Tidak ada hal yang lebih mengademkan hati saya selain minum kopi. Dalam seminggu saja, mungkin saya bisa 5 kali mampir ke coffee shop. Menikmati segelas kopi sambil mengamati dinamika perkopian. Termasuk dinamika budaya kopi yang unik satu sama lain, salh satunya persaingan blok utara vs selatan di kedai kopi Jogja.
Saya merasakan adanya perbedaan kultur. Perbedaan ini terasa ketika saya mampir di kedai kopi wilayah Jogja utara dan selatan. Saya melihat beda karakter, baik dari kedainya sampai pengunjungnya. Dan mau tidak mau, saya mengamini tulisan Mas Riyanto perihal outfit di coffeeshop.
Kedai kopi area utara menurut saya adalah yang berada di sekitar UGM, UKDW, dan kampus-kampus besar. Di sana, saya menemukan budaya kopi yang terkesan “kekinian”. Masuk ke dalam kedai saja sudah disajikan suasana minimalis modern. Permainan cat putih atau warna semen sering dipakai kedai kopi di utara. Tampilan kedai yang kalem ini didukung oleh barista yang berpenampilan kekinian. Pembicaraan yang berlangsung biasanya basa-basi identitas dan “Gimana kak rasa kopinya?”
Kedai kopi area selatan menurut saya adalah yang ada di area pusat kota Jogja dan sekitarnya. Saya merasakan suasana yang lebih kontemporer. Kedai yang ada sering terlihat sangat rumahan atau “sangat angkringan”. Barista di area selatan ini juga terlihat santai dalam berbusana. Pembicaraan yang terjadi lebih rusuh dan bebas. Dari sekadar basa-basi, sampai saling mengumpat yang terkesan baku hantam.
Lebih jauh lagi, sajian kopi di area utara sangat beragam. Satu jenis kopi susu saja, bisa punya banyak varian dengan tambahan sirup perisa. Sedangkan kopi di area selatan lebih sederhana. Kopi susu ya kopi susu. Cappuccino ya cappuccino. Jarang ada variasi rasa hazelnut, caramel, dan lain sebagainya. Dan satu lagi, Anda akan kesulitan mencari kopi gula aren ketika mampir ke kedai kopi area selatan
Perkara pengunjung, saya juga menemukan perbedaan. Dari segi penampilan, tulisan Mas Riyanto sangat relevan di kedai kopi utara. Pengunjung berbusana branded lumrah ditemukan sedang ngopi. Jarang saya menemukan muda-mudi berpenampilan demikian di kedai kopi selatan. Kebanyakan berpenampilan kasual santai. Sandal jepit tidak akan menjadi perhatian dan bahan pergunjingan.
Pengunjung kedai di utara cenderung sibuk dengan urusan sendiri. Banyak yang sibuk dengan laptopnya, entah menyelesaikan skripsi atau menambang bitcoin. Tata bahasanya pun lebih sering “lu gue”. Di selatan, pengunjung datang untuk bersosialisasi. Baik dengan kumpulan teman atau dengan barista sendiri. Cara berkomunikasinya juga lebih buas. Umpatan berbagai pakem mudah terdengar dari kumpulan ini.
Perlu saya ingatkan, ini adalah pengalaman pribadi. Bisa jadi, kedai kopi yang menurut saya gaya utara ditemukan di selatan. Begitu pula sebaliknya. Namun, saya pikir adanya “blok” kedai ini bukan sekadar penangkapan pribadi. Saya yakin, memang ada beda budaya yang nyata. Maka dari itu, saya memerlukan petuah dari orang yang berkecimpung langsung di dunia kopi.
Blio adalah Akrom Dimyati. Mas Akrom ini adalah salah satu pelaku usaha kopi angkatan tua di Jogja. Pemilik kedai kopi di area Jogja selatan ini juga terkenal dengan ujaran yang pedas, baik ke sesama pemain kopi sampai pengunjung seperti saya. Dari blio ini, saya mengutarakan pendapat tentang adanya blok kopi ini.
