Pandemi membuat semuanya berubah. Termasuk saya, seorang mahasiswa. Sejak berebaknya pandemi, perkuliahan diliburkan. Alhasil, kuliah dari rumah secara online. Akibat itu, tepat beberapa minggu lalu saya diminta untuk membantu salah seorang saudara yang baru saja membuka toko.
Saya dibujuk berkali-kali, dan agak dipaksa untuk membantu sebab dibutuhkan tenaga laki-laki. Maksudnya, saya diminta jadi kuli. Lagi pula, toko ini memang baru buka dan khawatir kalau mempekerjakan orang lain yang belum dipercaya akan membuat suatu hal terjadi: uang toko dibawa kabur. Maka jadilah saya diminta untuk membantu sebab saya saudara sendiri.
Kekhawatiran itu lantas yang membuat sanak saudara lainnya ikut membujuk saya untuk ikut membantu pengembangan toko ini meski berbeda pulau, yang artinya saya harus merantau dalam beberapa waktu sembari menunggu kuliah tatap muka.
Saya pikir, kesempatan ini seharusnya tidak boleh hilang begitu saja. Lagi pula, ini bisa masuk dalam pembelajaran hidup berbisnis. Toh, saya juga senang bila ada suatu hal yang berkaitan dengan bisnis. Mulai bertemu dengan orang-orang penting, orang-orang pemilik usaha, hingga orang-orang yang menjabati beberapa komunitas strategis.
Bujukan itu akhirnya saya iya-kan saja, dengan catatan, tunggu saya menyelesaikan naskah buku saya dan satu buku yang sedang saya edit. Saudara saya, terutama Mbah, menyepakati hal itu. Begitu pun dengan saudara yang memiliki toko. Asal, jangan lewat tanggal 20, begitu katanya.
Mati-matian saya kejar naskah saya. Jari-jemari saya lantas menari-nari di atas keyboard laptop. Begitu pun dengan buku yang saya edit. Setiap pukul 07.00 laptop sudah saya hidupkan untuk mulai mengedit, dan menutupnya pukul 23.00 atau terkadang pukul 01.00.
Tepat H-3 sebelum berangkat ke Tangerang, saya berhasil menyelesaikan buku yang saya edit meski mata sebelah kanan agak bengkak sebab (mungkin) kurang tidur. Dan syukur, naskah buku saya selesai jauh sebelum berangkat ke Tangerang. Padahal, berkali-kali saya dibujuk untuk menyelesaikan keduanya di Tangerang saja. Namun saya enggan memilihnya, dan lebih memilih menyelesaikan dulu baru datang ke Tangerang.
Tak lain tak bukan karena pikir saya, lebih tenang menyelesaikan tugas yang ada, baru ke tugas selanjutnya. Saya khawatir, kalau saya menyelesaikan di Tangerang, itu akan selesai lebih lama karena bisa jadi saya diminta untuk ini-itu sehingga membuat keduanya tidak terselesaikan dengan baik.
Pilihan saya tepat. Setelah semuanya selesai, lantas saya memesan tiket dan bersiap lalu berangkat. Setibanya saya di Tangerang, obrolan toko dan bisnis ini menjadi pembuka. Semakin obrolan jauh, semakin saya kaget. Ada satu hal yang membuat saya agak senang, tapi juga kaget: digaji.
Sejak awal diminta untuk membantu toko yang dimiliki saudara saya ini, saya tak terbayang akan gaji. Dalam pikiran saya, karena saudara dan waktu saya juga pas sebab kuliah online bisa di mana saja-termasuk toko, membantu saudara, ya bantu saja, tanpa terpikir gaji. Bila dibahasakan: “Namanya saudara, ya sudahlah, ya.”
Hari itu saya tidak langsung menempati toko. Meski begitu, jalanan yang kami lalui melawati toko yang akan menjadi tempat saya tinggal beberapa waktu ke depan. Setidaknya saya tahu secara fisik toko itu. Dan lumayan, cukup lebar.
