Teman-teman saya di tempat kerja banyak yang jualan. Macam-macam jenisnya. Ada yang jualan jamu, kerudung, baju muslim sampai obat-obatan herbal. Terbaru, yang ada jualan telur puyuh pindang. Gila ini, sih. Bisa kepikiran buat jualan telor puyuh gitu, loh! Anti mainstream sekali kalau menurut saya.
Telur puyuhnya juga dia buat sendiri. Eh, salah. Maksudnya bukan dia buat telor puyuh atau dia bertelor, tidak. Telur puyuhnya tetap dia beli di pasar tapi kemudian di rumah dia olah jadi telur puyuh pindang. Niat banget. Saya yang dari dulu ingin jualan sampai sekarang entah apa kabar. Mungkin karena angan-angan saya terlalu ribet, dari nasi kebuli sampai suvenir pernikahan, akhirnya malah kalah start sama yang simple: telur puyuh pindang. Hahaha.
Saya yakin fenomena berdagang sebagai sampingan ini tidak hanya terjadi di tempat saya bekerja. Tempat Anda pun mungkin demikian. Atau justru Anda termasuk yang penjual? Jualan apa? Jujur, saya senang kalau ada teman saya yang mencoba peruntungan dalam menjual sesuatu. Tidak ada yang melarang, bukan? Malah bagus karena mereka bisa menambah penghasilan. Bisa jadi motivasi juga untuk yang lain. Pertanyaan adalah, kalau teman kita jual sesuatu kita wajib beli nggak, sih?
Suatu ketika ada teman saya yang jualan kerudung. Harganya seratus ribuan. Termasuk mahal bagi saya yang biasa pakai kerudung harga tiga puluh ribuan. Murah, ya? Jangan salah, tiga puluh ribu di tempat saya sudah bisa dapat kerudung yang bagus. Kenapa? Mau titip? Hahaha… Begitulah nikmatnya tinggal di kota kecil macam Tegal ini. Serba terjangkau. Kerudung saya yang paling mahal harganya 60 ribu. Itu pun saya pakai sesekali di saat tertentu saja.
Jadi, ketika ditawari kerudung harga seratus ribuan, otomatis saya menolak dengan halus. Tapi tidak langsung menolak begitu saja. Takutnya dia sakit hati, bisa bubar pertemanan. Saya ikut melihat-lihat kerudung dagangan dia. Memuji betapa bagusnya kerudung yang dia bawa tapi berhubung harganya yang mahal saya tidak jadi beli. Marahkah teman saya? Sepertinya tidak. Buktinya sampai sekarang kami masih haha hihi bersama.
Hari berikutnya, ada dua teman saya yang lain yang ternyata membeli kerudung tersebut. Mereka bilang terpaksa beli karena merasa tidak enak. Nah, loh. Kembali ke pertanyaan awal, deh! Sebenarnya wajib beli nggak, sih? Adalah wajar kita punya rasa tidak enak. Bagus juga kalau kita mau berbaik hati menolong membeli barang dagangan teman kita. Hari ini kita membeli barang dagangan teman, siapa tahu lain waktu kita yang jualan dan teman kita yang beli. Eh, kalau seperti itu kok kesannya nggak ikhlas, ya? Mengharap balasan, begitu? Hahaha.
Ketika kita memutuskan untuk menjadi pedagang—meski hanya sambilan, terpenting, mental harus disiapkan. Siap untuk apa? Siap untuk ditolak. Jangan sampai berpikir barang kita akan laku karena kita menjualnya ke lingkungan terdekat kita: keluarga, saudara atau teman. Kalau sudah punya pikiran seperti ini, berat. Ada teman yang tidak mau beli, baper. Mendadak nggak mau ngajak ngobrol atau ngopi bareng lagi. Pertemanan jadi kendor gara-gara rupiah. Jangan. Cukup kolor celana dalam saja yang kendor, pertemanan jangan.
Bukan hanya dari segi penjual saja. Pembeli pun sama. Jangan mentang-mentang penjualnya teman sediri, nawar harga sampai Afgan. Eh, kok Afgan? Sadis, maksudnya. Kan ‘Sadis’ itu singlenya Afgan. Harga ditawar nggak tanggung-tanggung. Sudah ditawar, minta bonusan, bayarnya nanti nunggu dapat arisan, lagi! Hiyaaaa…siapa nih yang kelakuannya seperti ini?
Meskipun kadang hanya bermaksud untuk guyonan, tapi menawar dengan harga yang tidak masuk akal lebih baik tidak dilakukan.
Saya jadi ingat perkataan Pak Rudi. Dia teman kerja saya dulu. Kenapa dulu? Karena sekarang dia sudah berhenti dan memutuskan untuk lebih fokus berjualan saja. Pak Rudi pernah bilang, dia lebih suka menjual barang dagangannya kepada orang lain daripada ke teman atau saudara sendiri. Alasanya, menjual barang ke teman atau saudara sendiri itu serba salah. Sudah dijual dengan harga di bawah pasaran—dengan pertimbangan pembeli adalah teman sendiri, ehh, masih saja ditawar. Sadis lagi. Dengan alasan harga teman, harga saudara. Wah.
Jadi, haruskah kita membeli jika teman kita jualan sesuatu? Kalau memang ada rejeki dan butuh, beli lah. Jangan ditawar sadis. Hitung-hitung bantu teman. Tapi, kalaupun terpaksa tidak membeli, sampaikan dengan baik tanpa menyakiti apalagi menjelekkan barang dagangannya. Setuju?
BACA JUGA Tuntutan “Harga Teman” yang Menyebalkan Dari Orang Sekitar Saat Berjualan dan tulisan Dyan Arfiana Ayu Puspita lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.