Sewaktu kecil, saya termasuk anak yang mudah sekali mimisan. Ada dua alasan, pertama karena senang bermain di luar rumah pada siang hari saat terik sambil bermain layang-layang. Kedua, karena kebiasaan mengupil saat kuku panjang sehingga melukai sekitaran lubang hidung. Maklum, kala itu saya belum memerhatikan soal panjang pendeknya kuku—seberapa panjang kuku sudah harus dipotong.
Saya cukup yakin bagi banyak orang mengupil adalah suatu kenikmatan yang hakiki dan tidak tergantikan—tak terkecuali bagi saya. Sejak kecil hingga sekarang, kebiasaan saya akan mengupil masih dilakukan. Sebagian orang bilang hal tersebut tergolong jorok. Padahal, saya mengupil di hidung sendiri.
Bagi saya, justru menjadi jorok adalah ketika saat mengupil di hidung orang lain lalu menempelkannya ke anggota badan orang lain. Betul, kan? Eh, iya nggak, sih?
Kenikmatan lain setelah mengupil adalah menempelkan upil di sembarang tempat. Beberapa lokasinya antara lain; kursi, bantal, kolong meja, dan gagang pintu. Boleh dicatat, barangkali nantinya ada diantara kalian yang menjadi teman saya, bisa langsung menghindari beberapa spot tersebut. ehehe. Selain itu, sering juga saya membuang upil secara sembarang.
Perkara mengupil sembarangan, sebetulnya saya sudah ditegur oleh beberapa teman juga keluarga terdekat. Namun, seakan sudah menjadi kesenangan pribadi teguran itu saya abaikan sampai akhirnya saya kena sialnya. Sewaktu mengupil, kuku sedang panjang dan belum sempat digunting, bukannya upil yang didapat malah darah yang menempel di jari telunjuk sebelah kiri—saya mimisan karena adanya luka dihidung dan rasanya perih.
Tidak berapa lama kemudian, ketika itu saya langsung meminta Ibu diantar ke klinik terdekat untuk segera diobati. Di waktu yang bersamaan, saya merasa baru pada saat itu berkunjung ke dokter karena hal yang tidak keren: hidung terluka karena terlalu semangat mengupil. Mau update tapi malu.
Apa kata teman-teman nanti kalau tahu saya berobat karena mengupil? Tapi kalau tidak di-update, sebagai seseorang yang ingin selalu diberi perhatian dan ditanya kenapa, siapa yang sakit, dan didoakan lekas sembuh (juga agar notifikasi di handphone ramai), tandanya saya melewatkan satu kesempatan yang sangat baik untuk mendapatkan perhatian— dihubungi gebetan.
Setelah sembuh dan pulih, saya tidak kapok untuk mengupil pada berbagai kesempatan—kebanyakan saat bengong. Satu yang saya paling sadari dan menjadi pertanyaan hingga sekarang, kenapa setelah mengupil, banyak orang yang bukannya langsung membuang upil ke tempatnya, eh malah dilihat lebih dulu. Belum lagi kadang juga dielus bahkan dipelintir dulu sebelum akhirnya dibuang. Lagipula, untuk apa menggenggam upil terlalu lama? Toh, tidak bisa dijadikan investasi—apalagi deposito.
Memang aneh kebiasaan orang yang mengupil ini. Apa yang diharapkan dari melihat upil setelah dikorek-korek dari lubang hidung? Berubah menjadi berlian? Seakan sudah menjadi kebiasaan yang terus berulang, hal tersebut biasanya akan secara spontan dilakukan oleh banyak orang—termasuk saya dong pastinya.
Selain bagi banyak orang upil menjadi salah satu simbol kejorokan, mitosnya upil juga bisa digunakan sebagai penyembuh bisul. Info ini saya dapatkan dari beberapa teman. Entah dari mana sumbernya dan apa penelitian ilmiahnya hingga dapat dikatakan demikian. Yah, namanya juga mitos, dengan segala keunikan informasinya hal itu seperti pemanis cerita dalam kehidupan.
Sebetulnya ngupil itu lumrah dan manusiawi, kok. Sewaktu saya ke klinik untuk mengobati rongga hidung yang terluka karena terlalu semangat mengupil, dokter tidak melarang kebiasaan tersebut namun diusahakan agar tangan dalam keadaan bersih saat mengupil untuk menghindari bakteri kuman lainnya. Alternatif lain bisa dengan menggunakan tisu yang dilekatkan di salah satu jari, tujuannya agar meminimalisir bakteri.
Saran saya, sih, perihal mengupil tidak perlu dibesar-besarkan. Pada dasarnya semua orang perlu mengupil, hanya caranya saja yang berbeda-beda. Ada yang secara diam-diam dan jaim—jaga image—bahkan harus ke toilet atau sembunyi terlebih dahulu, ada juga yang cuek mengorek-ngorek rongga hidung di depan khalayak ramai. Semuanya tergantung pada kenyamanan masing-masing.
Jangan pula dipaksa hingga mengorek terlalu dalam, jika salah malah akan terluka dan menyebabkan infeksi di sekitar rongga hidung. Eh, kok ya jadi keasikan ngomongin upil. Nggak berfaedah banget, sih.