Kecamatan Dau, Terlalu “Kota” untuk Disebut Kabupaten Malang

Kecamatan Dau, Terlalu "Kota" untuk Disebut Kabupaten Malang

Kecamatan Dau, Terlalu "Kota" untuk Disebut Kabupaten Malang (unsplash.com)

Dau ini kecamatan yang agak aneh, ia lebih cocok jadi bagian Kota Malang daripada Kabupaten Malang.

Tempo hari, saya pernah menulis tentang wacana pemekaran Kabupaten Malang yang akan bertambah menjadi Kabupaten Malang Utara. Dalam tulisan tersebut, saya bilang bahwa pemekaran ini adalah langkah yang perlu, meski jangan buru-buru. Alasannya karena kondisi geografis Kabupaten Malang yang agak aneh. Ada beberapa kecamatan yang secara lokasi lebih pas dan lebih pantas masuk ke wilayah tetangga, yaitu wilayah Kota Malang atau Kota Batu.

Nah, salah satu kecamatan yang dimaksud adalah Kecamatan Dau di Kabupaten Malang. Kalau kita lihat di peta, lokasi Kecamatan Dau ini ada di bagian utara Malang Raya, serta berada di tengah-tengah antara Kota Batu dan Kota Malang. Semacam jadi pembatas gitu. Tak heran jika dalam wacana pemekaran Kabupaten Malang, Kecamatan Dau masuk ke dalam daftar kecamatan yang nantinya akan masuk ke wilayah Kabupaten Malang Utara.

Tapi tulisan ini tidak akan membahas soal pemekaran Kabupaten Malang. Tulisan ini akan membahas spesifik soal Kecamatan Dau, sebuah wilayah yang nyaris tiap hari saya lalui, wilayah yang jadi “jembatan” antara Kota Batu dan Kota Malang. Wilayah yang boleh saya bilang krisis identitas.

Dau, terlalu jauh dan teralienasi dari pusat Kabupaten Malang

Kalau kita melihat peta Kabupaten Malang atau peta Malang Raya, kita akan melihat letak Kecamatan Dau yang agak aneh. Letaknya benar-benar seperti jadi pemisah antara Kota Batu dan Kabupaten Malang. Kalau kita menuju Kota Malang dari Kota Batu, kita hampir pasti akan melewati wilayah Dau. Mau dari jalan utama atau jalur barat, kecuali dari jalur timur melewati Tegalgondo yang sudah masuk wilayah Kecamatan Karangploso.

Meskipun masih menyatu dengan kecamatan lain di Kabupaten Malang, letak Kecamatan Dau seakan terpisah dari pusat Kabupaten Malang. Bahkan seakan teralienasi dari “gerombolan” kecamatan yang jadi bagian Kabupaten Malang. Selain itu, jarak dari Kecamatan Dau menuju pusat Kabupaten Malang di daerah Kepanjen sekitar 30 kilometer. Ya meskipun harus diakui, nasib Dau masih lebih beruntung daripada Kecamatan Pujon, Ngantang, dan Kasembon yang lebih jauh dan lebiih teralienasi lagi dari Kabupaten Malang.

Tapi ya tetap saja, letak Kecamatan Dau yang terlalu jauh dan teralienasi dari Kabupaten Malang akan menyulitkan warganya kalau mau ngurus dokumen, dsb. Warga harus menempuh puluhan kilometer ke pusat Kabupaten Malang yang mana itu bisa memakan waktu sekitar satu jam perjalanan untuk sekali berangkat. Capek bener.

Terlalu “kota” untuk disebut kabupaten

Mari kita mulai bagian ini dari sebuah stereotip, sebuah label yang kadung melekat dan dipercayai bertahun-tahun. Mungkin kita sering mendengar soal dikotomi dan label yang melekat antara kota dan kabupaten. Kota kerap dikaitkan dengan hal-hal yang modern, maju, bangunan tinggi, metropolitan lah. Sedangkan kabupaten kerap dikaitkan dengan ketertinggalan: jalan rusak, sepi, banyak pedesaan, dsb.

