Seberapa banyak sih yang kenal sama Kawasaki Bajaj Pulsar 200NS? Saya yakin nggak banyak. Bahkan saat gosok nomor rangka di Samsat, petugas kepolisian saja sampai heran. “Motor opo iki kok gede banget koyo kebo?” kata petugas itu.
Kini motor dari brand India tersebut sudah sangat jarang lalu lalang di jalanan Indonesia. Makanya wajar kalau tidak banyak yang tahu-menahu soal motor satu ini. Tapi, kalau simpangan di jalan atau ketemu langsung kayak petugas Samsat tadi, pasti langsung kesengsem meminangnya dari pandangan pertama.
Bagaimana tidak? Harga bekasnya saja sekarang anjlok di angka delapan jutaan. Harga segitu udah bawa pulang motor bermesin 200cc yang desain head-nya mirip dengan KTM Duke 200, ditambah rangka perimeter yang bikin handling motor begitu stabil. Belum lagi fitur unik lain seperti knalpot ndelik di bawah mesin alias underbelly, tombol saklar yang dilengkapi LED sehingga ikon-ikon tombol macam klakson bisa nyala sehingga mudah dilihat pas malam hari. Sisanya ya body si motor yang besar dan tajam, jelas jadi daya tarik tersendiri dibanding motor naked buatan Jepun. Itu semua cerita baiknya, cerita buruknya baru kita mulai.
Terhitung sebagai motor lawas karena brojol dari pabrik sekitar 2014 silam, pada akhirnya saya harus merasakan kekurangan Bajaj Pulsar 200NS ini. Cerita berawal saat saya tinggalkan motor ini di kampung buat urus kaleng (ganti plat nomor, red). Berhubung merantau, saya percayakan motor ke keluarga di kampung dengan harapan setiap hari tetap dipanasi.
Tiga bulan berlalu, saya-pun pulang kampung untuk membawa kembali si kebo (julukan motor saya) kerja melibas jalanan ibu kota. Itu ekspektasinya, realitasnya justru berbeda. Hati yang awalnya bahagia karena bisa temu kangen sama motor kesayangan mendadak kacau bak kesamber gledek setelah tau motornya nggak bisa nyala selama dua minggu sebelum saya datang.
“Waduh, akine mesti ngedrop,” gumam saya dalam hati. Dan benar saja, aki keringnya ngedrop di angka 10 volt sehingga sulit di-starter. Tanpa pikir panjang, saya pinjam motor tetangga buat cari tukang servis aki. Pukul sebelas malam saya beranikan diri wara-wiri bermodal google maps cari tukang charge aki. Saking paniknya karena besok harus balik ke Jakarta membuat saya lupa kalau tukang aki bisa di-BO exclude alias dipanggil ke rumah.
“Ah yowes kadung, gas ae,” pikir saya. Sesampainya di lokasi, tukang aki-pun menyarankan “Mas, mending ganti aja soalnya ini sudah ngedrop parah, kalau di cas nggak ngefek, apalagi Bajaj ini akinya motor Ninja,”.
“Ninja gundulmu, wong motorku motor ora payu malah disebut Ninja. Akine doang se-tipe,” sahut saya dalam hati. Belum lagi strategi dagang macam itu justru mendorong untuk tidak buru-buru beli aki baru. Pulanglah dengan aki habis di-charge dengan harapan mesin bisa menyala. Sat-set-sat-set aki dipasang dan ternyata tetap zonk, mesin ogah nyala. Terpaksalah saya menempuh 30 menit perjalanan lagi ke tempat yang sama untuk beli aki baru, lagi-lagi kelupaan kalau tukang akinya bisa dipanggil ke rumah.
