Kecoak Terbang Memberikan Kita Pelajaran tentang Rasa Aman

kecoak rasa aman menghilang serangga mojok

kecoak rasa aman menghilang serangga mojok

Mungkin kebanyakan dari kita pernah mengalami kejadian horror yang baru-baru ini saya alami. Kejadiannya sendiri terjadi ketika saya sedang begadang mengerjakan tugas perkuliahan. Ketika malam suntuk kondisi agak mengantuk, sembari melamun meratapi paper yang tak kunjung rampung. Tiba-tiba, dari ujung mata, terlihat sesosok berwarna coklat tengah terbang ke arah kaki yang sedang selonjoran. 

Dalam seketika, badan yang tadinya sedang proses shutdown, langsung terbangun seperti baru meneguk espresso tiga shots sekaligus. Sosok yang saya maksud disini bukanlah setan atau dedemit terbang, melainkan serangga favorit kita semua. Yak, benar, kecoak!

Sebenarnya nggak ada yang salah dengan keberadaan si doi karena sekiranya eksistensi dia sendiri senatural dan sealamiah keberadaan kita di muka Bumi ini. Tetapi, entah mengapa, kemunculannya bisa tiba-tiba bikin hidup kita rasanya tidak aman dan nyaman. Terlebih, ketika dalam proses mencoba menepaknya dengan sapu, si kecoak tiba-tiba menghilang begitu saja bak aksi sulapnya Harry Houdini. 

Kejadian yang saya alami—kecoak muncul dan hilang entah ke mana bagai jalangkung—beberapa hari lalu tersebut, bisa bikin kondisi ruangan yang tadinya membosankan seketika dipenuhi ketegangan. Walau wujudnya sudah tidak terlihat, rasanya kita tidak akan bisa tenang selama masih ada probabilitas kalau ternyata si kecoak diam-diam bersembunyi dalam kamar.

Sebagai seorang mahasiswa yang sedang tertarik untuk mempelajari konsep security, khususnya personal security, kejadian tidak menyenangkan tersebut memberikan pembelajaran berharga mengenai makna dari menjadi aman.  

Sebelum ke pembahasan lebih lanjut, perlu dipahami bahwa kata aman, meski terdengar sederhana, memiliki berbagai definisi, penjelasan dan pandangan yang beragam dalam pemaknaannya. Dan karena saya bukanlah seorang ahli linguistik (atau bahkan ahli dalam bidang apa pun), pembahasan seputar pemaknaan aman secara filsafat ada baiknya untuk jadi bahan diskusi di lain waktu saja. Dengan demikian, dalam tulisan ini saya hanya akan memaknai kata aman dalam pemahaman tersempitnya, yakni “terhindar dari marabahaya, rasa takut, atau keduanya”.

Kembali pada isu kecoak. Meski benar adanya bahwa kecoak sendiri tidak menghadirkan marabahaya, saya yang pribadi punya trauma masa kecil dengannya, jadi sulit mengunakan akal sehat setiap berpapasan dengan mahluk Tuhan satu ini. Bisa dibilang kalau kehadiran kecoak sukses dalam menghadirkan teror dalam kehidupan saya.

Tidak ingin berdiam diri saja, dengan cekatan saya langsung mengambil baygon yang ada di kamar. Namun, nahas, nasib buruk sepertinya terus berdatangan. Ternyata isi baygon-nya sudah habis. Singkat cerita, sisa-sisa dari malam itu dipenuhi oleh ketakutan dan ketidaknyamanan. Penuh dengan perasaan bahwa sewaktu-waktu si kecoak bisa muncul dari mana saja.

Pagi pun tiba, dan tidak ada tanda-tanda bahwa serangga coklat itu masih berada di kamar. Harusnya saya kembali tenang, kan? Sayangnya, ketakutan saya nggak selesai sampai disitu saja. Jadi problematika berkepanjangan ketika kita dihadapkan oleh kehadiran sesuatu yang tidak menyenangkan. Walau mungkin biang keladinya sudah hilang, kesadaran bahwa masih adanya kecoak-kecoak lainnya di luar sana, bisa buat pikiran jadi nggak tenang.

Didorong oleh ketakutan yang masih menempel di pikiran, saya pun berinisiatif membeli baygon mengingat yang ada di kamar sudah habis. Berbekal amunisi perlawanan baru, meski masih sedikit parno, setidaknya hati jadi tenang mengingat saya kini punya alat perlawanan.

Setelah panjang lebar berceloteh tidak karuan soal pengalaman duel maut dengan kecoak, jadi sebenernya apa sih yang ingin saya sampaikan? kira-kira ada makna spesial apa dari cerita ini?

Sebenarnya nggak ada makna spesial apa-apa dari kisah ini. Namun, perjumpaan saya dengan kecoak tadi, sedikit memberikan kesadaran kalau keamanan dan rasa aman adalah sesuatu yang acap kali kita terima begitu saja, tanpa pernah diberi waktu untuk dimaknai ataupun dihargai. 

Entah itu saat kecoak hendak “menyapa” kita yang sedang melamun, atau ketika pacar tiba-tiba minta putus tanpa alasan jelas. Seringkali, kita baru menghargai rasa aman ketika hal tersebut hilang. Dan oleh sebab itu, meski sedikit konyol, pengalaman bertemu kecoak terbang mendorong saya untuk lebih menghargai momen-momen rasa aman yang seringkali  taken for granted dalam kehidupan saya.

BACA JUGA Vaksin Covid-19 Butuh Waktu Lama untuk Dibuat: Penjelasan Sederhana

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.

Exit mobile version