Itulah yang terjadi setidaknya di daerah Malang Raya. Kalau kalian tanya orang Malang tentang perbedaan Kota Malang dan Kabupaten Malang, pasti jawabannya akan seragam. Bahwa Kota Malang itu lebih modern, lebih metropolitan, lebih banyak kampus dan mall, sedangkan Kabupaten Malang itu “jauh dari peradaban”, banyak jalan yang rusak, bahkan ada yang bilang bahwa Kabupaten Malang itu lebih “ndeso”.

Sepakat atau tidak, stereotip di atas banyak benarnya. Kalau kalian orang Malang, pernah tinggal di Malang, atau sekadar pernah berkunjung ke Malang, pasti akan tahu gimana bedanya Kota Malang dan Kabupaten Malang. Bahkan perbedaan itu bisa sangat kentara sekali di beberapa tempat. Antara Kecamatan Blimbing di Kota Malang dan Kecamatan Pakis di Kabupaten Malang pasti akan kelihatan bedanya, padahal kedua kecamatan ini bersebelahan. Orang Malang pasti bisa merasakan bedanya, kok.

Namun, stereotip itu tidak berlaku di Kecamatan Dau, yang notabene masih bagian dari Kabupaten Malang. Dau, harus diakui, terlalu “kota” untuk disebut sebagai kabupaten. Dau—di sebagian besar desa/kelurahannya—malah tidak terlihat seperti kecamatan lain di Kabupaten Malang, baik dari segi jalanan, kehidupan masyarakat, hingga hiruk-pikuknya. Sebaliknya, Dau malah lebih terasa seperti Kota Malang, bahkan di kawasan yang pedalamannya, suasananya masih terasa seperti Kota Malang.

Letaknya strategis, lebih dekat ke kota

Letak kecamatan ini yang jadi alasannya. Seperti yang sudah saya bilang, letaknya—baik secara geografis atau emosional—itu lebih dekat ke Kota Malang daripada ke Kabupaten Malang. Tidak heran jika banyak orang yang menganggap Dau itu masih bagian dari Kota Malang. Apalagi bagi para pendatang (mahasiswa perantau di Malang) yang kerap salah mengidentifikasi Dau itu bagian dari mana.

Selain itu, Dau juga berbatasan langsung dengan salah satu kampus swasta terbesar di Malang, Universitas Muhammadiyah Malang (UMM). Adanya UMM berarti akan ada banyak mahasiswa yang tinggal di sekitarnya. Hal ini menjadikan Dau, terutama di daerah Mulyoagung dan Landungsari, sebagai salah satu wilayah dengan banyak kos-kosan mahasiswa. Banyaknya kos-kosan mahasiswa berarti akan banyak kehidupan di sekitarnya.

Inilah yang menjadikan Dau tidak seperti kecamatan lain di Kabupaten Malang. Dau terasa lebih modern, lebih “kota”, dan lebih metropolitan dari kecamatan lain di Kabupaten Malang. Ini juga yang menjadikan Dau sebagai daerah yang krisis identitas. Mau dibilang Kabupaten Malang, tapi kok ya terlalu “kota” untuk dibilang kabupaten. Mau dibilang Kota Malang, tapi secara administratif masih bagian dari Kabupaten Malang.

Tapi ya sudah, Dau akan tetap jadi Dau meskipun ada semacam “krisis identitas” yang melekat. Dau akan tetap jadi titik temu antara tiga wilayah: Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu. Dau akan tetap jadi Dau yang banyak tempat ngopi enak dan murah. Dan Dau akan tetap jadi Dau yang tiap hari saya lewati.

Penulis: Iqbal AR
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Lulusan Sastra Indonesia Dianggap Susah Dapat Kerja? Ah, Nggak Juga, kok.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version