Ngemplak, Kecamatan yang Terlalu Solo untuk Boyolali

Ngemplak, Kecamatan yang Terlalu Solo untuk Boyolali

Ngemplak, Kecamatan yang Terlalu Solo untuk Boyolali (unsplash.com)

Setiap ditanya asal daerah, saya sering mengalami krisis identitas ringan. Pertanyaan sesederhana, “Asalmu dari mana?” bisa membuat saya diam dua detik terlalu lama. Menjawab Boyolali rasanya setengah bohong. Tetapi menjawab Solo jelas keliru dan berpotensi menyalahi batas administratif. Akhirnya, saya sering memilih jawaban aman: Kecamatan Ngemplak, lalu bersiap menjelaskan panjang lebar.

Masalahnya, Ngemplak bukan nama yang langsung dipahami semua orang. Ia bukan kota, tapi juga sudah terlalu urban untuk disebut desa. Ia semacam wilayah abu-abu, tempat warganya terbiasa hidup di antara sawah dan beton, antara kabupaten dan kota, antara status resmi dan perasaan sehari-hari.

Keraguan identitas ini bukan tanpa sebab. Kecamatan Ngemplak kerap disebut “hampir jadi bagian dari Kota Solo”. Sebutan itu tidak pernah lahir dari keputusan resmi, melainkan dari obrolan warung kopi, grup WhatsApp warga, dan candaan setengah serius. Isu penggabungan Ngemplak ke Solo sudah beredar sejak lama, tapi selalu berhenti di level cerita. Seperti wacana diet tiap Senin: sering diomongkan, jarang dieksekusi.

Kecamatan Ngemplak lebih dekat ke pusat Solo ketimbang Boyolali

Alasan pertama yang paling sering muncul tentu soal letak geografis. Dari Ngemplak ke pusat Solo jaraknya dekat. Jalan tembus ada di mana-mana. Mobilitas warga kecamatan ini pun lebih sering mengarah ke Solo ketimbang ke pusat Boyolali. Pergi kerja ke Solo, sekolah ke Solo, belanja ke Solo. Ngemplak ini ibarat halaman belakang Solo yang tiap hari dilewati, tapi jarang diakui sebagai bagian keluarga.

Secara fungsi, Kecamatan Ngemplak memang sudah jadi kawasan penyangga. Ia menopang kebutuhan kota tanpa ikut menikmati statusnya. Warganya akrab dengan ritme urban: macet pagi hari, harga tanah naik cepat, dan lahan yang pelan-pelan kehilangan identitasnya sebagai sawah. Bedanya, ketika urusan administrasi dan pelayanan publik muncul, kami kembali diingatkan bahwa ini masih wilayah Boyolali.

Strategis dan lengkap 

Alasan kedua yang sering disebut tentu soal aset strategis. Bandara Adi Soemarmo berada di Kecamatan Ngemplak. Tempat orang dari berbagai kota bahkan negara pertama kali menginjakkan kaki sebelum bilang, “Akhirnya sampai Solo,” padahal secara teknis belum. Asrama Haji Donohudan juga ada di sini, lengkap dengan segala aktivitas besar yang menyertainya.

Belum lagi Waduk Cengklik. Waduk ini bukan cuma tampungan air, tapi juga ruang hidup: penopang ekologi, tempat rekreasi, dan latar foto sore hari. Tidak semua kecamatan punya paket lengkap seperti ini. Kecamatan Ngemplak punya bandara, asrama haji, waduk, dan lalu lintas padat.

Bikin bingung

Alasan ketiga adalah ketersediaan lahan. Di saat Solo makin sesak dan nyaris kehabisan ruang, Kecamatan Ngemplak masih menyimpan hamparan sawah dan tanah kosong. Wilayah ini tampak menggoda sebagai ruang ekspansi. Dekat pusat ekonomi, akses mudah, dan lahannya belum sepenuhnya habis dimakan beton.

Solo, dengan luas wilayah yang kecil dan tekanan urbanisasi tinggi, memang menghadapi keterbatasan ruang secara struktural. Pertumbuhan penduduk dan aktivitas ekonomi menuntut ruang baru. Dalam peta logika spasial, Ngemplak terlihat strategis. Tapi peta administrasi tidak bekerja sesederhana itu.

Penggabungan wilayah bukan perkara cocoklogi geografis semata. Ia menyangkut keputusan politik dan fiskal. Boyolali tentu tidak tinggal diam. Kecamatan Ngemplak menyumbang aset bernilai ekonomi tinggi. Bandara, asrama haji, dan waduk bukan sekadar bangunan, tapi sumber perputaran ekonomi. Kehilangan wilayah berarti kehilangan pemasukan, dan tidak ada pemerintah daerah yang ikhlas melepasnya begitu saja.

Tumbuh di Kecamatan Ngemplak harus belajar menerima ketidakjelasan

Di tengah tarik-menarik kepentingan itu, warga Kecamatan Ngemplak hidup dengan segala konsekuensinya. Kedekatan dengan kota memberi keuntungan, tapi juga membawa beban. Lalu lintas makin padat, fungsi lahan berubah cepat, dan harga tanah melonjak. Sayangnya, tidak semua perubahan diiringi kesiapan infrastruktur dan pelayanan.

Ngemplak menjalani fungsi urban tanpa status kota. Macet iya. Mall dekat iya. Bandara ada iya. Tapi ketika urusan birokrasi dan fasilitas publik muncul, kami sering kembali diingatkan: ini bukan kota. Sebuah posisi tanggung yang jarang dibahas secara terbuka, tapi dirasakan sehari-hari.

Bagi saya, tumbuh di Kecamatan Ngemplak adalah belajar menerima ketidakjelasan. Kami terbiasa hidup di wilayah antara. Tidak sepenuhnya desa, tapi juga bukan kota. Seperti hubungan yang sudah intens, sering jalan bareng, tapi tak kunjung diajak resmi. Dan setiap kali ditanya asal daerah, saya tahu: jawaban saya mungkin tidak pernah benar-benar singkat.

Penulis: Nuriyatin Fighya
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Menurut Saya, Selo Boyolali Lebih Nyaman daripada Tawangmangu, Ini Alasannya!

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version