Orang Indonesia selalu punya cara dan kebiasaan unik dalam melakukan aktivitas sehari-hari. Tak terkecuali ketika membuat janji dengan kerabat. Setelah kata “OTW” alias on the way selalu menjadi pergunjingan yang maha dahsyat karena mencerminkan keterlambatan, ada hal lain yang semestinya kita soroti bersama. Yakni, penyebutan waktu salat sebagai kata ganti waktu untuk janjian.
“Nanti kita ketemuan di warung burjo jam berapa, Gaes?”
“Setelah Isya aja, ya. Sip. Mantap.”
Sebentar, sebentar, sebentar.
Setelah Isya ini betul-betul menjadi sesuatu yang tidak pasti dan maknanya terlalu luas. Apakah betul-betul persis setelah Isya? Harus salat terlebih dulu atau nggak. Kalau saya datang pukul 21.00, tapi ternyata teman-teman yang lain tiba dan sudah berkumpul sejak pukul 19.30, apakah saya bersalah dan dibilang ngaret? Dan masih banyak lagi kemungkinan juga informasi rancu yang terjadi.
Satu yang pasti, kalau ada seseorang yang datang sesukanya saat membuat janji dan informasi terkait waktu hanya sebatas “setelah Isya”, ya bukan salah orang tersebut juga, sih.
Disadari atau tidak, kebiasaan ini sudah berlangsung sejak lama. Bisa dikatakan turun-temurun. Bahkan sewaktu saya masih kecil hingga saat ini memasuki usia dewasa, hal tersebut masih terus dilakukan secara masif oleh orang di sekitar saya. Bisa dikatakan, penyebutan waktu salat sebagai kata ganti saat janjian bisa disetarakan dengan istilah on the way yang mengalami pergeseran makna.
Percayalah. Ketika sekelompok orang membuat janji, lalu saat ditanya sudah di mana, kemudian jawabnya “OTW”, hampir dipastikan ia masih jauh dari lokasi. Sama halnya ketika ingin membuat janji lalu ditanya mau ketemu jam berapa, lalu jawabnya malah menggunakan “waktu salat”, hampir bisa dipastikan ketemuan jadi nggak menentu dan nggak akan serempak. Wajar saja karena hal tersebut menimbulkan banyak sekali persepsi.
Dari pengalaman saya selama belasan tahun, saat janjian dengan metode seperti ini, khususnya untuk acara bepergian atau sekadar nongkrong, kemungkinan datang terlambat atau ogah-ogahan lebih besar. Dan pemikiran template antara satu dengan orang lain sering kali sama, “Nanti aja, lah. Yang lain juga paling pada ngaret.” Jadi, ngaret memang bukan suatu hal yang asing lagi, sih. Sudah mendarah daging.
Entah siapa yang memulai kebiasaan ini. Sebab, hal ini juga sering kali saya dengar ketika para orang tua membuat janji.
Saya ambil contoh ketika Bapak membuat janji secara langsung dengan teman-temannya terkait ronda malam.
“Pak, nanti ketemu habis Isya aja, ya!”
“Iya, Pak. Habis Isya kumpul di pos ronda.”
Bisa jadi, Bapak pun mengetahui hal tersebut dari para orang tua terdahulu yang punya kebiasaan serupa.
Sebetulnya, ini bukan kebiasaan yang buruk-buruk amat. Tapi, jika ada keterangan lebih jelas yang dapat disampaikan, kenapa nggak dilakukan aja, ya? Rasanya, hal tersebut juga bukan sesuatu yang sulit-sulit amat, kok. Bahkan jauh lebih sederhana. Tinggal menyebutkan pukul berapa harus kumpul dan pada akhirnya semua orang akan datang di waktu yang sudah disepakati bersama.
Meski tetap ada kemungkinan ada satu atau beberapa orang yang datang terlambat, setidaknya infonya sudah sangat jelas dan tidak rancu.
Saya juga hampir selalu menemukan kasus serupa saat ada pengajian bersama di lingkungan tempat saya tinggal. Menggunakan waktu salat untuk menentukan kapan pengajian akan dimulai. Bedanya, cara ini akan lebih efektif dan warga akan lebih memahami hal ini.
“Bapak-bapak, Ibu-ibu sekalian, nanti akan ada pengajian bersama di masjid. Silakan datang ba’da (setelah waktu) Dzuhur.”
Begitu kira-kira pengumuman yang disampaikan oleh pengurus masjid setempat dan dipahami oleh seluruh warga. Saat saya melakukan observasi kecil-kecilan dengan ikut datang ke masjid, dengan kompak, hampir semua warga akan datang secara bersamaan. Antara pukul 12.00-12.30.
Begitu pula ketika Ibu menghadiri pengajian ibu-ibu komplek. Bu RT punya kebiasaan hanya menyebutkan bahwa, pengajian akan dilakukan setelah Maghrib. Dan benar saja, sekira 10-15 menit setelah selesai salat Maghrib, Ibu-ibu komplek langsung jalan beriringan mendatangi tempat pengajian bersama.
Hasilnya sangat berbanding terbalik pada saat hanya sekadar nongkrong dan janjian dengan menggunakan “waktu salat”.
Maka, rasanya tidak berlebihan saat saya berasumsi, janjian dengan menyebutkan waktu salat tertentu akan efektif digunakan untuk kegiatan keagamaan seperti pengajian, ceramah, dan semacamnya.
Jadi, gimana? Bisa nggak nih, mulai sekarang, kalau ada acara kumpul gitu, lebih diperjelas dan dipertegas lagi waktunya?
BACA JUGA Tips Merawat Katup Ban yang Diisi Angin Nitrogen dari Tukang Tambal Ban dan artikel Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.