Jogja Itu Aslinya Murah, tapi Jadi Mahal Gara-gara (Gaya Hidup) Pendatang

Jogja Istimewa, Harga Kosnya Bikin Pusing Kepala harga kos di jogja

Jogja Istimewa, Harga Kosnya Bikin Pusing Kepala

Belakangan ini ramai berita soal Yogyakarta yang katanya punya standar hidup lebih tinggi dari Jakarta. Kaget? Wajar. Jakarta yang katanya kota paling sibuk, paling macet, dan paling mahal itu kok bisa kalah sama Jogja?

Banyak orang langsung bertanya-tanya, kok bisa? Bukannya Jogja dikenal sebagai kota yang murah, ramah, dan cocok buat mahasiswa? Tapi sekarang malah katanya biaya hidupnya lebih tinggi. Saya sih nggak terlalu heran. Soalnya, yang bikin biaya hidup Jogja mahal bukan warga lokalnya, tapi mahasiswa dari kota-kota besar.

Jogja itu murah? Coba tinggal di kosan daerah Jakal

Kalau kamu lahir dan besar di Jogja, tinggal sama orang tua, makan di rumah, dan belanja di pasar, ya tentu saja hidupmu murah. Tapi kalau kamu mahasiswa dari luar kota terutama dari Jakarta, Bandung, atau Surabaya terus tinggal di kosan daerah Pogung, Seturan, atau Babarsari, ya siap-siap dompetmu menangis.

Kos-kosan sekarang sudah banyak yang harganya lebih dari Rp1 juta per bulan. Itu pun belum termasuk listrik dan WiFi. Makan pun nggak bisa asal. Banyak mahasiswa sekarang lebih suka makan rice bowl, salad, atau ayam Korea daripada nasi telur di warteg. Mereka juga suka nongkrong di kafe yang katanya skena dan instagramable . Akhirnya, biaya hidup pun ikut naik.

Bukan warga asli, tapi mahasiswa luar yang bawa gaya hidup mahal

Masalahnya, standar hidup di Jogja sekarang lebih banyak dipengaruhi oleh mahasiswa dari kota besar. Mereka sudah biasa hidup dengan gaya tertentu di kota asal, lalu kebiasaan itu dibawa ke Jogja. Misalnya, terbiasa ngopi di kafe cantik, makan makanan sehat, belanja online, dan nongkrong setiap malam.

Kebiasaan ini bikin banyak tempat makan dan tempat nongkrong ikut menyesuaikan. Harga makanan naik, kos-kosan direnovasi jadi lebih mewah, dan tempat hiburan makin banyak. Ini semua demi memenuhi kebutuhan mahasiswa-mahasiswa ini. Bukan buat warga asli Jogja.

Jogja jadi tempat “coba-coba” gaya hidup baru

Buat banyak mahasiswa dari kota besar, Jogja itu tempat untuk mencoba hidup mandiri. Tapi tetap gaya. Mereka ingin tinggal di kota yang murah, tapi tetap bisa makan enak, minum kopi enak, dan nongkrong seperti di kota asal.

Dari sinilah muncul kafe-kafe lucu, kos-kosan fancy, laundry ekspres dan tempat makan yang menunya pakai nama-nama bahasa Inggris. Jogja berubah, bukan lagi sekadar kota pelajar yang sederhana, tapi juga kota gaya hidup.

Banyak rumah warga sekarang disewakan jadi homestay atau kos-kosan karena lebih menguntungkan. Akibatnya, harga sewa dan tanah naik. Warga asli Jogja yang penghasilannya tetap, jadi ikut kena imbas. Mereka tetap hidup sederhana, tapi lingkungan sekitarnya berubah cepat.

Baca halaman selanjutnya

Harga naik, warga bingung

Harga naik, warga lokal bingung

Inilah yang bikin standar hidup Jogja jadi kelihatan tinggi. Bukan karena semua orang jadi kaya. Tapi karena harga-harga naik mengikuti gaya hidup mahasiswa dari kota besar.

Warga lokal yang penghasilannya pas-pasan jadi bingung. Mau makan di luar mahal, sewa tempat mahal dan anak-anak muda sekarang juga ikut-ikutan gaya hidup yang sama. Tapi penghasilan mereka nggak berubah. Akhirnya mereka merasa makin tertinggal.

Jogja terlihat makin modern dan mewah. Tetapi di balik itu, banyak orang tua yang harus putar otak supaya bisa bertahan. Banyak anak muda Jogja juga mulai merasa tidak cocok tinggal di kota sendiri. Karena gaya hidup di sekitar mereka sudah berubah, tapi isi dompet tetap sama.

Jogja bukan makin mewah, tapi makin dibentuk oleh gaya hidup pendatang

Kalau kamu heran kenapa biaya hidup di Jogja bisa lebih mahal dari Jakarta, coba tengok ke sekitar. Lihat kos-kosan di Jakal, kafe di Seturan, dan anak-anak muda yang nongkrong pakai outfit mahal.

Jogja memang berubah. Tapi bukan karena warganya makin kaya. Melainkan karena banyak pendatang membawa gaya hidup kota besar, lalu mempengaruhi pasar dan harga-harga di Jogja.

Bukan Jogja yang salah. Tapi gaya hidup baru yang dibawa yang membuat semuanya jadi lebih mahal. Jadi, sebelum bilang Jogja itu kota yang murah dan cocok buat mahasiswa, coba lihat dulu: mahasiswanya dari mana, gaya hidupnya kayak gimana?

Kalau yang datang adalah anak-anak Jaksel yang nggak bisa hidup tanpa oat latte dan weekend trip ke Bali, ya wajar kalau akhirnya Jogja ikut mahal.

Penulis: Ogidzatul Azis Sueb
Editor: Rizky Prasetya

BACA JUGA Bertahun-tahun Tinggal di Sewon Bantul Bikin Paham Dunia Gelap Mahasiswa ISI Jogja, Warga sampai Pasrah

Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.

Exit mobile version