Kartun Barat Itu Bagus, tapi Kalah Kreatif Dibanding Anime

Kartun Barat Itu Bagus, tapi Kalah Kreatif Dibanding Anime terminal mojok.co

Kartun Barat Itu Bagus, tapi Kalah Kreatif Dibanding Anime terminal mojok.co

Seminggu yang lalu, Mas Riyanto mengeluarkan tulisan terkait keberadaan kartun barat yang dianggapnya lebih asyik daripada kartun Jepang atau akrab disebut anime. Setelah menghabiskan dua paragraf untuk menyentil Mas Gusti Aditya biar dibalas tulisannya, kayaknya belum ada yang memberikan sanggahan untuk anime. Sepertinya Mas Adit lagi sibuk fall in love untuk memikirkan dunia perwibuan

Sebagai sesama wibu yang pakai foto karakter Jepang di akun media sosialnya, saya akan menggantikan posisi Mas Adit sebagai perwakilan para wibu. Walaupun saya harus akui, kadar kewibuan saya pasti jauh lebih tinggi. Maklum saya masih jomblo dan belum punya pacar 3D kayak Mas Adit.

Tentunya pertama saya harus menyatakan diri sebagai penonton kartun barat juga. Sejak kecil saya sudah nonton kartun barat seperti Fairly Oddparents. Sedangkan salah satu kartun favorit saya sepanjang masa adalah Danny Phantom dan Avatar: Last Airbender. Cuman masalah jadi muncul saat saya beranjak dewasa dan mulai mencari tontonan animasi yang lebih rumit dan out of the box. Sekeren-kerenya kartun barat untuk penonton anak-anak dan remaja, bisa dibilang pilihan kartun untuk orang dewasa dari industri animasi barat kurang variatif.

Mayoritas kartun barat yang dikategorikan untuk penonton dewasa, masuk genre komedi seperti Family Guy, American Dad, atau South Park. Walaupun saya ngefans dengan Brian, sang anjing liberal ciptaan Seth MacFarlane, hal ini cukup menahan laju kreativitas medium animasi. Sepertinya produser di Amerika Serikat sana, menganggap animasi untuk orang dewasa itu cuma bisa terkungkung dalam kategori satire politik atau komedi gelap.

Beberapa kartun barat bahkan lebih berlebihan dalam memasukkan konten seksual ke dalam leluconnya sebagai upaya menunjukkan “ini tontonan orang dewasa” daripada kebanyakan anime dewasa. Silahkan coba nonton adegan dari kartun viral Big Mouth lewat YouTube. Saya gak tanggung jawab kalau kalian malah jadi mual-mual habis nonton.

Menurut saya, ini terjadi karena ada anggapan di masyarakat Barat bahwa medium animasi atau kartun itu cuma untuk penonton anak-anak. Jadi kalau nggak ditujukan untuk anak-anak, pasti harus masuk genre komedi dewasa saja. Haram hukumnya animasi barat digunakan untuk menceritakan narasi serius dan rumit.

Kita lihat saja dengan bagaimana cara Hollywood mengadaptasi komik seperti Watchmen, V for Vendetta, atau Sin City. Walaupun mereka termasuk komik untuk pembaca dewasa, saat diadaptasi ke layar kaca, produser film tersebut lebih condong memilih medium live action daripada animasi. Hal sama terjadi pada komik pada tahun 80-an, saat penerbit membuat istilah baru yaitu “novel grafis” untuk cerita dewasa dalam medium komik biar pembaca dewasa tertarik.

Berbanding terbalik dengan di Jepang yang mayoritas komik remaja atau dewasa, pasti diadaptasi ke layar kaca dalam bentuk animasi. Komik seperti Monster karya Naoki Urasawa atau Showa Genroku Rakugo Shinju karya Haruko Kumota kalau diterbitkan di Barat, malah kemungkinan bakal diadaptasi ke live action. Tentunya karena dianggap penonton dewasa di Amerika Serikat nggak ada yang mau nonton kartun tema thriller pembunuhan atau drama historis.

