Kapan hari, artikel Kuliah di Jurusan Manajemen 8 Semester, setelah Lulus Baru Sadar kalau Jurusan Ini Nggak Layak Dipilih terbit dan tentu saja, saya baca artikel tersebut. Setelah saya baca, banyak hal yang bikin saya bertanya-tanya. Salah satunya, bagaimana bisa ada orang merasa salah pilihan setelah lulus. Ini nggak pernah terpikir di kepala saya.
Biasanya sih, orang sudah tahu salah pilihan di semester ketiga, keempat, kelima lah. Tapi setelah lulus, how? Tapi ya, manusia beda-beda. Seperti saya yang punya pandangan berbeda dengan penulisnya terkait jurusan manajemen.
Sebenarnya, secara garis besar, apa yang penulisnya bilang itu nggak (pernah) eksklusif terjadi di jurusan manajemen. Itu terjadi juga di jurusan saya lulus, sastra Inggris. Kalau mengacu pada poin yang dikemukakan penulis yaitu pelarian, mencetak generalis, dan semua bisa jadi ahli bahasa Inggris (kalau di tulisan, semua bisa jadi pengusaha), ya sastra Inggris jelas ticking the box.
Ganti sastra Inggris dengan jurusan lain, hasilnya pun kurang lebih sama.
Nah, saya akan bahas tiap poin. Biar penulis nggak merasa sendiri—maksudnya dalam hal salah ambil keputusan, serta menunjukkan masalah dalam dunia pendidikan kita.
Jurusan manajemen pelarian, yang lain pun sama saja
Kalau cuman masalah pelarian, saya rasa mahasiswa jurusan manajemen nggak usah merasa sendiri. Sewaktu saya kuliah, banyak yang bilang bahwa mereka nyesel ambil sastra Inggris dan jadiin ini pelarian. Beberapa dari mereka ended up really good dalam kuliahnya, beberapa malah cabut dan pindah jurusan.
Tapi mari kita bedah, kenapa banyak yang ngerasa salah jurusan atau merasa salah ambil keputusan? Sederhana, karena nggak semua calon mahasiswa dibimbing perkara masa depan.
Coba, saya tanya, kenapa kalian ambil kuliah. Jawaban paling umum, biar gampang dapat kerja. Iya, tapi kerja apa? Apa yang kamu bisa? Apa yang sebenarnya jadi keahlianmu?
Berdasar beberapa drakor yang saya tonton, siswa SMA dipanggil oleh gurunya, lalu mereka diberi arahan. Berdasar catatan rapor, mereka mengarahkan siswanya ke kampus ini. Nah, waktu SMA kalian digituin oleh guru BK dan wali kelas nggak? Nggak? Sama.
Beberapa orang yang saya kenal juga nggak dituntun oleh orang tuanya untuk ngomongin masa depan. Lha kalau nggak dituntun, wajar saja kalau ada mahasiswa macam teman penulis yang ambil jurusan manajemen karena nggak tahu mau ambil apa lagi. Ingat, jurusan manajemen itu adalah salah satu jurusan paling familiar bagi anak SMA. Setidaknya, bagi saya waktu masih sekolah.
Selama tidak ada bimbingan dan diskusi mendalam untuk anak sekolah perkara jurusan mana yang akan mereka ambil, ya banyak orang akan ngerasa salah jurusan pada kuliah. Lha gimana, buta map je.
Mencetak generalis (?)
Ya lumrahnya S1 itu ya generalis, kecuali untuk jurusan tertentu yang jelas kayak Teknik Sipil, dokter dan sejenisnya, serta ilmu-ilmu spesifik. Selain itu ya mencetak generalis, jelas.
Lagi-lagi, pake contoh sastra Inggris. Oke, memang ada konsentrasi di prodi saya. Masalahnya adalah, tetep yang diambil adalah ilmu permukaan. Kalau memang mau jadi spesialis, ya ambil kuliah lagi. Dokter pun juga gitu, kalau mau jadi spesialis, ya sekolah lagi kan?
Kayaknya agak gimana gitu kalau berharap S1 langsung bisa jadi spesialis. Kenapa? Ya kurikulumnya bikin kita belajar semua hal, biar nanti bisa tahu mau lanjut mendalami yang mana. Kayaknya kalau bilang jurusan manajemen buruk karena mencetak generalis, pandangannya perlu dibenerin dulu.