Mas Akrom membenarkan adanya blok ini. Blio mengakui, memang ada beda budaya antara utara dan selatan Jogja. menurut blio, blok utara cenderung lebih “kekinian” dan mengikuti tren. Sedangkan, blok selatan cenderung lebih merakyat dan fleksibel. Jika disederhanakan, kedai blok utara itu “elitis”, sedangkan blok utara lebih “marginal”.
Beda karakter yang menimbulkan blok ini juga alami terjadi. Menurut Mas Akrom, perbedaan utama terletak pada pengunjung yang datang. Kedai blok utara berada di area kampus besar Jogja. Maka, pengunjung yang datang mayoritas adalah mahasiswa lintas budaya. Kedai yang diminati juga yang berkonsep kekinian, minimalis, dan eksklusif. Yang penting, indah untuk dipamerkan lewat Instastory.
Sedangkan, blok selatan berada di lingkungan penduduk asli Jogja. Pengunjung mayoritas adalah warga asli yang terbiasa dengan konsep angkringan serta warung koboi. Maka, tampilannya lebih klasik. Nuansa warung koboi dan angkringan masih kuat terasa di blok selatan.
Salah satu penyebab munculnya beda konsep adalah beda pendanaan. Menurut Mas Akrom, kedai di blok utara lebih banyak menggunakan dana dari investor. Sedangkan blok selatan lebih banyak menggunakan dana pribadi. Namun, ini hanya bicara “pada umumnya”. Masalah pendanaan tetap kembali pada pemilik.
Perbedaan ini juga pada tingkat manusia. Blok utara membangun image yang lebih kekinian. Sederhananya, image seperti isi film Filosofi Kopi. Image ini juga berpengaruh pada sikap-sikap yang muncul. Dari pembicaraan yang saya bilang basa-basi tadi, sampai sikap penyendiri yang terpisah dari sekitarnya. Blio merasakan, kesan jaim sangat lumrah di blok utara. Jaim ini berimbas pada outfit pengunjung dan barista yang mengikuti tren.
Image di blok selatan terkesan sangat “warung koboi”. Bercanda yang frontal adalah makanan rutin pelanggan blok selatan ini. Umpatan “bajingan”, “asu”, dan semacamnya lebih mudah ditemukan di blok selatan yang kaya pengunjung asli Jogja. Hal ini berimbas pula pada penampilan. Mengunjungi kedai kopi blok selatan memiliki kesan “mampir ngombe”. Kesan ini menyebabkan pengunjung lebih luwes dalam berbusana.
Efek beda blok ini juga berakhir pada masalah harga. Harga segelas kopi di blok utara lebih tinggi dari blok selatan. Sangat wajar, mengingat ada beda pengunjung mayoritas yang menjadi konsumen. Dan sekali lagi, beda harga ini juga “pada umumnya”.
Menurut Mas Akrom, garis imajiner muncul karena adanya blok ini. Jalan Jogja-Solo adalah garis pemisah blok utara dan selatan. Saya setuju dengan pendapat ini. Mengingat populasi mahasiswa terbesar memang ada di wilayah utara jalan.
Menurut Mas Akrom, perbedaan budaya kedai memang wajar. Namun bukan berarti adanya blok ini harus diamini dan menjadi sudut pandang bersama. Blio menyayangkan adanya blok ini harus memicu stigma kreativitas kedai dan barista. Padahal, kedai di wilayah utara bisa bereksperimen dan berkreasi tanpa melihat gaya kedai yang sudah umum di utara. Demikian pula kedai di selatan.
Dan sebagai penutup, Mas Akrom berpesan: beda konsep itu tidak masalah. Yang masalah adalah sikap pelaku usaha kedai kopi sendiri. Sikap yang egois dan terlalu memegang teguh idealisme yang melahirkan blok-blok. Padahal, setiap kedai berhak untuk berkembang dengan kreatif tanpa peduli dengan blok alami ini.
BACA JUGA Jadi Raja Mataram Itu Enak Ya, Mak? dan tulisan Prabu Yudianto lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.