Katanya, mulai dari anggapan banyak orang sampai dengan data yang dirilis, Indonesia adalah negara dengan literasi yang terbilang rendah. Bagaimana tidak, melansir dari Kompas, penelitian yang dilakukan organisasi pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan PBB (UNESCO) pada 2016 terhadap 61 negara di dunia menunjukkan kebiasaan membaca di Indonesia tergolong sangat rendah. Dari 61 negara, Indonesia ada di peringkat 60.
Yah, mirip-mirip dengan peringkat Indonesia di ranking FIFA terbaru lah, yang kini ada di posisi 160 (seperti dilansir dari laman resmi FIFA).
Pertanyaannya, emangnya kenapa sih kalau budaya literasi atau ketertarikan orang Indonesia dalam hal membaca itu rendah—ada di peringkat 60 dari 61 negara? Kalau sudah nyaman ada di peringkat segitu, masa harus dipaksa naik ke yang lebih tinggi? Ingat—pada dasarnya—sesuatu hal yang dipaksa itu akan berujung kepada rasa tidak nyaman. Kalau orang Indonesia tidak suka membaca, ya jangan dipaksa, dong. Eh, gimana?
Terus, semisal peringkat literasi Indonesia naik, mau apa? Paling-paling hanya dipamerkan di Twitter, Instagram, dan Facebook lalu menjadi trending dalam beberapa hari. Itu pun jika selalu dibicarakan di media sosial. Kalau tidak? Lagipula, membaca status di banyak platform media sosial itu lebih menarik—dibanding membaca buku. Jadi, buat apa sih harus baca buku agar peringkat literasi Indonesia naik.
Begini, sebagai contoh kecil dan sederhananya, saya pernah melakukan wawancara kerja dengan seorang kandidat yang mengaku gemar membaca. Setelah saya tanya buku bergenre apa saja yang suka dibaca, dia hanya menjawab bukan suka membaca buku, melainkan membaca status di semua platform media sosial. Instastory, Twitter, Facebook, status Whatsapp, yang penting status media sosial, bukan buku.
Menjengkelkan untuk saya yang bekerja di ruang lingkup HRD? Tentu tidak, toh itu kan bagian dari representasi. Terlebih, dia sudah jujur perihal dirinya sendiri. Dilansir dari Kominfo, menurut data dari UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,001%. Artinya, dari 1000 orang Indonesia hanya 1 yang rajin membaca. Karena sudah mengetahui data ini, jadi, untuk apa saya misuh? Kan, memang realitanya demikian. Ini data dari UNESCO, lho, mana mungkin hoax atau salah input.
Mengutip juga dari Edukasi Kompas, dimensi akses menjadi kendala yang harus diatasi karena memiliki persentase yang rendah dibanding faktor lain. Dimensi akses sendiri terdiri dari perpustakaan daerah, perpustakaan umum, perpustakaan komunitas, dan perpustakaan sekolah. Namun, hal tersebut bisa diatasi dengan memanfaatkan teknologi internet dan gawai. Dengan cara download buku digital, misalnya.
Ya minimal membaca tautan berita atau informasi apa pun yang ada di linimasa media sosial dan dirasa bermanfaat, agar wawasan semakin luas. Kemudian yang menjadi masalah adalah para book snob yang terkesan tahu segalanya, apalagi soal isi buku. Belum lagi dengan komentarnya yang template, “makanya baca isi bukunya keseluruhan dulu, baru komen!”.
Memang, apa salahnya sih jika hanya membaca judul tulisannya aja? Apalagi kalau judul sudah menjelaskan semuanya. Lagipula, ayolah, sekarang sudah ada google yang tahu segalanya. Kalau ada kekurangan informasi sedikit, ya tinggal googling aja, lah. Toh, para book snob juga kalau lupa dengan isi ceruta buku, pasti akan googling juga, kan. Eh?
Jadi, untuk apa baca sampai ke isinya—halaman belakang? Capek tauk! Nggak ada waktu juga. Saat sedang di perjalanan pun lebih menyenangkan cek handphone dibanding baca buku. Belum lagi dianggap sok pintar atau kutu buku. Kan, hanya bikin mangkel. Pokoknya, lebih baik baca hanya dari judulnya saja, lah. Kalau memang informasinya kurang, daripada membaca, kan masih bisa minta diceritakan teman yang memang sudah membaca suatu tulisan sampai selesai.
Bagi para book snob atau orang yang merasa lebih pintar, baiknya jika memang ada seseorang yang belum minat membaca atau minat bacanya tidak sepertimu, baiknya dirangkul. Bukan malah dicela di ruang umum termasuk media sosial. Siapa yang tahu nantinya orang tersebut malah menjadi gemar membaca dan membantu Indonesia dalam meningkatkan literasinya.
Begini, mau jadi book snob atau social justice warrior boleh saja, asal jangan sampai seperti yang pernah dikatakan oleh orang bijak, “saat ini, banyak orang yang merasa pandai, tapi tidak pandai merasa”. Niat mau membantu orang lain dari keterpurukan, eh malah memancing permusuhan. (*)
BACA JUGA Yang Harus Kamu Tahu Tentang Tekanan Udara di Pesawat atau tulisan Seto Wicaksono lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.