Jurusan lain pun bisa begitu (?)
Oke. Saya agak setuju dengan penulis bahwa pengusaha bisa datang dari mana saja, nggak hanya jurusan manajemen. Sama halnya kalau mau jago berbahasa Inggris, nggak usah masuk sastra Inggris atau pendidikan bahasa Inggris. Tapi, tapi, saya punya pandangan berbeda tentang ini.
Jadi pengusaha itu memang butuh kemauan, modal, dan apalah itu. Tapi, tebak, berapa pengusaha yang gagal karena nggak punya ilmunya?
Ada kawan saya, lulusan S1 Sastra Inggris, tapi ngambil S2 Manajemen UGM. Semata karena dia butuh ilmunya buat usahanya. Sekarang usahanya thriving, dan yang bisa dia bilang adalah, ini semua berasal dari ilmu-ilmu yang dia dapat. Artinya, semua orang bisa jadi pengusaha itu benar, tapi untuk berhasil, ilmu dari kampus juga berguna.
Nah, kalau penulis punya pendapat yang berbeda, tentu sah. Tapi nggak sedikit pengusaha yang ambil kuliah manajemen untuk menunjang usahanya. Nah, kalau gini, gimana?
Saya sulit cocok dengan pandangan bahwa ilmu kuliah itu harus bisa diterjemahkan saat itu juga jadi suatu produk atau bisa dibuktikan bahwa itu berhasil di dunia nyata saat itu juga. Nggak, fungsi ilmu itu nggak gitu. Fungsi ilmu itu memberi bekal dan mempersiapkan manusia tersebut di masa mendatang, sekalipun jika hidupnya tak bersinggungan dengan hal tersebut.
Matematiku keliatan tak berguna, karena tak ada yang nanya apakah kamu bisa menghitung luas jajar genjang di pekerjaan. Tapi itu membantumu jadi manusia yang logis dan terukur. Bahasa Indonesia keliatan tak berguna, karena kita bicara di kantor pakai bahasa daerah. Tapi, itu membuatmu jadi manusia yang bisa berkomunikasi dengan lancar dan jelas.
Ilmu jurusan manajemen baru cocok di level tinggi
Nah, ini saya setuju dengan penulis, bahwa ilmu jurusan manajemen baru berguna di jabatan tinggi. Banyak ilmu di kampus yang baru berguna ketika kita di posisi tertentu. Yang jadi masalah adalah, kenapa itu dianggap kekurangan, sih?
Kalau aku melihatnya sederhana ya. Dengan ilmu yang kita punya, anggap saja manajemen, jika suatu saat posisi tinggi itu lowong, perusahaan jadi melirikmu karena dianggap kamu punya ilmu tersebut.
Penulisnya sih bilang, kejauhan kalau baru lulus tapi langsung diterima jadi supervisor atau manajer. Sebenarnya sih, itu nggak jauh-jauh banget. Tapi justru penulisnya memberikan validasi kalau memang ilmu di kuliah itu bergunanya di masa depan. Seperti yang sudah saya bilang, fungsi ilmu itu mempersiapkan manusia tersebut di masa mendatang.
Intinya tuh gini. Jurusan manajemen atau jurusan apa pun, menurut saya semuanya berguna, karena itu membantu kita membentuk pola pikir. Jurusan kuliah seharusnya tidak menghalangi kita, atau malah jadi samsak atas kegagalan yang mungkin kita alami. Sudah sejak lama kita diberi fakta bahwa ijazah saja tak cukup untuk jadi modal kerja, dan pembicaraan ini sudah ramai selama satu dekade.
Kalau pembicaraannya masih muter-muter di sini, artinya kudu melihat dunia luar lebih banyak sih. Jika memang ilmu yang laku nggak ada di jurusannya, berarti ya kudu dipelajari. Tapi kalau harusnya ada, cuma nggak diajarin, berarti jelas yang salah ya kampusnya.
Kalau yang salah kampusnya, dah, nggak ada obat.
Penulis: Rizky Prasetya
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Derita Salah Jurusan Kuliah, Menjalani 14 Semester di ITS dengan Mimpi Buruk dan Penyesalan




















