Masa-masa akhir SMA jelas menjadi masa yang menjemukan. Setidaknya itulah yang saya rasakan. Mau kuliah bingung masuk jurusan apa, kampus mana, dan beragam pertanyaan beruntun lainnya. Alih-alih memantapkan hati, justru yang ada bergulat dengan diri sendiri. Saat itu jelas idealisme saya masih sangat tinggi sebagai anak muda.
Saya ingin masuk jurusan A, jurusan B, tapi endingnya idealisme saya kalah oleh Matematika dan Fisika. Memang, sih, saya IPA tapi IPA-nya garis kiri, masuk IPA karena paksaan orang tua. Kalau ada yang di sini memilih kuliah karena menghindari Matematika dan Fisika, kita sekufu. Satu guru, satu ilmu.
Dengan pertimbangan utama itu, jurusan Teknik sudah pasti saya coret dari list. Saya tidak mau setiap hari bertemu angka dan rumus. Terlebih pada saat itu atau bahkan mungkin sampai hari ini, anak jurusan Teknik itu penggambarannya selalu tidak bisa menikmati hidup. Ya, meskipun solid dan kalau lulus banyak pekerjaan menanti.
Daftar kedua yang sudah pasti masuk daftar coret adalah Kedokteran. Saya sadar diri kalau tidak pinter-pinter amat dan fulus juga tidak mengalir deras. Sampai akhirnya pilihan itu mengarah ke Jurusan Agribisnis. Jurusan yang tidak terlalu dikenal, tapi sekarang bisa-bisanya jadi primadona.
Namun, saya rasa apa yang saya rasakan 10 tahun lalu masih relevan hingga hari ini. Setidaknya ketika saya sudah jadi dosen Agribisnis, tidak banyak perubahan yang berarti. Sama saja kondisinya ketika dulu saya masih menjadi mahasiswa.
Ketika dulu masuk ke Jurusan Agribisnis, tak pernah terbayang jurusan macam apa ini. Bagaimana mau membayangkan? Lha wong di medio 2011-an informasi terkait Jurusan Agribisnis masih terbilang langka. Tidak seperti sekarang yang infonya seperti keberadaan Indomaret, bisa ditemui di mana saja.
Uniknya, terdapat pola yang sama yaitu banyak mahasiswa masuk ke Jurusan Agribisnis karena sangat oportunistik. Kini, ketika di kelas saya sering bertanya kepada para mahasiswa, “Kenapa masuk Agribisnis?” Jawaban mereka beragam, mulai dari kuota yang diterima besar hingga ikut-ikutan teman saja. Jarang yang kemudian memilih Jurusan Agribisnis di pilihan pertama.
Ternyata kondisi ini sama dengan apa yang saya alami dulu. Waktu berputar, tetapi alasan ini masih abadi. Ketika awal masuk kuliah dulu, salah satu dosen cukuplah membesarkan hati saya dengan berkata, “Masuk Agribisnis itu pilihan yang tepat karena ada 3 bidang yang tidak akan pernah mati yaitu pangan, pendidikan, dan kesehatan.” Jelas sebagai mahasiswa baru, dada membusung dan kebanggan menyeruak tiada banding. Namun, seiring waktu berjalan inilah yang saya rasakan ketika menjadi mahasiswa Jurusan Agribisnis.
#1 Agribisnis didesain untuk kita yang kadar IPA-nya rendah
Jurusan Agribisnis itu selalu berada di bawah naungan Fakultas Pertanian. Berhubung induknya adalah Pertanian yang sangat IPA banget, maka calon mahasiswa yang bisa mendaftar ke sini juga harus jebolan IPA. Awal kuliah terasa biasa saja, sampai akhirnya keanehan itu terjadi mulai semester dua. Isi kuliahnya hanya berfokus pada 3 bidang besar yaitu, Manajemen Agribisnis, Ekonomi Pertanian, dan Penyuluhan.
Terkadang disinggung juga masalah Sosiologi Pedesaan dan Komunikasi. Lalu di mana IPA-nya? Hanya sesekali sebagai dasar. Jadi, murni ini dikhususkan untuk mereka yang mau murtad dari IPA. Biologi dan Kimia hanya sebagai pemanis, Fisika good bye, Matematika seperti kalkulus juga tidak akan pernah kita jumpai. Slamet, itulah batin saya berkata pada saat itu. Setidaknya tujuan awal tercapai untuk tidak memusingkan diri. Memang, Jurusan Agribisnis itu didesain untuk kita-kita yang kadar kemurnian IPA-nya sangat rendah.
