KA Kahuripan. Nama indah. Puitis. Menggoda. Seakan membawa harapan hidup baru, kehidupan yang segar, perjalanan yang penuh makna. Namun, nyatanya, ia adalah anak tiri PT KAI.
Ya, begitu kaki menjejak di dalam gerbong, semua keindahan nama itu rontok. Yang tersisa cuma kursi keras, udara pengap, dan kesabaran penumpang yang terus dipaksa membusuk.
KA Kahuripan adalah anak tiri dalam keluarga besar PT KAI. Ia ada, berfungsi, tapi tak dianggap perlu dirawat lebih layak. PT KAI sibuk memamerkan Argo, Gajayana, Turangga, dan kereta-kereta berkelas yang mengilap dengan interior futuristik. Sementara Kahuripan dibiarkan menunggu cinta. Menunggu modernisasi. Menunggu janji manis yang tak pernah datang.
Wajah muram KA Kahuripan dalam rangkaian usang
Kursi ekonomi KA Kahuripan bukan lagi sekadar “ekonomi”. Dia lebih cocok disebut kursi penyiksaan. Dingin? Jangan harap. Sejuk? Mimpi. Pendingin udara memang ada, tapi tak jarang sekadar formalitas. Bau keringat penumpang jadi parfum alami. Ventilasi seperti paru-paru berdebu.
Rangkaian gerbong? Tua. Kusam. Jauh dari kata segar. Cat luar terkelupas, jendela penuh goresan, toilet yang sering lebih pantas disebut kandang becek. Jika manusia punya dignity, maka penumpang Kahuripan harus rela menanggalkan martabatnya begitu pintu gerbong menutup.
Ironi. Di negeri yang katanya bangga dengan perkeretaapian modern, masih ada gerbong yang bikin perjalanan lebih mirip hukuman ketimbang perjalanan.
Penumpang sebagai tahanan ekonomi
Mari jujur. Penumpang KA Kahuripan mayoritas bukan orang kaya. Mereka buruh. Mahasiswa. Perantau. Orang-orang yang memilih kereta ini bukan karena ingin, tapi karena terpaksa. Harga tiket murah jadi alasan. Tapi murah bukan berarti harus hina. Murah bukan berarti bisa diperlakukan seperti karung beras dalam kontainer.
Kahuripan adalah simbol. Simbol kelas bawah dipaksa menelan sisa, sementara kelas atas dimanjakan dengan segala kemewahan. Jika Argo itu hotel berjalan, maka Kahuripan adalah penjara beroda. Penumpang duduk berdempetan, ruang gerak minim, kenyamanan jadi barang mewah yang tak terjangkau.
PT KAI seakan berpesan: kalau mau murah, ya jangan banyak gaya. Kalau mau nyaman, bayar lebih mahal. Mentalitas kapitalis yang dibungkus manajemen transportasi.
Modernisasi pilih kasih
Jangan bilang PT KAI tidak punya uang. Jangan bilang perusahaan sebesar itu tak mampu memperbarui gerbong Kahuripan. Buktinya, kereta-kereta kelas atas terus dipoles, diganti, diperbarui, bahkan dipromosikan besar-besaran. Lalu kenapa KA Kahuripan dibiarkan seperti kereta hantu yang berjalan demi formalitas?
Ada pilih kasih yang terlalu telanjang untuk disangkal. Kelas atas dapat prioritas, kelas bawah cukup puas dengan serpihan. Inilah wajah nyata pelayanan publik yang seolah-olah inklusif, padahal diskriminatif.
Jika bicara modernisasi perkeretaapian Indonesia, jangan bangga dulu. Karena di balik gemerlap Stasiun Gambir dan interior Argo Parahyangan, ada Kahuripan yang masih hidup di masa lalu.
Perjalanan bersama KA Kahuripan yang terlalu panjang untuk disiksa
Bayangkan. Perjalanan KA Kahuripan bisa belasan jam. Dari Bandung ke Blitar. Dari Blitar ke Bandung. Rute panjang. Waktu lama. Tapi fasilitas? Nol besar. Duduk di kursi keras berjam-jam. Tidur dengan tubuh melintir seperti huruf Z. Kaki pegal, punggung remuk, kepala pusing.
