Kebumen itu jelas ada di peta, bukan cuma tempat singgah di antara Jogja dan Purwokerto.
Sebagai perantau dari Kebumen dan tinggal di Jogja, ada satu pertanyaan klasik yang selalu mampir setiap berkenalan dan bertanya asal daerah. “Kebumen itu di mana, ya?”
Kalau lagi sabar, saya akan jawab dengan tenang, “Jawa Tengah.” Kalau lagi malas, cukup bilang, “Dekat Purwokerto.” Pas iseng, saya akan pura-pura tidak tahu juga.
Pertanyaan yang mungkin niatnya basa-basi, tapi bisa bikin saya merenungi eksistensi daerah sendiri. Sebagai perantau dari Kebumen yang mencoba peruntungan di Jogja, saya sudah kebal dengan respons seperti ini.
Ada yang mengira dekat Semarang, ada yang nekat menyamakannya dengan Purwokerto. Banyak juga yang pura-pura tahu sambil mengangguk-angguk bijak. Padahal, Kebumen itu jelas ada di peta, bukan cuma tempat singgah di antara Jogja dan Purwokerto.
Orang Mana?: Dilema identitas wong Kebumen di Jogja
Sebagai daerah yang sering ketlingsut di peta orang-orang, Kebumen sering dianggap daerah misterius. Tetangga sebelah seperti Purwokerto dan Cilacap lebih dulu dikenal. Padahal, ya sama-sama ada di Jawa Tengah. Tapi kenapa kalah populer?
Kalau lawan bicara saya dari Jakarta atau luar Jawa, biasanya mereka mengernyitkan dahi dulu sebelum mengira-ngira. “Dekat Semarang, ya?” Ada juga yang sok yakin, “Oh iya, tahu, tahu! Itu yang dekat Jogja, kan?”
Kalau sudah begini, saya hanya bisa pasrah. Padahal, Kebumen ini punya banyak hal yang seharusnya bikin orang ingat. Dari bahasa ngapak yang khas, makanan ikonik seperti sate ambal dan mendoan, sampai pantai cantik yang mulai naik daun di Instagram.
Tapi ya sudahlah, saya maklum. Wong saya sendiri kadang bingung menjelaskan secara cepat tanpa membuka Google Maps.
Dialek Ngapak, makanan, dan adaptasi sosial
Salah satu tantangan terbesar saat pertama kali merantau ke Jogja adalah dialek. Orang Jogja terkenal halus dan lemah lembut, sementara kami orang Kebumen, Purwokerto, Cilacap dan sekitarnya, seperti kebanyakan wong Ngapak lainnya, terbiasa ngomong blak-blakan. Nggak ada basa-basi.
Logat ngapak saya sempat jadi bahan bercandaan di antara teman-teman kuliah. “Eh, ngomong lagi dong! Lucu banget, hahaha.”
Sebenarnya, saya nggak tersinggung. Wong saya sendiri juga suka ketawa kalau ada orang yang mendadak ngomong ngapak ala-ala. Terdengar kaku, tapi menghibur.
Masalah berikutnya adalah makanan. Di Jogja, susah cari mendoan yang beneran setengah matang. Mendoan di sini sering kelewat kering dan lebih tepat disebut tempe tepung.
Udah gitu, saya juga harus menyesuaikan diri dengan soto yang kuahnya bening dan manis. Ya meskipun ada preferensi lain yang kuahnya gurih juga, sih. Beda banget sama soto Tamanwinangun dari Kebumen yang lebih berbumbu.
Setiap kali makan soto, saya rasanya ingin spontan menumpahkan satu sendok garam biar lebih berasa. Tapi ya, namanya juga adaptasi. Lama-lama terbiasa, meskipun tetap merasa ada yang kurang.
Kebumen itu ada! Bukan semata daerah singgah di antara Jogja dan Purwokerto
Meskipun sering dianggap kurang terkenal, perantau Kebumen di Jogja biasanya punya semangat tinggi buat mempromosikan kampung halamannya. Beberapa teman bahkan punya prinsip, “Kalau ada yang tanya Kebumen itu di mana, kita wajib ceritakan minimal tiga keunggulan!”
Salah satu misi yang saya emban di tanah rantau adalah menyebarkan ajaran “Mendoan yang benar adalah yang setengah matang.” Saya sudah sering melihat teman-teman kuliah asal daerah lain mengunyah mendoan crispy tanpa dosa.
Hati ngilu, tapi saya berusaha maklum. Belum tahu dia nikmatnya mendoan yang masih lembek dan berminyak.
Selain makanan, pariwisata Kebumen juga mulai saya promosikan. Pantai Menganti yang pasirnya putih dan pemandangannya eksotis sering saya sebut-sebut sebagai “Bali-nya Kebumen.”
Ada juga benteng Van Der Wijck yang merah menyala itu, plus goa-goa eksotis yang cocok buat petualang sejati. Pokoknya, Kebumen bukan sekadar kota transit kalau mau ke Purwokerto. Kebumen itu ada, dan layak jadi tujuan utama!
Kebanggaan tersendiri
Meskipun awalnya merasa asing, lama-lama saya bangga jadi wong Kebumen di tanah rantau. Kami mungkin tidak sebanyak perantau dari Purwokerto, Cilacap, atau Semarang. Namun, kami ini ada dan eksis.
Kami tetap membawa ciri khas, baik logat, makanan, hingga semangat lokal. Dari sekadar memperkenalkan mendoan ke teman-teman kuliah, sampai berusaha bikin daerah kami lebih dikenal lewat karya dan komunitas.
Perantau Kebumen punya caranya sendiri untuk tetap merasa dekat dengan kampung halaman. Saya sendiri memilih menulis, agar nama kampung saya terus muncul dan semakin dikenal.
Jadi, lain kali kalau ada yang bertanya, “Kebumen itu di mana?” Saya akan jawab dengan penuh percaya diri: “Di hati para perantau yang selalu rindu pulang.”
Penulis: Akhmad Alhamdika Nafisarozaq
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Kenapa Gombong? Karena Gombong Adalah Kecamatan Terbaik dan Berdikari di Kabupaten Kebumen
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
