Kampus Bukan Tempat untuk Main Tentara-tentaraan

Kampus Bukan Tempat untuk Main Tentara-tentaraan

Kampus Bukan Tempat untuk Main Tentara-tentaraan (Pixabay.com)

Lagi dan lagi, kabar tidak mengenakan datang dari dunia kampus. Seorang mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ) dikabarkan meninggal dunia saat mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh salah satu Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM)—tanpa menyebutkan nama UKM-nya, kita semua mungkin tahu. 

Ketika malam hari, saat saya sedang asyik rebahan sambil berselancar di Instagram, dan menemukan kabar buruk ini. Tanpa berpikir panjang, postingan tersebut langsung saya bagikan cerita Instagram dengan melontarkan kalimat penuh keresahan. Saya sih tidak mau suuzan atau berburuk sangka, tetapi kejadian serupa bukan kali pertama—sudah banyak terjadi.

Relevansi kegiatan tentara-tentaraan di kampus

Saya lagi iseng mencari tahu mengenai kegiatan tentara-tentaraan di kampus, kemudian saya menemukan artikel yang dimuat oleh Tempo dengan judul ‘Tentara Kampus’ Sampai di Sini Saja pada hari Minggu, 28 Mei 2000. Betapa herannya saya—mungkin kamu juga—ternyata sudah sejak dulu kegiatan tentara-tentaraan ini ada, dan meresahkan banyak pihak. 

Pada zaman sekarang, mendidik dengan pendekatan militeristik serta tindakan kekerasan fisik sudah tidak layak dan tidak relevan. Berbeda halnya apabila di kampus Akademi Militer (Akmil), Akademi Kepolisian (Akpol), dan pendidikan sejenis yang memang menitikberatkan pada fisik—diterapkan untuk mahasiswa. 

Orang-orang di luar sana pada sibuk mengembangkan teknologi Artificial Intelligence (AI) alias kecerdasan buatan, hingga muncul ChatGPT dan sebagainya. Tapi, kita masih sibuk gagah-gagahan, tradisi yang sudah usang, sebetulnya sudah tidak perlu menggunakan pendekatan militeristik di ranah sipil. Walaupun dengan dalih fafifu wasweswos untuk melatih mental dan sebagainya.

Meneropong dari sejarahnya

Secara historis, adanya UKM semimiliter ini dibentuk untuk merebut Irian Barat dari tangan penjajah pada saat Operasi Trikora (Tiga Komando Rakyat) pada akhir tahun 1961-Agustus 1962. Sebelumnya, juga ditugaskan untuk menumpas gerakan DI/TII di Jawa Barat. 

Pada era rezim Orde Baru, ada kebijakan depolitisasi massa yang bernama Sistem Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK) dan Badan Koordinasi Keorganisasian (BKK). Nah, pemerintah juga menggunakan UKM semimiliter ini sebagai alat untuk mengawasi para aktivis mahasiswa yang kritis di kampus.

Kemudian, pada 1994, mahasiswa dari pelbagai perguruan tinggi di Semarang mengecam tindakan kekerasan yang dilakukan oleh UKM semimiliter ini. Bahkan, sejumlah organisasi mahasiswa menuntut untuk membubarkannya dari lingkungan kampus.

Kita tarik pada era sekarang, sudah beberapa kali beredar berita mengenai meninggalnya mahasiswa pada saat mengikuti kegiatan yang diselenggarakan oleh UKM semimiliter ini. Pada awal dibentuknya memang sangat berjasa untuk republik ini. Tetapi kemudian, pada era Orde Baru dijadikan alat untuk membungkam aktivis mahasiswa yang kritis. Saat ini tercatat sudah banyak mahasiswa yang meninggal dunia saat mengikuti kegiatannya.

Evaluasi total atau kalau perlu bubarkan 

Melihat perkembangan zaman, pendekatan dengan corak militeristik kepada mahasiswa tampaknya sudah usang alias tidak relevan lagi. Maka, perlu dilakukan evaluasi total atau kalau perlu dibubarkan saja. Sudah banyak nyawa manusia-manusia tidak berdosa yang terenggut sia-sia karena ulah segelintir makhluk sok jagoan.

Bagi mahasiswa yang gemar dan ingin berlatih pendekatan militer bisa masuk ke Akmil, Akpol, dan sejenisnya, yang memang dilakukan pelatihan secara militer. Namun, apabila kegiatan ala militer—ditambah dengan kekerasan—diterapkan di ranah sipil. Mau berapa nyawa lagi yang harus terambil dengan sia-sia?

Lagi pula, apa faedahnya menerapkan pendekatan semimiliter kepada mahasiswa (?) saat negara kita saat ini sedang tidak dalam keadaan genting untuk perang melawan negara lain. Kalaupun ingin mempersiapkan warga sipil untuk perang dan membela negara, bisa dilakukan melalui mekanisme Komponen Cadangan (Komcad) oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).

Jadi, sebaiknya kita pupuk rasa nasionalisme melalui cara lain. Misalnya dengan giat literasi dan mengimplementasikan setiap materi pembelajaran dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, bisa menerapkan peran-peran mahasiswa: agent of change, social control, moral force, iron stock, dan guardian of value. Kemudian bisa juga mengimplementasikan tridharma perguruan tinggi: pendidikan dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, serta pengabdian kepada masyarakat dengan baik.

Lagian, main tentara-tentaraan kok di kampus. Main COD apa PUBG nggenah faedah.

Penulis: Raihan Muhammad
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Apakah Menwa Adalah Organisasi yang Masih Relevan?

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version