Jogja, Surabaya, Jember, dan Malang. Jujur, saya masih belum begitu paham mengapa banyak orang seniat itu mengampanyekan sebuah daerah sebagai kota pelajar. Maksud saya, apa enaknya kalau daerah Anda disebut, bahkan dikampanyekan sebagai kota pelajar?
Bangga? Ada-ada saja. Lucunya, hal ini menjadi bahan “debat kusir” di Terminal Mojok maupun Mojok itu sendiri.
Daftar Isi
Ribut rebutan kota pelajar antara Jogja, Surabaya, Jember, dan Malang
Semua berawal dari sebuah wacana tentang Jogja yang “katanya”, sekali lagi katanya, adalah kota pelajar. Jogja mendapat predikat itu, salah satunya, karena mempunyai banyak pusat pendidikan di sana.
Kemudian, penolakan datang. Misalnya, Dito Yudhistira Iksandy, menyebut bukan Jogja, melainkan Surabaya yang pantas. Pasalnya, UKT Jogja lebih sadis dibandingkan Surabaya. Selain itu, makanan masih murah, ramah pendatang, dan kondusif karena nggak ada klitih.
Pendapat Dito dibantah oleh Muchamad Aly Reza. Melalui liputannya, Aly menyebut kota pahlawan nggak pantas menyandang sebagai kota pelajar. Pasalnya, kegiatan literasi dan akademis adalah hal asing bagi masyarakatnya. Diskusi dan baca buku disebut tabu. Toko buku sepi tapi minat buku bajakan tinggi.
Sayang, Aly Reza tak menyebut daerah mana yang pantas mendapat status itu. Justru Adhitiya Prasta Pratama yang mengisi kekosongan itu dan menyebut Jember lebih layak. Alasannya sederhana, karena biaya hidup lebih merakyat, dan keamanan dari gangster atau klitih.
Herannya lagi, masih ada tulisan lanjutan yang mengatakan bukan Jogja, Surabaya, atau Jember yang layak. Menurut Naimatul Chariro, Malang yang sangat-sangat lebih pantas. Bahkan lebih kompleks bak es campur, Malang disebut sebagai kota pelajar karena sudah bernuansa pendidikan sejak era kolonial, penuh mahasiswa, aktivisme yang membara, toko buku dan penerbit merajalela, toleransi pada perbedaan, dan yang penting adalah ramah kantong mahasiswa nggak kayak Jogja.
Asli. Perdebatan di atas itu nggak ada gunanya.
City branding dan kapitalisasi
Menurut saya, label “kota pelajar” kayak Jogja bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Ngapain juga Surabaya, Malang, dan Jember memperebutkannya. Bahkan malah mencelakakan. Label kota pelajar, sebagaimana label-label yang lain sebenarnya cuma city branding. Tujuannya untuk hegemoni masyarakat luar untuk mau datang.
Surabaya misalnya, disebut “kota pahlawan” untuk mendatangkan wisatawan yang pengin belajar sejarah heroik yang membara pada 10 November. Gresik, kota industri, untuk mengundang para investor supaya mau mendirikan industrinya di sana. Misalnya seperti yang terbaru, PT Freeport Indonesia. Batu, kota wisata, untuk meningkatkan jumlah pelancong.
Loh justru bagus dong ketika banyak orang luar berdatangan lalu bikin ramai kayak Jogja. Suatu kota menjadi terkenal di mata orang luar. Hebat dong kalau daerahnya memiliki citra yang baik di mata publik.
Jangan salah, city branding itu outuput-nya bukan sekadar citra. Justru citra adalah penjembatan untuk peningkatan pendapatan daerah, termasuk pajak daerah yang dikontrol penuh oleh pemangku kebijakan setempat.
Ketika suatu daerah sukses disebut sebagai kota pelajar dan sukses mendatangkan orang luar untuk berkuliah dan hidup di sana, perekonomian suatu daerah akan naik. Termasuk UKT dan harga makanan di sekitar kampus juga melonjak naik. Surabaya, Malang, dan Jember mau kayak gitu?
Banyak artikel sebelumnya yang mengatakan bahwa daerahnya pantas disebut kota pelajar karena harga makanannya murah. Bullshit itu. Surabaya misalnya, coba cek harga makanan di sekitaran kampus dan bandingkan dengan harga makanan di desa. Apakah sama? Tentu tidak.
Kampus, warung makan, kos-kosan, toko ATK, dan fotokopi adalah sumber kekayaan suatu daerah yang dioperasionalisasi ke pusat dan jatuh kembali ke daerah. Seperti pariwisata, elemen-elemen yang menyokong label kota pelajar ini secara tidak langsung mekanisme kapitalisasi yang diselenggarakan oleh negara.
Bahkan disokong oleh media untuk menguatkan sebuah city branding. Barangkali nampak ndakik-dakik. Namun begitulah grand design sisi gelap dari penyebutan kota pelajar dari Surabaya, Malang, dan Jember.
Tanggung jawab moral yang terabaikan
Selain city branding, kita juga perlu melihat sisi tanggung jawab moral. Salah satu wacana yang digadang-gadang oleh Tridharma perguruan tinggi adalah pengabdian kepada masyarakat. Pertanyaannya adalah apakah daerah-daerah yang disebut kota pelajar kayak Jogja, yang banyak kampusnya itu, telah melakukan tanggung jawab moral kepada masyarakat sekitarnya?
Saya kadang heran kenapa mahasiswa, kalau KKN, pasti di luar daerah di mana kampus berada. Mengapa “mensejahterakan” daerah lain jika daerahnya sendiri belum sejahtera?
Misal, di Jogja, saya belum pernah mendengar ada mahasiswa mengadvokasi betulan perihal rendahnya upah di sana. Selain Jogja, banyak kampus yang nggak memikirkan kondisi di sekitarnya. Misalnya, PKL di Srikana sebelah UNAIR itu justru digusur. PKL depan UNESA yang di Lidah maupun Ketintang, Surabaya, juga bernasib sama.
Lantas, buat apa disebut kota pelajar jika mahasiswa mengabaikan kesejahteraan masyarakat kecil di daerah itu? Percuma membangun kampus megah, diskusi mahasiswa rutin berjalan, punya banyak toko buku kalau tidak berkontribusi untuk masyarakat kecil yang berada di sekitar lingkungan akademik.
Jogja, Surabaya, Malang, dan Jembar, apakah kalian masih pantas memperebutkan label kota pelajar?
Penulis: Mohammad Maulana Iqbal
Editor: Yamadipati Seno
BACA JUGA Jogja, Kota Pelajar yang Tak Belajar dari Kesalahan Jakarta
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.