Hidup ini sawang sinawang, mungkin itulah ungkapan yang cocok untuk menggambarkan seorang caddy. Di mata orang awam, menjadi caddy itu enak, penuh kemewahan, gajinya banyak dan pekerjaannya ringan, sekadar menemani customer main golf, doang. Padahal yang terjadi sesungguhnya nggak semudah itu juga. Sama dengan pekerjaan lainnya, profesi caddy golf juga memiliki tingkat kesulitannya sendiri. Dibutuhkan jiwa yang kuat, fisik yang prima dan wajah paripurna agar bisa survive dan sukses di dunia per-caddy-an.
Saya kebetulan bertemu dengan seseorang (sebut saja Mbak D) yang berprofesi sebagai caddy golf di Surabaya dan blio bersedia berbagi cerita tentang profesinya. Mbak D sudah tiga tahun bekerja sebagai caddy di Surabaya Barat, nggak sebut nama ygy, tapi inisial tempatnya GF. Kalau kalian orang Surabaya pasti tahu karena kawasan tersebut cukup elite dan populer di Surabaya. Sebagai gambaran, untuk menjadi member di tempat golf tersebut harus merogoh kocek sedikitnya Rp10 jutaan setiap bulan dan sekitar Rp1-1.5 jutaan untuk harian.
Tugas yang berat
Caddy golf adalah sebutan untuk asisten pada pemain golf. Kalau perempuan biasanya disebut caddy golf saja atau gadis golf, sementara kalau laki-laki biasa disebut pramu-golf. Tugas mereka berdua sama, menemani pemain golf.
Mungkin masih banyak di antara kita yang mengira kalau pekerjaan caddy tuh mudah, hanya menemani orang main golf sambil membantunya mengambil bola golf. Faktanya nggak begitu ya, Rek. Sebelum resmi merumput di lapangan golf, mereka diberi pelatihan terlebih dahulu tentang seluk beluk permainan golf, cara melihat arah angin, menghitung jarak antarlubang, hingga memilih tongkat golf yang sesuai.
Setelah melewati pelatihan, para caddy golf tersebut baru bisa mulai bekerja. Mereka bertugas mendampingi pemain golf, mulai dari sebelum bermain (menyiapkan alat-alat golf, termasuk mengelap stick golf), menghitung dan memastikan bola golf dalam kondisi baik, hingga mengecek kondisi lapangan. Jadi nggak sekadar membantu mengambil dan mengembalikan bola, dong ya, Rek.
Caddy golf juga dituntut untuk ramah dan bisa meningkatkan atau memberi semangat pada pemain golf, caddy golf juga wajib menuruti keinginan pemain golf sepanjang hal tersebut masih dalam kontek profesional di lapangan. Nggak hanya itu, caddy golf juga akan membawakan tas peralatan pemain golf. Kalau lapangannya luas dan kebetulan nggak ada car golf, bisa kita bayangkan bagaimana capeknya berjalan sambil membawa tas yang beratnya lebih dari satu kilogram di lapangan golf yang panas kentang-kentang.
Untuk bisa menjadi caddy golf, selain mengetahui seluk-beluk permainan golf, juga dituntut untuk memiliki fisik yang sehat, penampilan menarik dan luwes atau mudah berkomunikasi. Sebab, caddy golf termasuk bidang pekerjaan jasa, kepuasan pelanggan menjadi hal utama dan diprioritaskan dalam pekerjaan ini.
Gaji pokok nggak banyak
Gaji caddy golf bisa berbeda tergantung daerahnya. Namun, berdasarkan penuturan dari Mbak D yang sudah bekerja menjadi caddy di Surabaya selama kurang lebih tiga tahun, gaji pokok caddy di Kota Pahlawan, khususnya di tempat blio bekerja nggak banyak atau ala kadarnya. Bahkan di bawah UMK Kota Surabaya, lho. Sistem gaji di tempat Mbak D kerja dihitung harian. Artinya, kalau nggak kerja ya nggak mendapatkan upah sama sekali. Ngenes, pol.
Satu harinya Mbak D dibayar Rp110 ribu dengan jam kerja selama delapan jam. Anggap saja dalam sebulan caddy bekerja full tanpa libur sama sekali, mereka akan mendapatkan upah Rp110 ribu dikali 30 hari, totalnya Rp3.3 juta (UMK Kota Surabaya 2022 Rp4.3 juta).
Namun, selama bekerja menjadi caddy, Mbak D mengaku kalau rata-rata pendapatannya mencapai Rp4-5 juta per minggu atau Rp20 juta satu bulan. Pertanyaannya, kenapa bisa sebanyak itu, padahal gaji pokonya sedikit banget? Jawabannya ada pada tips yang besar.
