Sekarang masyarakat sedang dihebohkan dengan penyebaran virus corona. Kita akan dengan mudah mendapatkan informasi tentang virus yang satu ini di media sosial. Namun, selain penyebaran virus corona yang terjadi di Wuhan ternyata di media sosial juga sedang terjadi penyebaran virus kebencian.
Berbagai unggahan yang menghantarkan pada rasa kebencian untuk China sedang rutin-rutinnya mampir di beranda kita. Dan kebencian itu katanya dilandasi karena agama. Sangat disayangkan karena agama kembali menjadi alat pembenaran ego manusia untuk melaknat manusia lain. Bukan menumbuhkan sifat kemanusiaan justru agama berubah menjadi menumbuhkan sifat kesetanan.
Tak hanya mendapatkan serangan virus corona, Wuhan juga mendapatkan serangan laknat serta berbagai ujaran kebencian di media sosial dari mereka yang mendapat penyakit akibat tertular virus kebencian.
Sebagai umat yang beragama, wajar saja jika masyarakat Indonesia memandang fenomena virus corona bukan sebagai sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Ini pasti atas kuasa Tuhan. Anggapan demikian tak keliru sebab sebagai makhluk yang beragama kita pasti meyakini kehidupan ini ada dalam genggaman Tuhan yang mengatur seluruh kehidupan.
Seperti kata Gus Baha bahwa melihat Allah sudah menentukan semuanya itu keren. Dia (Gus Baha) bangga punya Tuhan yang sudah tau nasibnya kayak apa nanti. Dia betapa malunya punya Tuhan yang jika ditanya, Gusti besok lusa nasibnya Baha gimana? (Lantas menjawab) Nggak tahu, tak pikir dulu.
Jadi wajar saja jika masyarakat Indonesia yang beragama menganggap peristiwa ini tak lepas dari kuasa Tuhan. Namun, yang berlebihan adalah mengaitkan serangan virus corona dengan diskriminasi yang dilakukan China pada muslim Uighur, lantas mengatakan bahwa itu merupakan pembalasan dendam dari Tuhan.
Ngeri. Namun, bukan Tuhan yang ngeri melainkan pandangan kita tentang Tuhan yang suka balas dendam. Pandangan yang lebih ngeri daripada virus corona. Padahal berulang kali seorang muslim membaca Basmalah setiap kali salat bahwa Dia itu Maha Pengasih lagi Maha Penyayang. Kenapa terlampau jauh kita menuduh Tuhan suka balas dendam?
Kita tak pernah tahu pasti alasan Tuhan menurunkan penyakit kepada masyarakat Wuhan di China. Namun, ingatlah sakit setingkat demam saja bisa jadi adalah penggugur dosa. Tak selamanya sakit harus dipandang sebagai azab Tuhan, sebab bisa jadi ada hikmah tersembunyi yang Tuhan hadirkan dalam kesakitan.
Atau baiklah, saya akan berpura-pura mengikuti jalan pikiran mereka yang mengatakan bahwa Wuhan mendapat azab karena perilaku China pada muslim Uighur. Namun, muncullah pertanyaan yang sedikit nakal.
Masyarakat Wuhan hanyalah masyarakat biasa yang jelas tak ada hubungannya dengan sikap penguasa China yang katanya mendiskriminasi muslim Uighur. Maka pertanyaannya, apakah Tuhan tak mampu menyerang para pemimpin China lantas sampai harus balas dendam pada ribuan masyarakat Wuhan? Apakah prinsip setiap perilaku penguasa harus ditanggung oleh rakyatnya juga dipakai oleh Tuhan?
Haduh, kita sudah menganggap Tuhan alat pembalasan dendam plus dianggap lemah. Banyak istighfar, deh. Kita mungkin terlalu banyak nonton film azab kubur, azab tuhan, dan azab-azab lainnya. Sehingga tanpa sadar itu membentuk gambaran kita pada Tuhan sebagai pemberi azab, padahal dalam Basmalah sederhana sekali kalimatnya bahwa Dia Maha Kasih dan Sayang.
Dalam riwayat, saat awal mula Nabi Muhammad saw berdakwah, ada seorang Quraisy yang selalu meludahi dan melempari beliau dengan batu. Suatu hari orang itu tak muncul untuk mengganggu Nabi. Setelah ditelusuri ternyata orang itu sedang sakit.
Mengetahui orang yang suka mengganggunya sakit, Nabi tidak mengatakan bahwa itu azab, itu balasan Tuhan, syukur mendapat sakit kurang ajar banget sih dan sikap lainnya yang mengarah pada kebencian. Nabi Muhammad saw dengan penuh kasih sayang justru menjenguk orang yang sakit itu.
Maka yang suka menyebar kebencian atas nama agama, Anda sering mengatakan mengikuti Nabi. Pertanyaannya, Nabi yang mana yang Anda ikuti?
Soalnya kalau Nabi Muhammad saw jelas beliau tak pernah mencontohkan untuk bersikap membenci apalagi menyumpahi orang. Akhlak Nabi Muhammad saw itu indah, selalu mendahulukan akal pikiran dan hati daripada emosi. Namun, sayangnya hari ini namanya digunakan sebagai pembenaran ego manusia dalam menyebarkan kebencian.
Kabarnya di tahun 2010 dua orang muslim–S. Rehman dan Husain Asakir–meneliti tingkat akhlak Islami di berbagai negara dengan menggunakan ukuran nilai-nilai Islam dari al-Qur’an dan Sunnah. Hasilnya mengejutkan, negara-negara dengan penduduk mayoritas muslim harus merelakan posisi pertama pada Selandia Baru, kemudian diikuti Luxenburg, Amerika berada diposisi 15 bersama Belanda, dan Indonesia harus rela dengan kekalahan yang amat jauh diposisi 104.
Anda tak setuju dengan penelitian itu? Sama, sejujurnya saya pun tidak. Namun, melihat perilaku sebagian muslim hari ini, khususnya sikap sebagian muslim pada China yang dilanda serangan virus corona, saya jadi memaklumi penelitian itu. Sebab sikap yang ditunjukkan sebagian muslim jelas sangat jauh dari sikap yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw yang mencontohkan akhlak penuh kasih sayang dalam setiap perbuatannya.
Semoga kita semua masyarakat Indonesia dilindungi Tuhan dari virus corona, virus kebencian, dan virus yang tak baik lainnya.
BACA JUGA Deretan Hoaks Virus Corona, Cek Faktanya agar Tidak Panik Berjamaah atau tulisan Moh Rivaldi Abdul lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.