Jogja berhasil membuat saya cemburu. Oh ya, sebelumnya saya cerita dulu. Saya pertama kali datang ke Jogja tahun 2010. Rencana saya, kuliah musik di ISI. Dan itu tercapai sesudah menganggur satu tahun lebih (ah, jadi sedih ingat masa itu, hehe). Saya tinggal di Prancak Glondong Sewon—utara ISI—selama lima tahun.
Bulan ini genap sembilan tahun saya tinggal di Jogja. Walau sekarang saya sudah tinggal di Mrican—kota, tapi saya masih sering kok main ke Sewon. Main ke tempat teman yang tidak lulus-lulus. Melihat pameran lukisan. Yang lebih sering sih kangen masakan Mas Pur (baca: poor) yang murah meriah tapi enak itu. (Ngomong-ngomong, wajahnya mirip Freddie Mercury loh. Apalagi kumisnya, hehe)
Lalu gimana bentuk konkrit rasa cemburu saya? Jadi begini. Tahun baru yang lewat—2019—saya pulang kampung (sebenarnya malas, karena selalu ditanyain kapan nikah atau disuruh lamar PNS, hehe). Hati saya teriris-iris melihat kenyataan kampung saya—desa Pematang Purba, Kabupaten Simalungun. Masih ingat kan daerah Kapal Sinar Bangun yang dibiarkan tenggelam di dasar danau itu? (gosipnya sih biaya angkatnya mahal, bisa bikin rugi pemerintah) Nah, itu tetangga kampung saya.
Dibandingin Sewon—sepanjang Jalan KH. Ali Maksum—kampung saya ketinggalan jauh. Sembilan tahun perubahannya sangat drastis. Sementara kampung saya—seumur saya hidup—tidak ada perubahan yang berarti.
Sekarang mari kita bandingkan. Dulu, saya dan teman kos sering naik sepeda atau jalan kaki keliling-keliling. Sawah masih terbentang luas. Di mana-mana masih terasa sepi. Sekarang, sawah sudah hampir ludes. Di mana-mana bangunan berdiri kokoh. Toko, warung makan, perumahan, café dan kos-kosan. Sewon jadi ramai. Kampung saya mah paling yang berubah satu dua rumah. Yang dulu papan sekarang jadi beton. Rumah yang benar-benar baru masih bisa dihitung jarilah.
Sejak pertama di Jogja saya juga sudah iri masalah jalan raya. Di sekitar sewon, jalan-jalan ke sawah aja sudah aspal. Di tempat saya, jalan lintas antar kabupaten aja masih banyak lobangnya. Kalau musim hujan, jalan sudah bisa dipakai untuk beternak lele atau menanam pisang. Sekarang sedikit berkurang karena kantor bupati pindah ke daerah yang paling banyak lobangnya.
Masalah kenderaan? Tahun 2010, di mana-mana masih banyak sepeda. Di sekitar sewon, semua rata-rata naik sepeda. Petani, anak sekolah, anak kuliah, ya naik sepeda. Setiap keluarga paling tidak pasti punya satu sepeda. Sekarang, sepeda itu sudah mulai hilang. Rata-rata orang naik sepeda mesin—sepeda motor. Bahkan, anak-anak kuliah sekarang sudah banyak pakai sepeda motor. Becak aja sekarang semakin banyak pakai mesin.
Sementara di kampung saya, dari dulu itu-itu aja. Paling ganti pemilik. Lalu ganti merek. Body-nya, ya kebanyakan masih sama. Paling satu dua mobil baru. Bayangin, jalan berlobang-lobang lalu naik mobil jelek dengan sopir yang ugal-ugalan, apa yang terjadi? Bokong akan dihantam besi berkali-kali. Itu lumrah di sana. Sudah makanan sehari-hari.
Selain itu, saya cemburu karena di sini pembangunannya gila-gilaan. Di mana-mana mulai banyak berdiri mal yang megah. Hotel-hotel berkelas semakin banyak. Warga yang dulu banyak menggunakan sumur biasa, sekarang mulai beralih menggunakan sumur mesin. Sementara di kampung saya, air kadang masih sulit, meski sudah pakai sumur bor. Sampai sekarang, masih banyak warga yang ke pergi sungai walau jauh.
Di sini banyak aktivis atau seniman idealis yang siap menyuarakan kegelisahan rakyat kecil. Di kampung saya, tidak ada yang peduli. Di sini media banyak meliput, beritanya bisa laku. Kalau di sana, media tertarik kalau peristiwanya besar dan menjual seperti kasus Sinar Bangun yang tenggelam.
Satu lagi yang membuatku cemburu, soal kekompakan. Di sini, pemerintah, tukang parkir (ATM bahkan kadang diparkirin) pengusaha dan rakyat—mungkin juga preman—saling bahu membahu menjalankan roda pemerintahan dan perekonomian. Jadi pemerintah untung, rakyat juga untung. Semua pihak untung. Kalau di sana, yang mendapatkan keuntungan itu-itu saja.
Saya benar-benar cemburu dengan Jogja. Sesuai dengan namanya, benar-benar istimewa. Saya kadang menghayal kampung saya—kabupaten Simalungun—suatu hari bisa seperti Jogja. Atau setidaknya seperti Sewon. Maju dan berkembang. Jalannya bagus. Di mana-mana ada berdiri kokoh hotel, mal, café dan berbagai usaha bisnis. Wajah kampung saya tidak gitu-gitu aja. Masalah—kerumitan hidup—naik kelas. Ah, tapi sudahlah. Mungkin semua itu hanya mimpi.