Padahal animasi di Jepang mengandalkan adaptasi komik atau novel untuk menyajikan cerita buat penonton dewasa. Sutradara dan penulis skenario dikasih kebebasan untuk membuat serial animasi dengan jalan cerita original dari genre apa pun. Mulai dari serial laga ala Cowboy Bebop, sains fiksi seperti Psycho Pass, psikologis kaya Death Parade, hingga eksperimental seperti Paranoia Agent. Saya jamin nggak bakal ditemukan perbandingannya dengan kartun barat.

Selain itu yang menurut saya kurang dari banyak kartun barat adalah kurang kreatif dalam membuat world building dan pesan tematik. Mayoritas kartun barat untuk remaja, lebih berfokus ke aspek komedi dan petualangan saja daripada memikirkan lore dari dunia serial tersebut. Padahal ini salah satu kekuatan utama dari anime.

Contohnya Mobile Suit Gundam menyusupkan opini antimiliterisme sutradaranya, Yoshiyuki Tomino ke dalam serial untuk remaja laki-laki. Lalu ada Sutradara Ikuhara Kunihiko memasukkan pesan melawan konstruksi gender kaku masyarakat pada anime Revolutionary Girl Utena yang dipasarkan untuk remaja perempuan. Tentunya tidak lupa pula anime fenomenal Evangelion yang terinspirasi dari periode depresi sutradaranya, Hideaki Anno.

Malahan kartun barat paling banyak dipuji kayak franchise Avatar, terinspirasi dari gaya penceritaan anime yang bisa memasukkan pesan tematik dan punya world building kuat. Sutradara Michael DiMartino & Bryan Konietzko, bahkan awalnya merencanakan studio Jepang yang menganimasikan serial Avatar: Last Airbender karena mereka berdua juga wibu.

Sebab tidak mendapat respons, akhirnya mereka memilih studio JM Animation dari Korea Selatan. Tentunya mayoritas studio di Korea Selatan juga bekerja dalam produksi anime Jepang lewat sistem outsourcing. Jadi jangan salah kaprah kalau Avatar selalu dibilang lebih mirip anime daripada kartun barat lainnya.

Kalau alasannya anime kurang bagus dibanding kartun barat karena nggak ada karakter perempuan yang dibuat lebay untuk bikin nafsu, ya menurut saya itu cuma karena beda persepsi budaya aja. Di Jepang, karakter model fanservice kaya begitu mayoritas ditemukan di serial buat remaja dan jarang pada anime untuk orang dewasa. Di Barat malah kebalikannya, kartun buat orang dewasa harus dijejali sebanyak mungkin sama lelucon cabul dan adegan seksual atas nama komedi gelap.

Hanya saja kalau perbandingannya pakai hentai sebagai bukti anime lebih cabul daripada kartun barat, itu baru salah. Mayoritas hentai itu parodi dari serial anime terkenal oleh seniman amatir yang nggak ada sangkut pautnya sama tim produksi animasinya. Mau itu kartun barat atau Jepang, buat orang dewasa atau anak-anak, karakternya bikin nafsu buat mas Riyanto atau tidak, soal versi porno dari konten pop culture pasti selalu ada di internet.

Namanya aturan 34, “Kalau itu nyata, berarti ada versi pornonya”. Jadi kalau mas nannya apakah ada orang yang nafsu sama Princess Bubblegum, jawabannya tinggal ketik “Princess Bubblegum Porn” pakai DuckDuckGo. Namun, saya nggak tanggung jawab kalau Mas Riyanto malah jadi mual-mual habis liat itu.

BACA JUGA Dibanding Kartun Jepang, Kartun Barat Jauh Lebih Mengasyikkan! dan tulisan Raynal Arrung Bua lainnya.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.
Exit mobile version