Kemiripan Hikayat September-Maret Pangeran Diponegoro dan Presiden Sukarno

kesamaan akhir hidup kekuasaan presiden sukarno dan pangeran diponegoro mojok.co

kesamaan akhir hidup kekuasaan presiden sukarno dan pangeran diponegoro mojok.co

Secara kebetulan, akhir September merupakan batas akhir kepemimpinan Pangeran Diponegoro dan Sukarno. Mereka tak mengira beberapa orang kepercayaan menjelma musuh dalam selimut. Kendati yakin atasi masalah, namun kekuatan mereka sudah tak berarti lagi. Mereka juga sama-sama meninggalkan gelanggang pada bulan Maret.

Lewat strategi Benteng Stelsel dan pasukan gerak cepat, Belanda memukul Pangeran Diponegoro dan pasukannya di Siluk pada 17 September 1929. Pemimpin Perang Jawa itu menyelamatkan diri melintasi Sungai Progo dan terus menuju ke barat.

Mungkin saking paniknya, Pangeran Diponegoro lupa pesan Sultan Agung terkait larangan bagi pangeran keturunan Mataram menyeberangi Sungai Bogowonto. Sekitar 26 atau 27 September 1929, ia menerobos larangan itu. Di saat itu, kekuatan Pangeran Diponegoro telah keropos. Termasuk karena panglima perang dan tentaranya banyak yang meregang nyawa, memilih menyerah, atau berkhianat.

Pangeran Diponegoro masih bisa bersembunyi ke berbagai tempat yang menyisakan pendukungnya. Namun, pengkhianatan dari orang dalam dan akal bulus Kolonel Jan Baptist Cleerens menjebaknya pada posisi dilematis harus berhadapan dengan Jenderal Hendrik Merkus de Kock pada 28 Maret 1830.

Lebih dari seabad kemudian, Sukarno juga panik mendengar aksi “pasukan gerak cepat” pada 30 September 1965. Mungkin ia benar-benar buta atas situasi dan kondisi sampai akhirnya terperanjat dengan pembunuhan para pimpinan teras militer pada 1 Oktober 1965 dini hari. Lebih kaget lagi, dia dituduh terlibat di dalamnya.

Jika pada Maret 1830 Diponegoro berunding dengan Jenderal de Kock, di bulan Maret pula Sukarno berunding. Hasil perundingan yang membuahkan Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) di Istana Bogor. Kekuasaan Sukarno benar-benar tamat lewat TAP MPRS RI No. XXXIII/MPRS/1967 tertanggal 12 Maret 1967. Selain mencabut kekuasaan Sukarno, ketetapan MPRS ini juga mengangkat Mayjen Soeharto sebagai pejabat presiden.

Peristiwa ini hanya penegasan pelengseran Sukarno yang sudah dimulai sejak September 1965. Dalam istilah Subandrio, salah seorang kepercayaan Sukarno, Soeharto dan sekutunya melakukan “kudeta merangkak”(creeping coup).

Menurutnya, “kudeta merangkak” meliputi empat tahap. Tahapan pertama, penyingkiran para jenderal pesaing Soeharto. Tahap kedua, memperoleh Supersemar yang kemudian dijadikan dasar pembubaran PKI pada 12 Maret 1966. Tahap ketiga, penangkapan 15 menteri yang loyal terhadap Sukarno pada 18 Maret 1966. Tahap keempat, mengambil alih kekuasaan dari Sukarno.

Menurut Asvi Warman Adam, soal “kudeta merangkak” itu merupakan analisis post-factum, artinya analisis yang dikeluarkan setelah terjadinya peristiwa. Malah menurutnya, pada tahap ketiga bisa ditambahkan dengan pemulangan pasukan pengawal presiden, Cakrabirawa, ke induk pasukan di daerah masing-masing pada pertengahan Maret 1966.

“Kudeta merangkak” juga dilakukan MPRS. Ada pelbagai tahapan dilakukan MPRS mulai dari pengukuhan Supersemar menjadi Tap MPRS No. IX/MPRS/1966 sampai pengangkatan Soeharto sebagai presiden. Sebelum menjadi presiden, posisi Soeharto ditetapkan sebagai “pejabat presiden” yang jelas-jelas tak diatur dalam UUD 1945 (Asvi Warman Adam, 2010).

Istilah “kudeta merangkak” versi Subandrio dan dikembangkan Asvi Warman Adam ini memengaruhi paradigma sebagian besar penulis sejarah. Namun, menurut Salim Said, peristiwa yang terjadi tak memenuhi syarat sebuah kudeta. Yang terjadi, menurut pakar sejarah milter itu, adalah pertarungan kekuasaan Sukarno vs Soeharto. Dengan analisis post-factum, Jenderal de Kock bisa pula dianggap melakukan “kudeta merangkak” terhadap Diponegoro.

Yang jelas, Diponegoro dan Sukarno harus mengalami pengasingan sebagai tahanan politik. Bagi Diponegoro dan Sukarno, bulan Maret benar-benar bulan kelabu. “Bagaimana bisa begini?” ucap Pangeran Diponegoro ketika berada dalam kereta yang berangkat dari Magelang menuju Semarang. Pikiran ini juga dirasakan Sukarno.

Pangeran Diponegoro sejak akhir Perang Jawa telah menderita demam malaria tropika. Dari Semarang, ia singgah di Batavia sebelum dibuang ke Sulawesi. Saat melaut menuju Manado, demam malarianya kambuh sampai istrinya, Raden Ayu Retnoningsih, panik dan menangis. Pasalnya, wajah sang pangeran sudah seperti mayat hidup (Peter Carey 2011).

