Belakangan ini, Didi Kempot memang seakan menjadi fenomena. Penyanyi campursari asal Jawa Tengah ini seakan terlahir kembali ke permukaan. Penggemar militannya yang menamakan diri mereka “sadbois club” menjadi penopang kembali Didi Kempot, selain karyanya yang memang dalam sekali. Julukan “The Godfather of Broken Heart” atau Bapak Patah Hati juga tersemat pada diri Didi Kempot.
Julukan itu memang pantas, mengingat lagu-lagu Didi Kempot banyak yang bercerita tentang patah hati, bikin ambyar lah pokoknya. Bahkan, beberapa waktu lalu ada yang sampai mengadakan semacam “Musyawarah Nasional” untuk penetapan awal “Sad Bois Club” di Solo yang dihadiri juga oleh Didi Kempot. Ya sudah. Mau diapakan lagi kalau “umat loro ati” sudah ketemu dengan “nabi loro ati.” Akhirnya terjadilah sebuah “Munas Loro Ati.”
Kepopuleran Didi Kempot dan lagu-lagunya juga yang membuat beberapa musisi dan seniman campursari atau dangdut tertarik untuk menyanyikan lagunya lagi. Bahasa kerennya meng-cover lagu-lagunya lah. Mulai dari cover asal-asalan, sampai cover yang niat banget dan dimainkan di panggung-panggung.
Sudah menjadi hal yang lumrah di skena musik dangdut dan sejenisnya, musisi seakan bebas membawakan ulang lagu-lagu dari musisi lain. Tak terkecuali Didi Kempot. Lagu-lagu ciptaan beliau menjadi objek empuk bagi musisi atau seniman dangdut lain untuk dibawakan kembali, dicover lah. Entah dengan izin atau ujug-ujug dibawakan gitu aja. Ya sudah hampir pasti dikomersilkan lah, nggak peduli etika, bahkan hak cipta.
Melihat banyaknya kejadian ini, Didi Kempot akhirnya dawuh. Beliau mengatakan bahwa jika ada yang mau meng-cover lagunya, mbok ya sebaiknya minta izin dulu sama pencipta dan penyanyinya.
“Kalau meng-cover lagu-lagu saya, saya bilang alangkah indahnya pakai tata krama atau permisilah. ‘Mas Didi boleh enggak kalau saya bikin ini itu blablalah’,” dawuh beliau.
Didi Kempot juga mengatakan, bahwa banyak musisi yang sudah tidak mengerti bagaimana menghargai karya orang. Dari dulu sampai sekarang, kalau mau menyanyikan lagu orang dan dikomersilkan ya harus minta izin dulu.
“Ya, wajarlah. Dari dulu, kan, kita juga gitu aturan mainnya. Mulai zaman dulu juga gitu. Kalau ada yang mau cover, ya izin dulu” kata beliau.
Beliau juga menambahkan bahwa sebagai pencipta dan penyayi lagu, beliau merasa dirugikan. Karena yang meng-cover bisa dapat untung, sebaliknya yang punya dan yang mencipta lagu nggak dapat apa-apa.
“Karena kan kami sebagai pencipta dan penyanyi lagu yang bekerja. Membuat lagu adalah pekerjaan kami. Bekerja, kan, perlu mendapatkan hasil juga?” kata Didi.
Hayoloooo, diingatkan juga kan akhirnya. Pernyataan seperti ini memang sebuah pernyataan yang asing di skena dangdut. Mengingat bagaimana kultur musik dangdut, terutama pantura, yang berkembang pesat berkat cover-coveran dan vcd bajakan. Pokoknya nggak perlu izin lah. Asal enak, asal goyang. Tapi ya balik lagi, itu bukan budaya yang bagus. Kalau dibiarkan ya bisa miskin musisi-musisi yang punya lagu.
Sekarang, yang punya lagu akhirnya dawuh. Ya mau gimana lagi, kalau kebiasaan nggak minta izin ini dibiarkan, ya kasian yang punya lagu dan penyanyi aslinya. Yang mengcover dapat untung, yang punya lagu malah buntung. Padahal sudah ada undang-undang tentang hak cipta loh, kok ya masih bebal saja. Ya meski undang-undangnya juga amburadul ya.
Balik lagi ke pernyataan Didi Kempot. Urusan cover meng-cover tanpa izin ini memang ribet banget. Apalagi di skena musik dangdut. Beberapa musisinya seakan nggak mau ngerti tentang hak cipta. Jangankan hak cipta, minta izin sama yang menciptakan lagunya aja nggak dilakukan. Buktinya, Didi Kempot sampai ngomong gitu ya berarti nggak ada yang minta izin kan?
Ya kalau nggak dikomersilkan sih bebas aja. Kalau cover untuk nyanyi-nyanyi biasa dan nggak dibayar sih oke oke aja. Tapi kalau dikomersilkan, ditanggap dan dibayar, harusnya kan ada hak-hak yang harus diberikan kepada si pencipta lagunya. Bukan apa-apa, karena sudah banyak musisi-musisi dangdut yang terkenal dan kaya raya karena membawakan lagu orang. Apalagi kalau membawakan lagu-lagu Didi Kempot, ya auto terkenal sudah.
Bayangkan saja jika Didi Kempot dan lagu-lagunya tidak sepopuler itu, bagaimana nasib orkes-orkes dangdut koplo sekarang? Apakah orkes-orkes seperti orkes yang suka “cendol-dawet” itu akan sepopuler sekarang? Mungkin masih popular, tapi nggak sebesar sekarang.
Tapi pertanyaannya lagi, apakah orkes-orkes dangdut yang suka membawakan lagu orang itu setidaknya minta izin sama yang punya lagu? Apakah ada hak yang diberikan ke yang punya lagu? Mereka ditanggap dan dibayar cukup besar lho? Ya kalau nggak bisa kasi hak atau persenannya, ya setidaknya minta izin lah, biar sopan dikit. Kalau asal cover, nggak minta izin, trus dapet duit, kan nggak sopan banget itu namanya.
Kalau Didi Kempot sudah dawuh seperti itu, berarti masalah etika dan hak cipta di negara ini masih amburadul. Ya sebenarnya Didi Kempot juga nggak nuntut banyak, hanya minta izin saja kok. Belum sampai nuntut royalti dan macam-macam loh. Nggak bakal kesana juga. Urusan etika aja masih amburadul, apalagi soal hak cipta. Tambah nggak karuan. Coba aja Mas Anang dulu ketika mengusulkan RUU Permusikan fokusnya di sini, pasti sukses lah.
Kalau dibiarkan, Didi Kempot bisa cidro beneran ini. Kalau masih sayang dan pingin Didi Kempot berkarya lagi, ya manut lah sama dawuh beliau. Apa susahnya sih minta izin? (*)
BACA JUGA Jangan Pergi Ketika Didi Kempot Sudah Nggak Tenar Lagi atau tulisan Iqbal AR lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.