).
Akhirnya, saya minta dibelikan kado Walkman ke Bapak sewaktu saya kelas 2 SMP. Saya ingat betul merknya AIWA jenis HS-RM186 (jika tidak percaya, boleh googling sendiri bagaimana bentuk dan spesifikasinya). Senang rasanya, akhirnya saya bisa mendengarkan lagu favorit kapan pun dan di mana saja dan berulang-ulang. Kaset pertama saya coba kala itu adalah Linkin Park.
Walkman bisa menyala karena adanya daya dari baterai, sebab itu saya harus menyediakan baterai yang cukup banyak. Awalanya saya menggunakan baterai yang sekali pakai (atau ketika daya sudah habis) langsung buang, namun karena dirasa boros, saya langsung memberi baterai yang bisa di-recharge, agar lebih hemat dan pemakaian baterai dapat berulang-ulang tanpa harus dibuang.
Walkman jenis AIWA (dan juga beberapa jenis yang lain) juga bisa diubah modenya menjadi radio—amat sangat berfungsi ketika saya bosan mendengar lagu dari beberapa kaset saya yang terbatas saat itu. Masih segar dalam ingatan, sebelum masuk tren mendengarkan musik dengan iPod atau ponsel yang dimasukan ke dalam saku, Walkman menjadi pelopor terlebih dahulu dalam hal tersebut. Meski ukurannya agak besar dan lumayan berat jika dikaitkan ke bagian pinggang pada celana—harus diakui memang kurang nyaman untuk dibawa.
Saat masih sekolah, selama SMP sampai dengan SMA, saya selalu membawa Walkman yang memang bisa digunakan saat jam istirahat, atau setidaknya saat di angkot sepulang sekolah. Maklum, pada masa itu, belum ada banyak pilihan media sosial, sehingga tidak banyak yang bisa saya lihat dari ponsel saya. Selain itu, ponsel pun masih berupa monophonic dan polyphonic. Permainan pun hanya sebatas space impact, snake, dan tetris, dengan layar yang belum berwarna.
Setelah teknologi makin berkembang, perlahan ketenaran Walkman memudar dan langsung tergantikan oleh MP3 player yang pada masanya memiliki bentuk yang lebih kecil, warna lebih menarik, dan mudah dibawa ke mana saja, mengingat ukurannya kurang lebih sama seperti flashdisk. Lebih praktis karena tidak perlu menggunakan batre dan hanya perlu di-charge seperti ponsel. Apalagi saat ini sudah ada Spotify, JOOX, dan aplikasi musik lainnya. Saya sendiri menggunakan aplikasi tersebut walaupun yang gratisan dan selalu ada iklan tiap perpindahan lagu.
Seakan ingin terus berinovasi, Sony selalu meng-upgrade segala jenis gadget-nya. Saat ini, walkman terbaru dari Sony memiliki layar sentuh dengan memori internal hingga 128 GB. Sudah pasti beda dengan model terdahulu, tidak perlu baterai apalagi kaset. Tidak perlu lagi repot menggulung pita kaset yang tiba-tiba kusut. Namun, justru kenangan itu yang saat ini saya rindukan. Sekalipun bisa dilakukan lagi, bagi saya, jelas rasanya akan berbeda.