Menjadi seorang anak dari orang tua yang terpandang itu bisa dibilang gampang-gampang susah. Soalnya, ada nama orang tua kita yang harus dijaga kehormatannya. Ini bukan perkara mudah. Apalagi hidup di zaman modern kayak sekarang. Kita sebagai anak muda kan juga pengin ya, ngerasain main-main kayak anak-anak muda yang lain. Tapi, apalah daya. Kegiatan menuntut ilmu jadi prioritas paling utama di circle saya.
Saya ingat sekali sewaktu kecil dulu. Ada kebiasaan yang hidup di lingkungan saya. Salah satunya adalah jika ada yang ingin bangun rumah, semua tetangga ikut gotong royong membantunya. Seperti membantu membawakan pasir, bata dan material lainnya. Pokoknya membantu. Namun, itu tidak terjadi pada saya. Saya setiap kali ingin ikut berbaur membantu gotong royong, selalu dilarang oleh pemilik rumah. Alasannya cuma satu, saya anak kiai.
Di kampung saya. Kiai memang menjadi sosok sepuh yang dihormati oleh masyarakat kampung. Kata-kata dan nasihatnya didengar masyarakat layaknya kata-kata presiden yang didengar anak buahnya. Lantaran penghormatan yang dilakukan oleh orang-orang kepada ayah saya, jadinya mereka memperlakukan saya dengan berbeda dibandingkan anak lainnya. Perlakuan khusus yang sebetulnya terasa menyenangkan bagi saya itu sebagai berikut.
#1 Mendapatkan perlakuan spesial
Tentu banyak sekali keuntungan-keuntungan yang bisa saya dapat karena saya anak kiai. Seperti yang sedikit disinggung di atas bahwa saya selalu mendapatkan perlakuan berbeda alias spesial dari masyarakat. Sewaktu saya kecil, hal ini agak nggak menyenangkan karena membatasi kegiatan yang saya mau. Namun, setelah saya remaja, ternyata perlakuan spesial ini terasa enak juga.
#2 Mendapatkan privilese
Setelah saya remaja seperti sekarang, saya perhatikan memang banyak sekali orang-orang yang ingin seperti saya: jadi anak seorang kiai. Pasalnya, privilese yang bisa kita dapet itu banyak sekali. Seperti kesempatan dipercaya sebagai imam Tarawih, padahal saya masih muda. Atau kesempatan untuk menjadi petugas khotbah di hari Idul Fitri. Pokoknya, skill yang kita punya gampang banget di-show up karena kita diberi panggung. Saya rasa, seandainya saya bukan anak kiai, sepintar-pintarnya saya akan sulit juga mendapat panggung untuk unjuk gigi.
#3 Kesempatan menimba ilmu paling banyak
Masa-masa kecil emang enaknya main, ya. Makanya, pada masa itu menimba ilmu rasanya beraaat sekali. Namun, setelah saya remaja, manfaat dari menimba ilmu sedari kecil itu sangat luar biasa. Wawasan saya jadi luas, terutama di bidang agama. Dan itu belum tentu akan saya rasakan kalau seandainya saya bukan anak kiai.
Namun, meski tampak punya banyak privilese, menjadi anak kiai juga ada nggak enaknya. Berikut di antaranya yang selama ini saya rasakan.
#1 Selalu dibedakan
Jadi anak spesial di mata orang itu ada juga nggak enaknya. Saya jadi nggak bebas pengin ngelakuin hal yang bisa dilakuin orang biasa. Seperti, pada saat tetangga saya panen padi, teman-teman saya yang lain boleh bermain lumpur di sawah, sedangkan saya tidak. Pada saat tetangga saya membangun rumah, teman-teman saya boleh ikut membawakan pasir, sedangkan saya tidak. Saya malah diberi pisang goreng dan disuruh duduk melihat yang lain. Ketahuilah, saya sebetulnya bukan ingin membantunya, tapi ingin ikut bermainnya saja.
#2 Harus sempurna
Sebagai manusia biasa pastilah kita tidak luput dari lupa dan salah. Akan tetapi, sebagai seorang anak kiai, pasal itu tidak boleh terjadi. Saya salah melakukan apa, langsung aja bilang, “Katanya anak kiai,” saya lupa sama hal apa, “Katanya anak kiai.”
“Pak, Bu. Meski saya anak kiai, tapi saya juga manusia biasa. Bukan presiden malaikat.” Jadi kesal saya.
#3 Sedikit waktu untuk main
Sebagai anak kiai, ya secara tidak langsung saya dituntut untuk jadi penerus. Meskipun nantinya nggak jadi kiai, ya minimal jadi orang saleh. Seseorang yang taat agama dan tidak terlena oleh dunia ini. Mungkin lebih spesifiknya agar tidak melakukan hal-hal buruk, seperti korupsi dana bantuan sosial dari pemerintah. Ekhem. Makanya, sedari kecil saya sudah dilatih untuk giat belajar. Terutama belajar agama. Oleh karena itu juga, waktu saya jadi banyak tersita dengan belajar agama daripada bermain.
#4 Diminderi teman sebaya
Menghabiskan waktu dengan belajar sudah jadi rutinitas saya sejak kecil. Dengan begini, saya pun dianggap lebih jago pengetahuannya dibanding teman-teman sebaya saya, khususnya di bidang agama, ya. Sedihnya, mereka cenderung jadi menjauhi saya karena ini. Mereka merasa minder kalau dekat dengan saya. Mereka bilang saya terlalu suci untuk berteman dengan mereka. Padahal kan, kesucian orang bukan dilihat dari seberapa banyak pengetahuan ilmu agamanya, ya. Tapi, dilihat dari seberapa banyak pengetahuan yang dipunyainya itu diamalkan.
Sebetulnya, masih banyak kegelisahan saya tentang dukanya jadi anak seorang kiai. Namun, saya rasa beberapa pembahasan tersebut cukup bisa menggambarkan kegelisahan saya saat ini. Begitulah, sesuatu yang tampaknya menyenangkan, terkadang tidak sepenuhnya menyenangkan, kok.