Selain provinsi, Jogja itu ibaratnya “tempat nongkrong” yang besar. Nyaris di setiap sudut provinsi ini adalah tempat nongkrong yang ideal. Nggak cuma untuk anak muda, tapi semua usia dan kalangan mempunyai pilihan untuk bersantai menghabiskan waktu luang.
Saat siang menjelang sore, keadaan masih terlihat baik-baik saja. Tapi kalau malam hari, ceritanya sudah berbeda. Gimana, ya, sejauh pengalaman saya, lampu penerangan jalan di banyak tempat di Jogja itu terlalu “temaram”. Seakan-akan provinsi ini nggak mampu secara finansial untuk menyediakan penerangan jalan yang bikin hati lega. Padahal saya yakin, Jogja, adalah provinsi yang kaya banget. Saya sangat yakin.
Jalanan Jogja yang gelap dan berbahaya
Salah satu “jodoh” dari minimnya penerangan jalan adalah lubang di jalan. Tidak semua pengendara, khususnya yang berkendara malam hari, matanya normal dan bagus. Bagi mereka, si mata minus dan silinder, berkendara di jalanan yang gelap bisa sangat berbahaya. Apalagi kalau pas hujan turun dengan derasnya. Celaka!
Padahal, ya, lampu penerangannya tuh ada. Namun, entah kenapa, mungkin karena usia dan tidak pernah diganti, sinarnya terlalu minimalis, kayak UMR di sini.
Kamu bisa menemukan kondisi ini bahkan di jalan besar. Kalau di Sleman, ada Mulai dari Jalan Magelang, Jalan Kaliurang, Jalan Affandi (Gejayan), hingga Ring Road. Di Kota Jogja, ada Jalan Kusumanegara, misalnya.
Saya sering membatin. “Ini saya saja yang resah atau sebetulnya juga resah tapi bodo amat sama keadaan?” Masalahnya, kalau terjadi kecelakaan, banyak orang jadi repot.
Makanya, istri saya paling malas kalau harus melintas di Ring Road Utara waktu malam. Sebagai pengguna kaca mata, dia merasa tidak aman. Saya juga lantas berpikir, apa ya sulit mendata jalan mana saja yang penerangannya perlu diganti? Kalau sudah punya data, kan bisa melakukan peremajaan. Segampang itu. Ingat, selain lubang jalan, “jodoh” lainnya dari minimnya penerangan jalan adalah kejahatan. Jogja seram!
Earth Hour every hour
Saya tidak tahu apa yang ada di pikiran pemerintah, baik itu provinsi maupun kabupaten. Seakan mereka itu memilih menjadi buta dengan apa yang ada di depan matanya.
Mungkin harus ada anak pejabat yang celaka di jalan karena gelap, baru mereka mau bertindak. Dulu kan pernah terjadi ketika klitih menelan korban anak salah satu pejabat. Saat itu gubernur langsung merespons untuk memberantas klitih yang ada di Jogja. Padahal, warga yang menetap dan perantau juga manusia yang memiliki hak untuk merasa aman.
Entahlah, saya sebagai warga sipil yang hidup dari gaji yang dipotong pajak hanya bisa pasrah. Padahal segala hal yang ada di hidup kita itu dipajakin. Tapi, uang pajak yang kita bayarkan tidak kembali kepada kita sebagaimana mestinya. Minimal untuk lampu jalan apa ya nggak bisa.
Saya berkeluh kesah tentang penerangan karena resah. Harus berapa lama lagi kita hidup dalam kegelapan malam yang minim cahaya? Oh, apakah ini adalah salah satu program pemerintah untuk menghemat energi? Earth Hour every hour. Hanya Tuhan dan pemerintah Jogja yang tahu jawabannya.
Penulis: Wahyu Bagaskoro
Editor: Yamadipati Seno
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.