Jadinya, setelah lulus pun saya hanya seperti lulusan pertanian yang abal-abal. Lantaran tidak mengerti pertanian dalam hal budidaya, hama penyakit, atau kualitas tanah. Tahu pun hanya dasar-dasarnya. Sialnya, orang-orang di desa saya tidak mengerti kalau memang spesialisasi saya bukanlah di lahannya, tetapi lebih disiapkan untuk sisi hilir. Jadi, ketika pulang kampung banyak orang yang bertanya masalah pertanian saya hanya bisa plonga-plongo. Mau jawab, kok, ya tidak ngerti-ngerti amat. Kalau tidak jawab, kok, ya, katanya anak Fakultas Pertanian. Jadi, jalan satu-satunya ya ngeles sana-sini atau tanya ke mbah Google.
#2 Praktikum adalah jalan ninja
Benar sekali, praktikum itu sudah seperti makanan wajib bagi anak Jurusan Agribisnis. Semua mata kuliahnya bisa dipastikan ada praktikumnya. Kalau praktikum dari mata kuliah Agribisnis sendiri sih sebenarnya tidak berat-berat amat.
Namun, ketika praktikum dari mata kuliah Jurusan Agroekoteknologi yang lebih pertanian banget, bisa dipastikan saya lumayan keteteran. Tidak tidur, makan di kampus, ngumpul di gazebo sudah menjadi rutinitas. Sebagai mahasiswa, saya juga rela bolos kuliah demi menyelesaikan laporan praktikum. Lha gimana wong asisten praktikumnya lebih galak daripada dosennya. Padahal, ya, nggak tau juga itu nilai praktikumnya digunakan atau tidak.
Praktikum anak Jurusan Agribisnis memang terbilang enak karena biasanya dilakukan di dalam ruang atau hanya menggunakan laptop. Makanya ketika mendapat praktikum dari mata kuliah Agroekoteknologi yang mengharuskan ke laboratorium atau ke lahan kami jelas kelabakan.
Ke sawah saja anak Agribisnis banyak yang menggunakan payung atau jaket. Alasannya satu, mereka nggak mau panas atau kotor-kotoran. Kelakuan yang seperti ini tak jarang menjadikan anak Jurusan Agribisnis menjadi bahan omongan tetangga sebelah. Umumnya yang akan terlontar adalah, “Anak Agri itu bisanya cuma dandan”. Hayo, siapa yang dulu ikut ngatain kayak gitu? Mazhab yang anak Agribisnis gunakan adalah kebersihan sebagian dari iman. Jadi, mohon dimaklumi, ya.
#3 Sering Dianggap Jurusan Bakul Sayur
Dari semua pertanyaan soal perkuliahan, mungkin pertanyaan inilah yang paling dibenci oleh anak Jurusan Agribisnis. Sudah lazim ketika ada acara kumpul keluarga atau teman maka ditanya, “Kuliah jurusan apa?”
Susah payah kita menjelaskan Jurusan Agribisnis dari sisi ilmiah sampai sisi menyombongkan akan percuma. Pakde, budemu, sampai anak turunnya juga nggak akan paham. Respons mereka akan sama saja, “Oh, bakul sayuran maksudmu?”. Kan ya hell banget orang-orang model begini. Baru masuk kuliah saja, hati ini rasanya tercabik-cabik.
Namun, memang tidak salah juga berpikir seperti itu karena jarang lulusan Agribisnis yang menjadi petani atau berkarier di sektor pertanian. Mayoritas tentu memilih bekerja di sektor perbankan. Sampai dibuat plesetan S.P itu bukan Sarjana Pertanian tapi Sarjana Perbankan.
Sampai-sampai Pak Jokowi saja pernah menyentil alumni IPB karena hal-hal macam ini. Sebenarnya, pilihan bekerja ini tidak tanpa alasan. Sampai sekarang, ketika ada lowongan pekerjaan jarang sekali ada yang dikhususkan untuk anak Jurusan Agribisnis. Makanya, kami juga mencari yang bisa didaftari oleh semua jurusan dan itu hanya disediakan oleh perbankan.
Tidak hanya dari keluarga, ujaran merendahkan itu juga datang dari teman-teman seperbucinan. Stiker yang menempel di jidat anak Jurusan Agribisnis adalah anak-anak lalapan atau penyetan. Kenapa bisa seperti itu? Lantaran, umumnya Fakultas Pertanian itu lokasinya berjejer dengan Fakultas Peternakan dan Fakultas Perikanan. Jadi, seperti paket komplit kalau kami berkolaborasi membentuk Warung Penyetan Lamongan. Ada penyuplai nasi, lele, dan ayamnya. Menjadi anak Agribisnis itu sebenarnya lebih kepada ujian psikis, setidaknya itulah yang saya rasakan.
BACA JUGA Kalau Pemerintah Sudah Buntu Meregenerasi Petani, Bikin Aja Reality Show-nya! dan tulisan Kadhung Prayoga lainnya.