Mendengar nama motor F1ZR mungkin memang asing di telinga sebagian orang, tapi kalau Fis R atau Fiz R saya yakin namanya sangat familiar. Terlebih bagi generasi ’90-an hingga awal 2000-an. Yap, motor bebek dua silinder keluaran Yamaha ini memang pernah menjadi raja jalanan di masanya. Bukan hanya menjadi andalan bagi moda angkut personal, tetapi juga menjadi tunggangan para petarung road race alias balap jalanan.
Pada tulisan ini saya tidak akan menceritakan sejarah F1ZR, tetapi akan menceritakan bagaimana motor ini begitu kuat melekat di memori saya. Belum lama ini, ketika saya hendak berangkat menuju Yogyakarta, saya berpapasan dengan belasan atau bahkan puluhan motor F1ZR dalam sebuah rombongan. Sudah dapat dipastikan kalau mereka adalah sebuah komunitas atau klub motor. Saya berpapasan dengan rombongan tersebut ketika mereka sedang mulai menanjak kawasan Perbukitan Menoreh sisi timur dari arah Yogyakarta. Sementara saya berjalan menurun menuju arah sebaliknya.
Motor Vario yang saya tumpangi langsung melaju pelan, jemari tangan tanpa sadar mencengkram hadle rem secara lebih kuat dari biasanya. Saya begitu menikmati bagaimana motor-motor bebek tua itu meraung-raung menjalani “siksaan” dari pemiliknya dengan dipaksa melahap tanjakan curam nan tajam. Ada yang mulus sampai ke atas, ada juga yang harus berhenti karena tak sanggup melawan batas. Seketika itu, memori saya langsung terbayang F1ZR keluaran 2002 berwarna merah putih yang dibeli bapak pada 2003. Motor itu begitu spesial karena menjadi motor pertama bagi keluarga kami. Ya, keluarga kami memang baru memiliki motor pertama pada 2003, saat saya masih berusia sekitar lima tahun.
Saat itu di desa saya masih belum terlalu banyak orang yang memiliki sepeda motor. Meskipun baru punya motor saat sudah memasuki awal abad ke-21, kami masih cukup nggleleng. Motor itu menjadi andalan untuk berbagai urusan. Mengantar kakak sekolah di kota, mengantar ibu pasar, dipakai bapak bekerja, hingga untuk membawa rumput pakan ternak dan kayu bakar. Pada awal-awal usia, motor itu begitu perkasa dalam menjalankan tugas-tugasnya. Jalanan Perbukitan Menoreh yang naik turun cukup tajam dan seperti sungai kering itu bisa dilibas dalam sekali gas. Sungguh motor yang multifungsi.
Ketika saya SD, kakak saya mengajak untuk menonton balapan road race di Alun-alun Purworejo. Momen itu adalah kali pertama saya menonton balapan secara langsung setelah biasanya cuma nonton MotoGP atau IndoPrix lewat layar kaca televisi. Bersama para pemuda desa, kami pun berangkat. Saya dibonceng kakak dengan tunggangan F1ZR punya bapak itu tadi. Dalam rombongan itu, motor yang dipakai cuma ada tiga tipe yakni F1ZR, Jupiter Z, dan Mio. Tiga motor yang menjadi andalan para pebalap untuk ajang road race. Tentu kami berjalan dengan sangat pede, sebab motor kami sama tipenya dengan yang akan kami tonton untuk pacuan di sirkuit jalanan. Lagi-lagi, kami merasa cukup nggleleng.
Tahun-tahun awal kepemilikan motor itu kami masih begitu memperhatikan kesehatan si motor. Salah satu indikator motor sehat bagi kami adalah suara knalpot dan bau asap yang ditimbulkan. Bapak selalu membeli oli samping merk Castrol dan oli mesin Enduro Racing untuk si motor. Bukan tanpa alasan, bagi orang desa seperti kami, bau asap knalpot adalah tanda kebanggaan. Semakin wangi bau asap yang ditimbulkan, semakin banggalah kami pemiliknya. Dan dua merk oli itu mampu mengakomodasinya.
Memasuki tahun kesepuluh, motor F1ZR itu mulai menunjukkan gelagat sakit. Mesin mulai rewel, bensin tambah boros, pengapian tidak konsisten, dan tenaga juga berkurang. Mulai dari sini, pengalaman tidak menyenangkan mulai datang silih berganti. Meski begitu ia masih menjadi tunggangan andalan saya untuk dipakai sekolah. Saat itu usia saya masih SMP dan saya mengendarainya sendiri setiap hari. Bukan sebab saya anak nakal karena sudah pakai motor sendiri meski baru SMP, tetapi karena memang tidak ada angkutan umum dari desa saya sampai ke kecamatan. Lokasi SMP saya berada jaraknya cukup jauh dari rumah.
Suatu ketika saat pulang sekolah, saya hendak melewati tanjakan tajam letter L dengan samping kanan tebing dan samping kiri jurang. Sudah bersiap menanjak dari bawah, saya agak ragu bakal bisa kuat sampai atas. Benar saja, mesin motor tiba-tiba ngempos di bagian tanjakan paling curam setelah sudut L. Motor lalu mundur dan saya bersamanya terperosok ke jurang bagian kiri. Tapi, untung saja saya masih diberi nikmat sehat, motor juga selamat.
Kebersamaan kami dengan motor itu pada akhirnya menemui titik akhir. Suatu ketika saat saya sudah memasuki usia SMA dan tinggal di kost, ibu saya harus di rawat di rumah sakit. Malam hari setelah dikabari saya langsung menuju tempat ibu dirawat. Betapa kagetnya saya ketika yang terbaring di ruangan bukan cuma ibu, tetapi juga ada bapak saya di sana. Rupanya, bapak mengalami kecelakaan saat hendak menyusul ibu ke rumah sakit pada malam hari.
Motor F1ZR itu lampunya kurang begitu terang. Ketika melewati mbulak dengan jalanan yang lurus, bapak tidak melihat ada tumpukan batu di samping jalan. Tertabraklah batu itu kemudian. Motor ditandu ke bengkel, bapak tetap nyusul ibu ke rumah sakit tapi dengan status sebagai pasien. Gara-gara hal itu, hingga kini bapak tidak bisa duduk tahiyat dengan sempurna. Saat itulah momen terakhir dengan si motor. Bapak akhirnya menjual motor bebek kopling dua tak itu ke bengkel yang menolongnya.
Bagi saya, kenangan bersama motor Yamaha F1ZR adalah sebuah catatan kehidupan yang tidak bisa dihilangkan. Oleh karena itu, ketika melihat motor serupa dijalan, ingatan saya langsung memutar memori lampau yang emosional. Sebuah kisah indah yang meskipun harus berakhir dengan getir.
BACA JUGA Alasan Orang Suka Langsung Komen Artikel Padahal Baru Baca Judul doang dan tulisan Kristianto lainnya.