Aki baru seharga setengah juta sudah ditangan, meski ongkos balik mulai mepet yang mana cuma bawa sejuta lima ratus ribu doang. Tapi demi si Bajaj bisa nyala, ya nggak apa-apalah, pikir saya praktis kala itu. Sesampainya di rumah, bongkar pasang bagian aki kembali digeluti dan lagi-lagi mesin ogah nyala. “Fiks, busi melempem,” atas dasar itulah yang mendorong saya untuk segera tidur sebelum keesokan harinya beneran dorong motor berbobot hampir 150 kg.
Ayam berkokok, tanda perjuangan nuntun dimulai. Untuk lelaki ceking berbobot 70 kg tentu rada ngos-ngosan ketika disuruh dorong Bajaj Pulsar 200NS, belum lagi penolakan dari sejumlah bengkel bikin nyeri hati. Memang, tidak semua bengkel menyanggupi service motor keluaran Bajaj karena spare part-nya yang cukup langka.
Memang ada substitusi dari merk motor lain, tapi risikonya besar, apalagi mau dipakai perjalanan jarak jauh. Skip dulu.
Total hampir sepuluh bengkel kulalui hingga pada akhirnya ada satu bengkel yang menyanggupi. “Mas, mas, untung nggak sewu kutho tak liwati,” candaku ke mekanik bengkel untuk melepas lelah setelah nuntun sana sini. Setelah pengecekan ternyata benar, ketiga businya mesti diganti karena memang sudah melempem alias lama nggak dipanasi sehingga endapan oli bikin becek kepala busi
Mekanik-pun terheran, “Mesin satu silinder kok tiga busi yo, Mas?” Memang, Kawasaki Bajaj Pulsar 200NS ini dari sononya didesain unik dengan tiga busi yakni satu di tengah dan dua di kanan kiri. Tujuannya memang untuk menyempurnakan pembakaran antara putaran bawah ke atas sehingga power maksimal, tapi tetap irit bensin ala injeksi, mengingat motor ini masih karburator. Tapi mau ngaku-ngaku irit seperti apa pun, si kebo sekali isi bensin bisa lima puluh ribu untuk jarak tempuh sekitar 40 kilometer saja. Jadi, irit gundulmu kuwi.
Keheranan mekanik tidak cukup sampai di situ, karena busi tengahnya adalah busi mobil. “Walah pantes mas, kanan kirine pas pakai busi motor standar. Busi tengah malah gawe businya Livina,” ucapnya. Dan busi Livina tersebut yang bikin saya tekor. Bangkek.
Dompet makin menjerit karena saldo tinggal tujuh ratus ribu. Jelas terlalu mepet bin nekat kalau dipaksa buat solo riding ke Jakarta, apalagi motor sebelumnya sudah saya pakai jalan jauh. Maka dari itu saya putuskan untuk membungkus si kebo dan antar pakai kereta kargo.
Sesampainya di stasiun, lagi-lagi motor lawas ini disamakan harga kayak sport fairingnya Mas Boy alias Ninja. Harga paketnya tembus sekitar lima ratus lima puluh ribu. Ya udahlah mau bagaimana lagi, yang penting bisa sampai Jakarta. Itu nasib motornya, sedangkan tuannya terpaksa nge-BM truk sampai Semarang, terus lanjut naik bus malam gara-gara kehabisan amunisi. Tiket kereta saja rata-rata harga dari kampung sekitar dua ratus ribu, bus juga segitu.
Meski merawatnya penuh nestapa, saya akui kalau motor Kawasaki Bajaj Pulsar 200NS jauh lebih bandel dibanding motor saya sebelumnya dari brand Garpu Tala dan lambang Sayap yang sejenis. Sekali puntir gas, bandel kali ini motor.
Terakhir, meski nestapa memiliki si kebo, tapi niat menjualnya masih belum terbesit di benak saya. Mungkin kalau memang mesinnya benar-benar sudah “tidak bisa diselamatkan”, bakal saya kilo-kan saja.
Siapa juga yang mau beli motor pake busi mobil.
Penulis: Denny Chandra Dewangga
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Yamaha Mio: 3 Kebiasaan Buruk Pemilik Matik yang Gampang Kambuh