Customer atau penikmat olahraga golf di Indonesia secara umum mayoritasnya adalah orang kaya, para pebisnis, atau mereka yang memiliki strata ekonomi di atas rata-rata. Para customer tersebut sering memberikan tips dengan jumlah yang tak sedikit kepada caddy, nggak jarang mereka juga memberi tips dalam mata uang dolar.
Sebenarnya nggak ada standar yang pasti terkait besaran uang tips yang harus diberikan customer ke caddy. Namun berdasarkan pengalaman Mbak D, sedikitnya para customer memberikan uang Rp500-1 juta. Bayangkan kalau customernya banyak? Satu minggu bisa sampai Rp5 jutaan atau lebih penghasilannya.
Sekilas, profesi ini terlihat seperti profesi yang lain. Kini, kita menuju sisi kelamnya, sisi yang orang belum banyak tahu.
Tekanan untuk terlihat menarik
Menggunakan jasa dukun untuk penglaris
Lantaran uang tips boleh dibilang memegang peranan penting untuk mendongkrak pendapatan mbak dan mas caddy, kepuasan customer adalah koentji. Sebisa mungkin para caddy berusaha untuk membuat para customer menyukai mereka dan loyal—nggak pelit.
Berbagai macam upaya dilakukan caddy untuk membuat customer betah dekat-dekat dengan mereka. Selain berusaha tampil menarik, selalu wangi dan bersikap ramah. Para caddy tersebut nggak sedikit pula yang mencari orang pintar (dukun) untuk minta penglaris.
“Nggak tahu kalau di Jakarta pakai ginian (baca: penglaris) atau tidak, tapi kalau ndek sini (baca: Surabaya) seh ada banyak juga kok yang pakai itu (penglaris),” tutur Mbak D kepada saya. Biasanya, jimat penglaris tersebut ditaruh di pensil alis atau perlengkapan make up. Kalau kalian mendapati ada caddy yang nggak memperbolehkan alat make up-nya dipinjam orang lain. Nah, itu biasanya ada isiannya.
Secara pribadi saya memang nggak pernah datang ke orang pintar (dukun). Namun, saya sebenarnya nggak heran kalau ada praktik minta penglaris ke “orang pintar”. Ha wong politikus saja banyak juga kan melakukan tindakan serupa ketika menjelang Pemilu tiba.
Yang justru menarik adalah kenyataan kalau pekerjaan caddy ini ternyata memiliki pressure kerja yang keras, lho, Rek. Secara tidak langsung mereka diminta untuk bersaing dengan sesama caddy dan berebut perhatian customer agar pendapatan bulanannya cukup. Nggak heran juga kalau para caddy ini kemudian sampai datang ke dukun dan juga melakukan perawatannya mahal, soalnya mereka dituntut untuk selalu tampil paripurna dan prima di lapangan golf, sekalipun udaranya panas kentang-kentang.
Rela menjadi ani-ani
Di Surabaya, ani-ani adalah istilah yang digunakan untuk menyebut perempuan simpanan (lebih spesifik simpanan pria-pria kaya dengan pendapatan di atas rata-rata). Menjadi ani-ani adalah image yang cukup lekat dengan profesi caddy. Anggapan tersebut makin santer terdengar dan beredar luas salah satunya dipicu oleh skandal yang melibatkan seorang caddy dan pejabat di Jakarta. Skandal tersebut terkuak karena sang pejabat terlibat korupsi.
Tentu saja, nggak semua caddy adalah simpanan. Namun, nggak jarang juga yang melakukannya lantaran tuntutan hidup. Beberapa caddy yang sudah kadung terbiasa dengan perawatan mahal, barang-barang branded pemberian dari customer, juga uang tips yang tak sedikit kerap membius caddy untuk berani mengambil keputusan nekat —menjadi simpanan demi gaya hidup mewah.
Namun, sekali lagi, saya perlu menekankan kalau nggak semua caddy memilih jalan tersebut ya, Rek. Sama dengan pejabat yang identik dengan korupsi, tapi nggak semua pejabat korupsi, kan? Lagian kalau mau menjadi ani-ani nggak harus menjadi caddy, sih. Bekerja di kantor pun kalau niatnya memang ingin menjadi simpanan juga bisa. Kita memang harus lebih bijak untuk tidak langsung menjustifikasi sebuah profesi buruk hanya dari katanya saja.
Akhir kata, semoga Mas dan Mbak Caddy golf senantiasa bahagia dan sejahtera!
Penulis: Tiara Uci
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Mengintip Sisi Gelap Dunia SPG