Dalam beberapa hari saya masih tinggal bersama saudara saya, dan memang belum ada barang yang masuk toko juga. Jadi, kalau saya tinggal di toko saat itu juga, ya buat apa, wong enggak ada yang dijagain. Kalau pun ada maling, ya maling apa selain keran sebiji-dua biji yang ada di kamar mandi dan tempat cuci piring.
Dan benar saja, beberapa hal saya diminta untuk ini-itu. Memindahkan beras, membuat kartu nama, hingga mengedit desain banner. Sebenarnya itu tak menjadi beban, asal naskah yang saya buat dan saya edit ketika itu sudah selesai. Kalau belum, mungkin bisa sambat tak keruan.
Beberapa hari kemudian beberapa barang masuk secara besar-besaran. Sekitar 6 ton beras dari Subang masuk ke toko sebagai stok. Itu pun menandakan bahwa saya harus segera beberes barang yang ada di rumah saudara saya untuk dipindahkan ke kamar yang ada di toko.
Sebenarnya, jarak rumah ke toko tak begitu jauh, bahkan tak sampai 1 kilometer. Hanya saja, karena ada sebuah kamar, ketika sebelum ke Tangerang pun saya memang diminta untuk sehari-hari berada di toko, maka saya inisiatif untuk pindah ke toko. Alasan saya karena saya pikir barang sudah masuk dalam skala besar. Kalau ada maling masuk, bisa-bisa maling itu buka usaha rumah makan sebab ada 6 ton beras ada di dalam toko.
Tepat sejak dua hari lalu, barang kembali masuk ke toko. Diawali dengan 240 kg Gulaku. Gulaku didrop dari gudang, dan ketemuan di satu titik untuk kemudian saudara saya ambil dengan menggunakan mobil. Dan barang tentu saya ikut. Di toko, dengan semangat 45, mau tidak mau saya pindahkan Gulaku dari mobil ke toko. Dan tidak hanya di toko, tapi tepatnya ke lantai dua toko sebab lantai bawah sudah penuh. 240 kg dipecah menjadi 10 kardus. Artinya, per kardus berbobot 24 kg. Dan artinya pula, saya bolak-balik dari mobil ke lantai atas sebanyak 10 kali dengan beban 24 kg. Boyok kebas, Lur. Jadi kuli benar-benar keras. Ini baru hari pertama jadi kuli, nggak bisa bayangin mereka yang kuli beneran.
Kemarin, barang lain kembali masuk. Kali ini adalah minyak Bimoli sebanyak 40 kardus. Masing-masing kardusnya berbobot 12 liter minyak. Artinya, saya mengangkat 480 liter bolak-balik dari mobil ke dalam toko. Tangan lemas, Lur.
Perlu diketahui, tepat tiga hari lalu, sehari sebelum Gulaku dan minyak Bimoli ini datang, saya sempat mengangkat beras 25 per karung sebanyak 37 karung. Artinya, saya mengangkat 925 kg beras. Maka dari itu, ketika Gulaku datang, itu adalah hari di mana seolah hari kehancuran. Tangan saya masih lemas sebab 925 kg, lalu harus mengangkat 240 kg lagi esoknya, dan 480 liter lagi esoknya. Tiga hari berturut-turut saya menjadi atlet binaraga alami alias kuli.
Meski pegal bukan kepalang, saya mencoba untuk tidak mengeluh. Jujur, kejadian-kejadian ini justru membuat saya berpikir bahwa betapa hebat dan kuatnya para pencari nafkah sebagai juru kuli. Siang keringatan, malam kepegalan. Mereka tak jarang diremehkan sebab tidak eksekutif, tapi keberadaannya membuat eksekutif menyambung hidup.
BACA JUGA Menggugat Alasan Mendaki Gunung Para Pemula: Sebuah Percakapan Nyinyir atau tulisan Sylvanto Budi Utomo lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.