Ada satu kelakar yang berbunyi, “Tuhan memberikanmu tempat tinggal di Sidoarjo, tapi kamu malah ngaku wong Suroboyo” Dan, saya adalah salah satu manusia yang melakukan hal tersebut. Bukan saya gengsi atau krisis identitas, tapi memang ada keruwetan tersendiri yang bikin saya males ngaku sebagai orang Kabupaten Sidoarjo.
Keruwetan yang pasti terjadi adalah harus menjelaskan letak geografis tepat setelah saya menyebutkan daerah tempat tinggal. Selain itu, saya juga malas menghadapi pertanyaan susulan seputar apa yang menarik dari kabupaten ini. Percayalah, saya yang tumbuh besar di sini juga nggak ngerti apa yang menarik.
Selama ini, yang ikonik dari Kabupaten Sidoarjo adalah perempatan Gedangan dan pusat semburan lumpur lapindo. Kan ngenes banget. Saya harus menerima takdir tinggal di kabupaten yang membosankan. Bahkan, saking membosankannya daerah ini, di titik tertentu bikin saya muak. Bayangkan saja ada daerah yang bertahun-tahun kondisinya tetap gitu-gitu aja.
Daftar Isi
Mimpi pembangunan yang langsung sirna
Sebenarnya, dalam beberapa tahun terakhir, saya sempat menaruh harapan besar terhadap kemajuan Sidoarjo. Bukan tanpa alasan, sebab banyak pembangunan infrastruktur yang dirampungkan Pemkab Sidoarjo di bawah kepemimpinan mantan bupati Gus Muhdlor. Mulai dari renovasi alun-alun, pembangunan flyover, dan berbagai fasilitas publik lain.
Pikir saya saat itu, kabupaten ini mulai memasuki masa pencerahan. Saking bangganya saya sampai nulis soal prospek cerahnya masa depan Sidoarjo di Terminal Mojok. Tapi, semua berubah sejak Gus Muhdlor tertangkap karena terlibat kasus korupsi. Harapan saya langsung pupus. Mimpi saya diinjak-injak di depan mata. Brengkes.
Lebih parahnya lagi, kasus ini juga menjadi “prestasi” tambahan bagi Sidoarjo karena punya 3 bupati yang korupsi berturut-turut. Bayangkan, sudah jadi korban PHP, saya juga masih harus menahan malu dari ejekan kawan perkara kasus hattrick tersebut.
Real Madrid threepeat Liga Champions. Sidoarjo threepeat bupati diciduk KPK.
Oh, iya, kalau kalian penasaran mengenai kondisi kabupaten ini sekarang, jawabannya tetap sama. Perempatan Gedangan masih macet, fasilitas publik nggak bertambah, dan daerah ini tetap membosankan.
Kondisi jalan dan PJU mengenaskan, tapi Pemkab Sidoarjo lepas tangan
Asal kalian tahu, banyak titik jalan di Sidoarjo itu kondisinya mengenaskan. Saya menduga, hal ini diakibatkan dari banyaknya truk bermuatan berat yang sering kali lalu-lalang. Maklum, memang daerah ini banyak pabrik. Beberapa jalan rusak yang sering saya lewati adalah Jalan Medaeng, Jalan Waru, dan Jalan Kletek.
Sumpah, ya, saya mau sungkem kalau ada orang yang nggak jengkel ketika melewati tiga jalan tersebut, apalagi Jalan Kletek. Sebab, jalan ini kondisinya rusak parah, saya sering menemui lubang sebesar ban mobil dengan kedalaman yang mengkhawatirkan. Akan lebih bahaya lagi kalau musim hujan dan ada genangan. Bisa selamat dari jalan ini aja udah syukur.
Selain kondisi jalanan yang ekstrem, penerangan jalan umum (PJU) di tiga titik yang saya sebutkan tadi juga nggak kalah remuk. Memang sudah disediakan PJU, tapi entah kenapa lampunya nggak nyala kalau malam. Kan sama aja bohong.
Kondisi ini sebenarnya sudah berlangsung lama. Sependek ingatan saya, sudah lebih dari 1 tahun, tapi masih tetap belum ada perbaikan. Malah kadang warga sekitar yang inisiatif memberi pasir atau tambalan semen di jalan yang berlubang. Bayangkan, kurang berdikari apa coba orang-orang yang tinggal di kabupaten ini?
Baca halaman selanjutnya
Kabupaten yang minim tempat hiburan
Berdasarkan pendapat beberapa kawan saya, Sidoarjo itu nggak menarik karena minim tempat untuk mencari hiburan, seperti kafe, mall, bioskop, dan semacamnya. Jujur saja saya kurang sepakat karena sebenarnya daerah ini punya tempat-tempat kayak gitu. Tapi, ya, cuma ada di pusat kabupaten yang jaraknya jauh pake banget.
Itulah sebabnya hiburan saya kalau lagi di rumah cuma makan Mie Gacoan atau beli Mixue. Lha, gimana, di sekitar rumah saya—Kecamatan Taman—adanya cuma itu. Wkwkwk. Saya juga ogah motoran hampir 1 jam cuma untuk ke pusat, mending langsung ke Surabaya yang jaraknya lebih dekat, cuma 30 menit.
Akhirnya, saya sangat legowo kalau tahu ada orang yang malas diajak main ke Sidoarjo. Wong saya yang warlok aja juga lebih milih main ke Surabaya.
BTW, beberapa minggu terakhir, mulai bertebaran baliho calon bupati. Kalau dilihat dari taglinenya, sih, semuanya hampir mirip. Intinya, janji untuk berpihak pada masyarakat kecil. Sangat klise, tapi saya lagi nggak mau nyinyir. Pokoknya, siapa pun yang terpilih kelak, semoga nggak korupsi dan bisa menjadi “pilot” beneran untuk Kabupaten Sidoarjo.
Penulis: Dito Yudhistira Iksandy
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Sidoarjo dan Surabaya Itu Saudara Kembar, Sama-sama Ruwet, Sama-sama Minim Tempat Wisata