Sukarno pun sudah lama menderita penyakit ginjal. Dalam autobiografinya, Sukarno berkata, “Pada tahun 1961, aku sakit keras. Di Wina, mereka berusaha mengeluarkan batu dari ginjalku. Saat itu perjuangan kami merebut Irian Barat berada di puncaknya. Timbullah kegembiraan di pihak musuh-musuh kami. Tidak perlu lagi mengutuk Sukarno atau mendoakan dia cepat mati, karena Sukarno sekarang sedang sekarat.”

Bahkan, fisik Sukarno sudah digerogoti penyakit. Dari hasil general checkup pada 30 Juli 1967, Hartini yang setia merawat Sukarno sempat cemas karena tingginya tensi Sukarno (180-190/110-130). Ginjal kirinya sudah tak berfungsi, sedangkan fungsi ginjal kanan tinggal 25 persen. Selain itu, ada penyempitan pembuluh darah jantung, pembesaran otot jantung, dan gejala gagal jantung.

Pada 6 Agustus 1967, setelah terbatuk-batuk keras, dada kiri Sukarno acap kali terasa nyeri. Ketika di-rontgen terlihat ada rusuknya yang retak. Dari hasil pemeriksaan paru-paru, Sukarno juga mengalami paru-paru basah. Kondisi ini masih disertai sesak napas dan sedikit asma (Peter Kasenda 2013).

Nasib Pangeran Diponegoro dan Sukarno sebagai tahanan politik sangat jauh berbeda. Di samping kurang akomodatifnya fasilitas kesehatan, Sukarno juga dipersulit untuk sekadar menjumpai masyarakat-bangsanya. Ketika berhadapan dengan Cindy Adams dalam rangka menulis autobiografinya, Sukarno berterus terang, “Untuk membunuh saya adalah mudah, jauhkan saja saya dari rakyat, saya akan mati perlahan-lahan.”

Sukarno merana di paviliun Istana Bogor ditemani Hartini, belahan jiwanya kelahiran Ponorogo. Awalnya Sukarno masih bisa bolak-balik Bogor-Jakarta demi menengok anak-anaknya yang masih tinggal di Istana Negara, namun perlahan dibatasi. Hatinya semakin merana ketika awal Agustus 1967 ada ultimatum agar anak-anaknya diminta pergi dari istana dalam tempo 2 x 24 jam.

Sekitar Desember 1967, dia diultimatum harus meninggalkan paviliun Istana Bogor. Panjang cerita, banyak kisah. Derita psikis atau batin dimungkinkan memperparah penyakit Sukarno. Paviliun Istana Bogor, Batutulis Bogor, Wisma Yaso, dan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto Jakarta menjadi saksi bisu kepiluan sang proklamator itu.

Akhir hidup Pangeran Diponegoro tak setragis Sukarno. Sejahat-jahatnya Belanda, mereka masih memperlakukan tahanan politik sesuai martabatnya. Agar tak kesepian, ia diperbolehkan membawa 19 orang dalam rombongan. Ia juga mendapat tunjangan bulanan sebesar 600 gulden. Namun, uang saku itu lama-kelamaan dipangkas 200 gulden karena Belanda khawatir Diponegoro yang superirit dalam perbelanjaan bermaksud mengumpulkan pundi-pundi perang.

Sesampai di Benteng Nieuw Amsterdam, Manado, fasilitas didapatkan Pangeran Diponegoro. Total duit untuk semua fasilitas adalah 912 gulden uang tembaga dan 24 gulden uang perak. Pada 1933, ia dipindahkan ke Benteng Rotterdam, Makassar sampai meninggalnya.

Pangeran Diponegoro sebagai tahanan politik meninggalkan catatan yang terkenang dunia. Babad Diponegoro yang dianggitnya dicatat UNESCO sebagai Warisan Ingatan Dunia (Memory of the World). Naskah yang ditulis dengan aksara pegon ini memiliki tebal 1.000 halaman lebih dalam ukuran folio.

Babad Diponegoro diselesaikan dalam waktu sembilan bulan (20 Mei 1831-2 Februari 1832). Jika dirata-rata, berarti sekitar lebih 100 halaman ditulis dalam sebulan. Saat di Makassar, Diponegoro menyusun dua naskah berjudul Sejarah Ratu Tanah Jawa setebal 175 halaman dan Hikayat Tanah Jawa setebal 245 halaman (Peter Carey 2011).

Sukarno juga meninggalkan catatan yang dikenang dunia. Namun, itu adalah catatan yang ditulis orang lain dari dalam dan luar negeri dengan beragam versi: tentang peristiwa akhir September (G30S), Supersemar, Tap MPRS RI No. XXXIII/MPRS/1967, kondisi saat berstatus tahanan politik, sampai wasiat tempat pemakamannya.

Semua beropini dan semakin menambah kontroversi. Kontroversi yang terkadang dibumbui perasaan sentimentil. Hebatnya, kontroversi akhir kekuasaan dan kehidupan Sukarno melebihi tebal Babad Diponegoro.

Foto Sukarno dan Fidel Castro oleh Cuban Press via Wikimedia Commons

BACA JUGA Mau Keren Seperti Sukarno? Ikuti Lima Cara Ini dan tulisan Hendra Sugiantoro lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version