Jika ada istilah yang jadi favorit para penegak hukum dalam beberapa tahun terakhir, keadilan restoratif mungkin juaranya. Masalahnya, di antara penegak hukum pun, masih banyak yang tidak mengerti arti istilah ini. Hal ini dapat terlihat dari beragam kasus dengan label “diselesaikan secara keadilan restoratif”, tetapi malah mencederai rasa keadilan masyarakat itu sendiri.
Kasus terbaru adalah kasus pemerkosaan pegawai Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah & Mikro atau dikenal Kemenkop UMKM. Kasus pemerkosaan ini telah dilakukan pada 2019 dan dilaporkan ke pihak Kepolisian Resor Kota Bogor. Namun, kasus tersebut dihentikan melalui Surat Pemberhentian Penyidikan atau SP3. Alasannya adalah karena keluarga korban telah menyelesaikan kasus tersebut dengan musyawarah bersama keluarga pelaku dengan menikahkan korban dengan pelaku.
Proses penyelesaian kasus ini lalu dengan bangga dilabeli sebagai keadilan restoratif oleh pihak penegak hukum. Padahal membaca kronologi kasus ini saja sudah membuat saya mual membayangkan banyak orang dengan nurani tumpul ikut berkontribusi dalam upaya memerkosa seorang manusia lain. Saya tak ingin menjelaskan kronologi lebih lanjutnya, tetapi jika kalian ingin mengetahuinya maka artikel dari Vice memberikan kronologi jelas seperti diutarakan saudara.
Terlepas dari kronologi itu, pertama-tama kita harus memahami apa itu konsep keadilan restoratif sendiri. Istilah keadilan restoratif dirumuskan oleh Albert Eglash pada 1977 sebagai pembeda tiga jenis bentuk peradilan pidana. Pertama adalah peradilan pidana berdasarkan keadilan retribusi yang mengedepankan hukuman pembalasan terhadap pelaku kejahatan. Kedua adalah peradilan pidana lewat keadilan distributif dengan asas rehabilitasi pelaku kejahatan. Terakhir adalah peradilan pidana berasaskan keadilan restoratif sebagai cara mengamankan reparasi bagi korban dan pemulihan ke keadaan semula sebelum terjadi kejahatan bagi korban serta masyarakat.
Hal sama juga ditegaskan oleh Mark S. Umbreit dalam tulisannya tentang keadilan restoratif, di mana dirinya menyatakan bahwa fokus kepada kebutuhan korban dan tindakan pelaku memperbaiki dampak dari kejahatannya sebagai aspek terbesar dari sistem ini. Prof. Mardjono Reksodiputro, S.H., M.A juga menyatakan hal sama terkait keadilan restoratif sebagai pendekatan yang membangun sistem peradilan yang peka terhadap korban. Di sini kita bisa lihat bahwa semua pakar hukum percaya bahwa keadilan restoratif sangatlah mengedepankan korban sebagai titik utama dimulainya pencarian keadilan dan (tentu saja) bukan pelaku.
Sekarang yang menjadi pertanyaan besar adalah, apakah membiarkan pelaku tetap menjadi pegawai negeri sipil tanpa konsekuensi adalah keadilan restoratif atau tidak? Apakah dengan menikahkan korban dengan dirinya, sudah terjadi reparasi atas hilangnya martabat dari korban pemerkosaan? Apakah dengan tidak dilanjutkannya penyidikan karena telah diadakan musyawarah tertutup, rasa keadilan masyarakat mengetahui seorang pemerkosa masih hidup bebas telah terpenuhi?
Jika jawaban atas pertanyaan di atas masih tidak, apa yang dilakukan pihak penegak hukum di sini tak lebih dari intimidasi dan upaya pembungkaman korban pemerkosaan.
Baca halaman selanjutnya
Logika penyelesaian hukum yang terbalik
Permasalahan terkait bagaimana keadilan restoratif digunakan untuk mengerdilkan kekerasan pria terhadap wanita bahkan sudah dibahas oleh para pakar. Allison Moris dalam jurnalnya, menekankan bahwa untuk keadilan restoratif dapat bekerja dalam kejahatan kekerasan pria terhadap wanita, pelaku harus meminta maaf dan mengakui kesalahannya di depan korban serta keluarga. Namun, hal ini tidak membuat proses peradilan pidana dikesampingkan karena bagi Morrison, mereka tetaplah panglimanya dalam menyelesaikan kasus kekerasan pria terhadap wanita.