Ini bukan perjalanan. Ini ujian kesabaran. Penumpang seperti dipaksa menandatangani kontrak penderitaan begitu membeli tiket.
Nama “Kahuripan” yang berarti kehidupan malah berubah jadi ironi. Karena sepanjang perjalanan, yang terasa justru penyiksaan.
Toilet sebagai monumen ketidakpedulian
Tidak ada yang lebih dramatis daripada kondisi toilet KA Kahuripan. Bau menyengat, air sering macet, lantai becek, dinding penuh noda misterius. Masuk ke dalamnya, seolah masuk ke ruang pengakuan dosa. Semua penumpang terpaksa mengalahkan rasa jijik demi kebutuhan biologis.
Toilet Kahuripan adalah bukti nyata betapa PT KAI tidak peduli pada standar minimal kemanusiaan. Kalau saja direksi PT KAI mau mencoba perjalanan penuh di Kahuripan, mungkin mereka akan sadar bagaimana rasanya jadi penumpang yang dipaksa bertahan hidup dalam situasi tak manusiawi.
PT KAI dan cinta yang tak pernah turun di peron
Di brosur, PT KAI penuh janji. “Mengutamakan kenyamanan”, “Menghadirkan pelayanan terbaik”, dan “Transportasi berkelas dunia” Kata-kata manis. Tapi untuk KA Kahuripan, itu semua cuma gombal murahan.
Cinta PT KAI tidak pernah turun di peron Kahuripan. Dia sibuk singgah di kereta-kereta mahal. Dia lupa bahwa ada ribuan penumpang kelas bawah yang juga berhak dicintai. Yang juga berhak diperlakukan sebagai manusia.
Penumpang KA Kahuripan seperti pacar lama yang dilupakan. Dulu pernah dianggap penting, kini hanya sekadar ada. Masih dipakai. Masih dimanfaatkan. Tapi tak lagi dicintai.
Gerbong baru KA Kahuripan adalah mimpi yang terlalu mahal
Kapan KA Kahuripan mendapat rangkaian gerbong baru? Pertanyaan itu sudah jadi candaan di kalangan penumpang. Seolah menunggu hujan turun di tengah kemarau panjang. Seolah menunggu mantan yang tak pernah kembali.
Gerbong baru untuk Kahuripan terdengar seperti dongeng. PT KAI mungkin lebih memilih mengumumkan peluncuran kereta mewah baru daripada memperbaiki wajah muram Kahuripan. Padahal, gerbong baru bukan kemewahan. Itu kebutuhan dasar. Itu hak penumpang.
Simbol Ketidakadilan Transportasi
KA Kahuripan bukan sekadar kereta. Ia adalah simbol ketidakadilan. Simbol bagaimana transportasi publik di negeri ini masih berpihak pada kelas tertentu.
Kahuripan adalah luka. Luka yang terus mengingatkan kita bahwa di balik gemerlap pembangunan, masih ada sudut gelap yang sengaja diabaikan.
Menunggu cinta yang entah kapan
Pada akhirnya, Kahuripan tetap melaju. Setiap hari. Mengangkut ribuan penumpang. Dengan gerbong tua, kursi keras, toilet menyedihkan, dan udara yang pengap.
Dan penumpang tetap bertahan. Karena mereka tidak punya pilihan. Tiket murah adalah candu. Karena PT KAI tahu, seburuk apa pun kondisi Kahuripan, kereta itu akan tetap penuh.
KA Kahuripan terus berjalan. Menunggu cinta yang mungkin tak pernah datang. Menunggu PT KAI sadar bahwa murah bukan berarti murahan.
Tapi sampai saat itu tiba, Kahuripan akan tetap jadi kereta ekonomi yang lebih mirip keranda bergerak. Sebuah kereta yang namanya “kehidupan”, tapi isinya cuma siksaan.
Penulis: Marselinus Eligius Kurniawan Dua
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Pengalaman Naik KA Kahuripan: Masih Saja Kecewa, padahal Sudah Pasang Ekspektasi Serendah Mungkin
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.




















