Saya orang asli Jawa yang sudah merantau lebih dari tiga tahun di Kolaka Utara. Selama itu, saya agak berani mendeklarasikan sukses beradaptasi dengan adat dan budaya di tanah tempat saya bekerja. Misalnya, gaya bicara, adat istiadat, sampai kulineran, saya cukup berhasil menyesuaikan diri. Semuanya demi proses adaptasi dan diterima oleh warga setempat. Sampai ketika akhirnya saya mendapatkan tugas ke Wakatobi.
Setelah berhasil menyesuaikan diri dengan budaya di Kolaka Utara, suatu ketika saya mendapat tugas berkunjung ke Wakatobi. Bukan untuk berlibur, tentu saja. Saya segera meluncur ke Wakatobi karena tugas menghadiri sebuah acara. Perlu kamu ketahui, Kolaka Utara dan Wakatobi itu masih satu provinsi, yaitu Sulawesi Tenggara.
Meskipun masih satu provinsi, Kolaka Utara dan Wakatobi itu terasa “sangat berbeda”. Kontur daerah Kolaka Utara sendiri didominasi daratan dan menyatu dengan Pulau Sulawesi yang bentuknya mirip huruf “K”. Sementara itu, Wakatobi adalah sebuah kepulauan. Pulau ini terdiri dari beberapa pulau utama, antara lain Wangi-Wangi, Kaledupa, Tomia, dan Binongko.
Nah, perbedaan kontur daerah inilah yang membuat saya, orang Jawa asli, merasakan semacam gegar budaya atau culture shock ketika menikmati kuliner di Wakatobi. Izinkan saya menceritakan beberapa di antaranya.
Harga olahan ikan lebih murah ketimbang ayam
Sudah sangat umum di Pulau Jawa harga daging ayam lebih terjangkau ketimbang ikan. Apalagi ketika kita membicarakan lokasi-lokasi yang jauh dari pesisir laut.
Nah, kondisi berbeda terjadi di mayoritas wilayah Sulawesi, apalagi di Wakatobi sebagai sebuah kepulauan. Harga ikan jauh lebih murah ketimbang ayam. Saking murahnya, ada satu jenis ikan yang harganya sama seperti satu bungkus mi instan.
Sebagai orang Jawa, sebetulnya saya sudah mampu menyesuaikan diri dengan perbedaan harga ini. Namun, begitu kulineran di Wakatobi, khususnya di sebuah pasar di Wangi-Wangi, saya tetap saja kaget.
Oleh sebab itu, selama menginap di hotel, dan nyaris setiap malam, saya selalu memesan menu ikan. Lumayan juga, bisa menghemat uang saku selama perjalanan dinas. Sudah begitu, saya mendapat asupan gizi yang melimpah dari ikan.
Makan di atas air laut dan ditemani ikan
Kalau di Pulau Jawa, kamu bisa menemukan banyak tempat di pesisir yang menawarkan sensasi makan di tepi laut. Nah, kalau di Wakatobi, ada sebuah hotel di mana tempat makannya benar-benar dibangun di atas laut. Bahkan ada beberapa ikan laut yang sengaja dipelihara oleh pihak hotel supaya sensasi lautnya semakin terasa.
Jadi, selama makan di hotel itu, saya benar-benar mendengar gemercik air laut secara langsung dan ditemani oleh ikan. Kekhawatiran saya hanya satu saat menginap di hotel itu. Ketika ada Tsunami saat malam hari, saya pasti nggak akan sempat menyelamatkan diri.
Hidangan ikan laut berukuran jumbo
Sebetulnya, selama merantau di Kolaka Utara, saya sudah akrab dengan beragam wujud ikan laut. Namun, ukuran ikan yang ada di sana ya standar saja. Nah, saya jadi agak kaget ketika di Wakatobi, nggak cuma ikannya yang beragam, tapi ukurannya juga plus plus.
Saya banyak menemukan pedagang yang menyediakan ikan dengan ukuran jumbo. Saat berada di pasar, saya sih cuma bisa mengamati karena nggak bakal habis kalau makan sendiri. Namun, ternyata, acara makan malam terkait pekerjaan juga menyajikan ikan-ikan jumbo itu. Rasanya sangat lezat. Rasa kaget saya berubah jadi rasa puas dalam sekejap.
Ragam olahan singkong yang khas dan nyaris nggak ada di daerah lain
Pulau Jawa sendiri mempunyai keragaman terkait olahan singkong. Rata-rata, di Pulau Jawa, wujud dan rasanya mirip cuma berbeda di penamaan saja. Situasi yang sama saya rasakan di daerah lain di luar Pulau Jawa.
Nah, kalau di Wakatobi, olahan singkong yang saya temukan sangat unik. Saya merasa kalau olahan tersebut agak sulit ditemukan di daerah lain. Beberapa yang terkenal antara lain kasuami atau kasoami, kansenga, lapa-lapa singkong, dan tombole. Olahan yang paling terkenal adalah kasuami. Wujud kasuami itu mirip seperti mini tumpeng dan cocok menjadi pengganti nasi.
Itulah gegar budaya yang saya, orang Jawa, rasakan ketika dinas selama lebih dari 1 tahun di Wakatobi. Secara umum, saya sangat menikmati kejutan-kejutan dari perbedaan budaya. Apalagi alam di sana yang sangat indah. Semoga saya mendapat kelebihan waktu dan rezeki dari Tuhan biar bisa kulineran lagi di salah satu tempat terindah di Indonesia itu. Amin.
Penulis: Ahmad Arief Widodo
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kamus Bahasa Wakatobi: Begini Ribetnya Pakai Kata Ganti Orang di Sini.