Kelas Unggulan: Proyek Ambisius Dunia Pendidikan yang Nggak Baik-baik Amat

Kelas Unggulan: Proyek Ambisius Dunia Pendidikan yang Nggak Baik-baik Amat

Kelas Unggulan: Proyek Ambisius Dunia Pendidikan yang Nggak Baik-baik Amat (Pixabay.com)

Kelas unggulan. Mendengar hal tersebut saja, rasanya sudah merinding kita. Yang ada di pikiran kita, kelas ini dihuni siswa dengan kemampuan di atas rata-rata. Calon pemimpin bangsa. Orang-orang yang akan membawa negara ini ke arah yang lebih baik.

Maksud adanya kelas unggulan ini jelas: mengumpulkan bibit terbaik dari bibit-bibit baik yang ada. Siswa-siswa di kelas ini, diharapkan menjadi unggulan (hence the name), dan memberi apa yang sekolah selalu usahakan, yaitu prestise. Makanya, kadang nama-nama kelas serupa selalu bombastis dan megah. 

Kelas unggulan, bisa dibilang, wujud nyata dari ungkapan “birds of a feather flock together”.

Siapa sih yang nggak bangga bisa masuk kelas unggulan? Menjadi bagian dari kelompok yang terpilih tentu rasanya sesuatu banget. Tentunya, dilabeli sebagai anak jenius idaman orang tua dan kesayangan guru-guru adalah hal yang menyenangkan.

Namun, yang bagus, bukan berarti baik. Dan menurut saya, kelas unggulan ini justru nggak baik buat pendidikan kita.

Begini. Kelas unggulan, pasti mendapat perlakuan yang istimewa. Yang paling jelas sih, infrastruktur dan guru yang lebih baik. Mereka akan mendapat apa yang kelas reguler tidak dapat. Dan itulah masalahnya.

Perbedaan tersebut justru mengkhianati esensi pendidikan: mencerdaskan rakyat. Dari dulu, anggapan bahwa siswa hebat harus diberi guru hebat itu menurut saya bermasalah. Sebab, esensi pendidikan itu ya “memperbaiki” kualitas rakyat. Semua berhak dapat guru yang hebat, sebab semua orang, terlepas dari latar belakangnya, berhak dapat pendidikan terbaik.

“Lho, tapi kan mereka bayar lebih, dan emang pinter. Wajar dong treatment-nya beda?”

Lha, justru itu masalah utamanya. Kenapa untuk mengakses pendidikan yang baik, harus bayar lebih, dan harus pinter duluan? Bukankah memberi pendidikan yang layak adalah kewajiban negara?

Pun, menurut saya, mengotak-ngotakkan siswa berdasarkan nilai akademiknya tidak selamanya baik. Sangat benar bahwa para siswa cerdas ini akan mendapat treatment yang lebih bagus dari sekolah untuk menunjang prestasi akademiknya, sehingga di kemudian hari mereka bisa masuk universitas terbaik dan menjuarai banyak kompetisi. Tapi berinteraksi dengan lingkungan homogen setiap harinya akan membuat pandangan para siswa ini menjadi sempit.

Mungkin benar bahwa kelas unggulan mampu mengenalkan iklim kompetisi bagi siswanya yang sebenarnya sejalan dengan kerasnya kompetisi di masyarakat. Namun, yang perlu kita ingat adalah persaingan di dunia nyata itu tidak melulu soal akademik. Buat apa nilai akademik yang selangit kalau pada akhirnya mereka gagap berinteraksi dengan orang lain? Buat apa deretan trofi itu jika pada akhirnya mereka nggak punya skill lain selain menguasai ranah teori? Ya bisa aja sih mereka jadi akademisi, tapi kan nggak semua anak mau bekerja seperti itu.

Lagipula melabeli anak sebagai siswa unggulan berpotensi membawa dampak buruk bagi psikologi anak. Mungkin di awal-awal akan terlihat baik-baik saja karena mereka mendapat pengakuan dari lingkungan sekitar sebagai penghargaan atas usahanya belajar tekun. Namun, jika mereka terbiasa dengan label itu, secara tidak langsung mereka akan menanggung beban berat ekspektasi orang-orang di sekitarnya. Mereka cenderung mendorong diri mati-matian agar prestasinya tidak jatuh.

Parahnya lagi mereka belajar sekeras itu hanya untuk memenuhi harapan orang-orang di sekitarnya. Bayangno, urip mung nggo nyenengke cocote tetangga.

Ada argumen seperti ini juga: keberadaan kelas unggulan diharapkan memotivasi anak-anak dari kelas reguler untuk bisa berusaha lebih giat agar bisa masuk ke dalam kelompok yang terpilih ini. Tapi, lagi-lagi, argumen itu bermasalah. Seperti yang saya sampaikan sebelumnya, fasilitas itu harusnya mereka dapatkan tanpa harus masuk kelas unggulan. Kalau pengin dapet fasilitas tersebut mereka harus masuk ke kelas tersebut, itu justru bermasalah.

Mengklasifikasi siswa berdasarkan nilai akademiknya justru akan menciptakan gap yang lebih lebar. Yang pintar akan semakin pintar, yang kurang akan semakin tertinggal. Sudah menjadi tugas guru untuk membimbing semua muridnya menjadi lebih baik tanpa pilih kasih.

Membaurkan anak-anak dengan tingkat intelegensi beragam dalam satu kelas adalah cara yang baik dalam memberikan kesempatan bagi para siswa untuk saling belajar. Saya sangat percaya bahwa setiap individu di dunia ini pasti punya nilai dalam dirinya yang bisa dipelajari. Maka siswa yang akademisnya kurang bisa belajar meningkatkan prestasinya dengan belajar pada temannya yang lebih pintar. Di sisi lain, siswa yang pintar secara akademis bisa belajar dari teman yang lain untuk bersosialisasi. Dan yang lebih penting adalah belajar berempati dengan lingkungan sekitar.

Kelas unggulan jelas jadi contoh kalau memang ada yang salah dalam sistem pendidikan kita. Banyak yang menganggap bahwa pendidikan itu kemewahan, bukan hak yang wajib diberikan pada kita. Kelas ini, alih-alih menunjukkan kebaikan atau memunculkan iklim kompetitif yang bagus, justru mengajarkan segregasi yang tentu saja amat buruk.

Dan segregasi, selalu jadi biang masalah kemanusiaan. Kalau tidak percaya, coba tanya Jerman.

Penulis: Erma Kumala Dewi
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Masih Percaya Nasib Anak Ditentukan dari Sekolah Favorit atau Tidak?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version