Saya tidak mengerti, sebenarnya sejak kapan muncul stigma bahwa mahasiswa belum lengkap jadi mahasiswa kalau belum nongkrong di warung kopi. Terlebih lagi bagi mahasiswa Sastra Indonesia.
Membaca tulisan Anik Setyaningrum di Pojokan Mojok tentang masa depan mahasiswa Sastra Indonesia yang baginya he he he, membuat saya menerka-nerka. Terkaan saya, mungkin ada semacam konspirasi antara mahasiswa Sastra Indonesia dan warung kopi.
Pasalnya, Anik menuliskan kalau mahasiswa Sastra Indonesia lulus kuliah, biasanya lari jadi pedagang buku dan pengusaha warung kopi. Pantas saja, ketika kami—dedek-dedek gemes—hendak menemui kating-kating ahli mbribik, pasti ketemunya di warung itu itu lagi.
“Ketemu di Warung Kopi A saja, ya. Nanti aku ngopi di sana.”
“Aku di Warung Kopi B nih. Ke sini aja.”
“Aku di Warung Kopinya Mas C. Tak tunggu!”
Seperti itulah jawaban-jawaban yang sering kami terima. Hampir semuanya mengarahkan kami untuk bertemu di tempat ini. Terkadang, warung itu milik teman sendiri. Paling tidak kan melarisi dagangannya. Kalaupun sedang tidak pegang uang kan bisa ngutang atau sekadar menemaninya.
Selain alasan melarisi dan menemani teman sendiri, biasanya pertemuan kami di sebuah tempat karena di lokasi tersebut ada bau-bau literasi. Sekarang kan sudah banyak sekali warung-warung yang menyediakan buku-buku untuk dibaca secara gratis. Agar tidak terlalu boros karena harus membeli buku, ke warung kopi literasi adalah sebuah solusi.
Di samping itu, sebagian teman saya meyakini bahwa warung kopi mempunyai energinya sendiri. Ketika berada di dalamnya, pikiran menjadi lebih berguna. Sebab itu, di tempat itu saya sering menemui lingkaran-lingkaran diskusi. Dari yang serius membahas tentang perpolitikan negara, masalah perkuliahan, literasi, sampai hal-hal terkait tingkat kebucinan seseorang.
Diskusi tersebut berjalan dengan begitu saja secara bersama-sama. Oleh karenanya, ketika kamu berada di dalamnya, kebisingan adalah hal utama. Kamu tidak bisa menghindarinya. Tidak ada cara lain untuk mengalihkan itu, kecuali dengan membuat kebisingan sendiri. Barangkali akan terasa aneh berada di warung kopi yang sepi. Ke sana kan bukan untuk meditasi.
Alasan yang paling utama dan tidak mungkin ditampik oleh semua orang adalah warung kopi itu menyediakan wife wifi gratis. Sekali lagi, langkah-langkah seperti ini ditempuh guna melatih perilaku ngirit. Selain itu, bukankah pepatah kita mengatakan, sambil ngopi, diskusi dan nyari wifi?
Seperti jamaknya mahasiswa Sastra Indonesia yang merasa salah jurusan lain, saya pun gagap di awal perkuliahan. Lulus dari SMK Pertanian jurusan Quality Control, saya kesusahan mengontrol kualitas bribikan dan kisah-kisah cinta di dalamnya mengikuti kuliah tentang bahasa. Berbekal diri yang tak punya kemaluan, saya pun mendekati kating-kating ahli mbribik tadi. Untung saya masih laki-laki, sehingga tidak ikut digombali dengan puisi.
Proses pendekatannya seperti yang sudah saya jelaskan di awal—melalui warung kopi. Saya diajari membedakan mana lokasi yang menyediakan wifi gratis dan mana yang mesti bayar untuk setiap jamnya; mana yang duapuluh empat jam dan mana yang bukan; serta mana yang enak buat tidur dan mana yang bikin nggak kerasan.
Lucunya, saya tidak diajari cara menikmati kopi yang benar—cara membedakan kopi yang enak dan enak banget dan memahami sejarah panjang sampainya kopi tersebut—di atas meja kami. Dengan begitu—meskipun suka dengan kopi—saya tidak lihai membedakan jenis-jenis dan cara pengolahannya.
Ketidaklihaian tersebut terkadang mengantarkan saya untuk lebih memilih teh jumbo daripada kopi, meskipun itu belinya di warung yang spesialisasinya kopi. Lebih enak lagi ditambah memesan tempe goreng yang dicocol sambel kecap. Mantap!
Keblingeran ini tidak saya alami seorang diri. Saya kerap menemui meja-meja diskusi di sana tanpa adanya kopi. Malahan, bukan hanya teh jumbo dan tempe goreng cocol sambel kecap, di sana terdapat kentang goreng, coklat panas, wedang jahe, dan milkshake.
Saya sih mafhum ya, kalau ada fenomena semacam ini. Pasalnya, tidak semua orang suka kopi. Walaupun hampir semua orang yang hendak pergi ke warung kopi, ketika ditanya mau ke mana—jawabnya ngopi. Saya jarang mendengar jawaban diskusi, belajar kelompok, apalagi mengerjakan skripsi.
Saya kira, fenomena ini selaras dengan warung penyedia kopi yang tidak hanya sekadar berfungsi sebagai tempat ngopi. Tapi tempat untuk bertemu dan berbagi—apa pun dan siapa pun. Jadi, wahai pemesan teh jumbo dan sejenisnya di warung kopi, jangan gentar ketika di-bully. Kamu tidak salah tempat, selama tidak terus-terusan dan ngutang.