Kartu Nama: Apakah Simbol Bangsawan Ini Masih Berguna?

Kartu Nama Apakah Simbol Bangsawan Ini Masih Berguna Terminal Mojok

Kartu Nama Apakah Simbol Bangsawan Ini Masih Berguna (Unsplash.com)

Jika Anda pernah bertukar kartu nama, kemungkinan ada dua: Anda seorang eksekutif dari perusahaan legendaris atau Anda sudah tua. Pada masanya, kartu nama tidak hanya mempermudah komunikasi, tapi juga jadi simbol prestise seseorang. Namun kini, ia tak lebih dari sekadar cerita dan sampah kertas. Maka tak ada salahnya jika kita bertanya, apakah kartu ini masih berguna?

Mari sedikit berkenalan dengan benda satu ini. Pertama kali muncul pada abad ke-17, kartu ini adalah simbol aristrokat. Ia digunakan sebagai tanda seorang bangsawan pernah datang ke sebuah kota atau rumah. Maklum, dulu belum ada percetakan yang murah, sedangkan seni tulis kaligrafi juga mahal. Makanya sebuah kartu nama menjadi sangat berharga.

Kartu satu ini bahkan pernah jadi simbol etika bertamu. Setelah bisa diakses kelas menengah, para perempuan biasa meninggalkan kartu nama di rak khusus sebuah rumah. Tujuannya sebagai alat perkenalan yang sopan, serta untuk menilai pribadi si tamu tadi. Biasanya kartu ini dibuat manual dengan seni kaligrafi.

Ketika mesin cetak lebih murah dan produktif, kartu nama makin luas dikenal. Selembar kertas yang biasanya cukup tebal ini menjadi alat promosi. Biasanya pedagang, terutama pedagang hal ndakik-ndakik seperti obat ajaib, akan memberikan kartu namanya. Dengan hadirnya telepon, kartu ini ikut berevolusi menjadi apa yang kita kenal.

Sekarang kita kembali ke pertanyaan awal: apakah kartu nama masih berguna? Maka kita perlu melihatnya dari dua sisi. Dari fungsi praktis dan simbolis. Karena kartu satu ini, seperti banyak hal lain, punya fungsi di luar pemakaian.

Kalau bicara fungsi praktis, saya yakin Anda sepakat jika ia sudah tidak berguna. Semenjak alat komunikasi menjadi benda murah, kartu ini kehilangan perannya. Dengan hadirnya gawai seperti smartphone, untuk apa masih memakai kartu nama?

Fungsi praktis kartu satu ini adalah mempermudah berbagi informasi, mulai dari nama, gelar, alamat, sampai nomor telepon. Apalagi jika urusannya bisnis, Anda bisa menyimpan kartu nama seseorang dan menghubunginya lain waktu tanpa takut lupa. Maka kartu ini tidak hanya jadi alat berbagi, tapi penyimpanan informasi.

Tapi, bagaimana dengan kondisi sekarang? Butuh menyimpan nomor telepon dan alamat? Tinggal pakai gawai. Bahkan tanpa harus mencatat karena Anda bisa berbagi data digital. Bahkan gawai tidak hanya menyimpan alamat, tapi juga sampai petunjuk arah. Kartu nama jelas tidak berguna melawan kemajuan teknologi yang sekarang lumrah ini.

Meski begitu ia masih dipakai beberapa bisnis seperti toko. Biasanya ia akan dipajang di etalase, sehingga konsumen bisa menghubungi mereka di lain waktu. Tapi sekali lagi, fungsi ini tidak benar-benar diperhitungkan, kecuali Anda sedang sial ketika gawai Anda ketinggalan atau mati.

Sekarang bicara fungsi kedua, sebagai simbol. Kartu nama menjadi simbol profesional dan prestise. Berbagi ia dianggap lebih elegan daripada bertanya, “Pak, nomor hp njenengan berapa?” Bukankah lebih berkelas jika Anda menerima kartu nama seseorang? Terutama bagi eksekutif gaek yang—maaf—gagap teknologi. Kartu satu ini masih jadi alat berbagi informasi, sekaligus menunjukkan kelas sosial.

Bahkan ia beradaptasi dengan teknologi. Seringkali kartu satu ini mencantumkan QR code yang menyimpan nomor atau informasi lain. Jadi, meskipun terkesan jadul, kartu ini (berusaha) tetap relevan di masa kini.

Tapi namanya perkembangan teknologi, kartu nama konvensional ikut dilibas. Kini orang bisa saja berbagi kartu nama digital yang fungsinya tidak lebih dari keren-kerenan. Lha wong disimpan di gawai juga, ngapain harus berupa gambar digital? Lebih ringkas berbagi informasi langsung yang bisa langsung diakses seperti ID atau nomor telepon.

Kini tergantung Anda bagaimana memandang kartu nama. Jika Anda melihat dari fungsinya, jelas sudah tidak berguna. Kalau dilihat dari fungsi simbolis, ya agak kurang berfungsi juga. Ia menjadi berharga ketika orang yang berbagi sama-sama memandang penting benda itu.

Yah, kartu nama kini lebih mirip karya seni daripada alat berbagi. Menyimpan kartu ini hampir mirip kolektor prangko dan kartu pos. Sudah tidak relevan, tapi masih dipelihara sekelompok orang.

Tapi kalau melihat realita, masih banyak jasa cetak kartu nama. Kalau Anda tanya pegawai percetakan, masih saja ada yang mencetaknya. Jadi boleh dibilang kartu ini tidak kehilangan perannya dalam hidup manusia, kan?

Penulis: Prabu Yudianto
Editor: Intan Ekapratiwi

BACA JUGA Punya Nama Lengkap Hanya Satu Kata Ternyata Merepotkan.

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Anda penulis Terminal Mojok? Silakan bergabung dengan Forum Mojok di sini.
Exit mobile version