Kapolda DIY tidak salah, Fight Club YK tidak akan menyelesaikan masalah klitih di Jogja, sebab memang bukan begitu cara mereka bekerja
Fenomena klitih merupakan permasalahan klasik yang masih menjadi momok menakutkan bagi warga Jogja. Seperti yang kita ketahui, bertahun-tahun masalah ini tak pernah selesai. Mulai dari leletnya penanganan, hingga tidak ada upaya serius untuk memberantas pelaku klitih dengan tegas.
Saking geramnya masyarakat dengan kasus klitih ini, mereka berinisiatif membentuk sebuah komunitas bernama Fight Club YK yang mewadahi kaum-kaum yang ingin menyalurkan keinginan bertarungnya. Harapannya, kegiatan ini dapat mengurangi tingkat kejahatan jalanan klitih di Jogja. Dampak positif lainnya juga, komunitas Fight Club Jogja dapat menghasilkan bibit atlet yang potensial untuk dapat berpartisipasi di kejuaraan-kejuaraan bergengsi yang akan datang.
Saya sebenarnya sangat antusias dengan dibentuknya komunitas-komunitas semacam ini. Seperti masyarakat Jogja lainnya, saya sudah muak dengan klitih klitih yang menyebalkan itu. Ketimbang membuat onar di jalan, lebih baik duel 1-on-1 di ring secara sportif untuk membuktikan nyali.
Akan tetapi, Kapolda DIY, Irjen Pol Suwondo Nainggolan baru-baru ini mengatakan, bahwa kegiatan yang dilakukan penyelenggara Fight Club YK sebagai wadah berekspresi bagi para pelaku klitih adalah keliru. Pernyataan tersebut membuat saya termenung sejenak. Mungkin akan ada sebagian orang yang marah dengan pernyataan tersebut. Namun, jika dipikir dan dikaji ulang, pernyataan Kapolda DIY tersebut ada benarnya juga.
Daftar Isi
Belum tentu punya bakat bertarung
Faktanya, pelaku klitih itu belum tentu orang-orang yang ahli dalam pertarungan, bahkan bisa dibilang cuma bocah ingusan. Lihat saja, dari sekian banyak pelaku yang beraksi di jalanan, apa ada dari mereka yang punya proporsi badan yang ideal, atau minimal otot yang besar? Pasti tidak ada, wong kebanyakan badannya aja cungkring seperti orang kekurangan gizi. Arena seperti ring bukanlah arena pelaku klitih, arena mereka adalah jalanan.
Kalau pelaku klitih ikut event Fight Club ini, saya bisa jamin dalam 1 ronde saja mereka langsung K.O, atau bahkan dalam hitungan detik saja mereka sudah memilih untuk menyerah. Hal lain yang perlu disorot adalah pelaku klitih selalu menggunakan sajam sebagai senjata perangnya, sementara jika open fight, senjata andalan tentu hanyalah tangan dan anggota tubuh yang dimiliki. Wajar jika fight club ini bukanlah arena para pelaku klitih, karena selera mereka adalah jalanan dan sajam.
1-on-1 fight bukan mental pelaku klitih, mental mereka keroyokan
Nah, ini bisa jadi alasan kuat kenapa pembentukan Fight Club ini tidak menyelesaikan kasus klitih di Jogja, ya karena mental mereka itu adalah mental keroyokan. Belum lagi ada banyak penonton yang menyaksikan jika bertarung di Fight Club. Kalo begitu malah membuat mental si pelaku jadi menciut. Ketimbang bertarung secara adil satu lawan satu, mereka lebih suka main keroyokan bersama gengnya.
Lagipula, jika kita melihat berbagai kasus tentang pelaku klitih yang tertangkap, kebanyakan yang terjadi adalah mereka seakan diam ketakutan, tak jarang juga ada yang menangis mengharapkan pengampunan warga. Kalau begini kan semakin memperkuat alasan kenapa mental mereka itu tidak cocok untuk bertanding di arena resmi.
Berbahaya bagi keselamatan mereka
Mengikuti pertarungan yang ditonton dan disaksikan banyak orang dengan identitas yang tertera jelas bisa membuat para pelaku klitih ini makin berada dalam situasi bahaya. Coba bayangkan, ketika mereka sedang seriusnya bertarung, tiba-tiba ditangkap langsung di tempat oleh polisi ataupun warga, seolah masuk ke dalam perangkap tikus. Saya yakin pasti mereka sudah sangat waspada dengan hal seperti ini.
Itulah alasan kenapa sebenarnya Fight Club YK ini tidak menyelesaikan kasus klitih di Jogja. Tapi, bukan berarti saya menolak adanya acara seperti ini. Justru ini adalah kritik bagus bagi pihak keamanan yang harusnya punya kuasa lebih untuk memberantas klitih di Jogja. Saya juga sudah capek mendapat bully-an dari rekan luar kota yang selalu menyebut Jogja sebagai “Kota Klitih”.
Penulis: Georgius Cokky Galang Sarendra
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Menelusuri Akar Klitih di Jogja: Kejahatan Jalanan Berdarah Tak Berkesudahan
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.