Bukan cuma mengkhianati semangat keadilan restoratif, penyelesaian kasus pemerkosaan dengan menikahkan pelaku juga bertentangan dengan semangat peraturan perundang-undangan mengenai keadilan restoratif. Pasal 5 Peraturan Kapolri Nomor 8 Tahun 2021 telah mensyaratkan tidak timbulnya penolakan atau keresahan di masyarakat sebagai syarat materiil dilaksanakannya keadilan restoratif. Bahkan Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Agung Nomor 15 Tahun 2020 lebih jelas memberikan syarat bahwa ancaman pidana penjara terhadap kejahatan tersebut di bawah 5 tahun sebagai syarat dilakukan penutupan perkara menggunakan metode keadilan restoratif.
Pertama, kasus pemerkosaan merupakan kejahatan yang diancam 12 tahun penjara oleh Pasal 285 KUHP. Bukan lagi tidak memenuhi syarat termaktub dalam Pasal 5 Peraturan Kejaksaan Agung, pemerkosaan termasuk dalam golongan kejahatan diancam pidana berat di KUHP. Menganggap bahwa pemerkosaan bisa diselesaikan dengan menikahkan pelaku sama saja mengerdilkan kejinya kejahatan tersebut. Itu seperti bilang bahwa perampok bersenjata bisa dibebaskan dan dimaafkan jika dia mau tinggal bersama korban yang dirampoknya.
Kedua, masyarakat tak pernah diberikan akses terhadap perkembangan kasus pemerkosaan yang sering dipaksakan untuk diselesaikan lewat jalur keadilan restoratif. Padahal tidak adanya penolakan masyarakat menjadi salah satu syarat terpenting dalam dijalankannya keadilan restoratif. Apalagi mengingat bahwa jika masyarakat merasa pelaku belum meminta maaf secara sungguh-sungguh dan mengoreksi pola pikir yang membuatnya melakukan kejahatan keji tersebut, hal tersebut akan mencederai rasa keadilan masyarakat.
Saya rasa, kita semua punya kepentingan untuk memastikan bahwa pelaku tidak lagi mencoba mengulangi kejahatannya. Maksudnya siapa yang senang melihat pemerkosa hidup bebas dan bercengkerama dengan orang lain tanpa ada rasa bersalah.
Namun, saat semua teori mengenai keadilan restoratif mengedepankan dialog antara korban, pelaku, keluarga kedua belah pihak, dan komunitas, penegak hukum malah berpikiran bahwa merekalah penentu utama akan berhasilnya keberlangsungan proses ini. Padahal inti utama dari keadilan restoratif adalah keterlibatan aktif korban dan masyarakat. Sekarang dengan diceraikan korban oleh pelaku, tercipta pertanyaan besar terkait keefektifan “keadilan restoratif ala penegak hukum Indonesia” dalam menangani kasus pemerkosaan. Jangan sampai bukan keadilan yang dicari, tapi malah cuma harmoni semu dan pencitraan akan ketentraman masyarakat.
Maka solusi paling tepat dalam menyelesaikan kasus pemerkosaan menurut saya adalah tetap dengan dilanjutkan ke ranah peradilan pidana dan penjatuhan pidana penjara. Di saat bersamaan, hakim dapat mempertimbangkan keringanan hukuman bagi pelaku jika dirinya mau melakukan dialog dengan korban dan meminta maaf secara langsung di depan umum. Mengutip pakar kriminologi Kathleen Daly, keadilan restoratif harus dipahami sebagai hukuman alternatif, bukan alternatif dari hukuman. Bahwa hukuman pidana bukan sesuatu yang harus dihindari dari keadilan restoratif, tetapi harus dilihat sebagai salah satu cara merestorasi rasa keadilan yang tercederai.
Dalam pemerkosaan, kerugian terbesar dari korban adalah hilangnya martabat dan kendali korban atas tubuhnya. Hal yang tak bisa digantikan dengan uang makan dari suami, tetapi lewat permintaan maaf ke korban, pengakuan akan kesalahannya secara terbuka dan rehabilitasi pelaku agar tak mengulangi perbuatannya. Jadi jangan pikir bahwa pemerkosa bisa terus bekerja dan bebas bersosialisasi merupakan bentuk keadilan restoratif. Sebab, akan jadi pertanyaan rasa keadilan siapa yang dipulihkan? Korban, masyarakat, atau jangan-jangan cuma pelaku?
Penulis: Raynal Payuk
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Pemerkosaan: Mengutuk Pelakunya, Membongkar Akarnya