KA Kahuripan menjemputmu, ketika Sri Tanjung tak sanggup menggapaimu
Saat membaca tulisan dari Kak Muhammad Haqiqi, saya sebagai orang yang ber-KTP Jawa Timur dan masih tercatat kuliah di Yogyakarta agak tertegun. Kok, rasanya asing tapi juga nggak asing, ya, sama nama Sri Tanjung? Rasanya kayak lumayan sering baca tapi kok seingatku belum pernah naik? Padahal dompet saya suka banget sama kereta ekonomi, jadi pasti akan mengusahakan menjajal kereta-kereta bertarif hemat.
Ternyata, memang Sri Tanjung ini nggak melewati stasiun yang biasa saya pilih. Biasanya saya naik atau turun dari Malang atau Blitar. Maka, jika stasiun keberangkatan atau tujuan tidak dilewati oleh Sri Tanjung, periksalah rute KA Kahuripan. Memang ia tidak menjangkau Jawa paling timur dan paling utara seperti Sri Tanjung, tetapi ia melewati stasiun-stasiun di Jawa bagian selatan dan yang tidak dilalui Sri Tanjung: Blitar, Tulungagung, Kediri, Papar.
Blitar merupakan stasiun awal dan akhir dari rangkaian ini. Loh, namanya Kahuripan, kok berujungnya di Blitar? Padahal Kahuripan, kan, identik dengan Kediri?
Nah, mulanya, KA Kahuripan ini memang hanya mencapai Kediri. Akan tetapi seiring waktu dengan mempertimbangkan permintaan, rute diperpanjang hingga Blitar. Mungkin itu kenapa ia dinamakan Kahuripan, sesuai dengan nama kerajaan pimpinan Airlangga yang sempat beribukota di kawasan Daha–kini termasuk wilayah Kediri.
Selain itu, Lempuyangan yang terletak di Yogyakarta bukanlah stasiun akhir dari KA Kahuripan ini. Adalah Kiaracondong, Bandung. Cukup dengan Rp84 ribu, penumpang sudah bisa menikmati perjalanan terjauh lintas tiga provinsi, Blitar–Kiaracondong atau sebaliknya selama nyaris 14 jam!
Namun, karena biasanya saya menumpang dari Blitar–Lempuyangan atau sebaliknya, saya cukup membayar Rp80 ribu untuk 5,5 jam perjalanan. Nggak perlu oper selayaknya bis ekonomi, pun lebih murah ketimbang bis yang langsung. Ramah bagi penumpang yang gampang ketiduran seperti saya, deh.
Soal kenapa kereta ini cukup beken, saya yakin lebih karena tarifnya yang ekonomis. Sebab jika mempertimbangkan pelayanan, sesungguhnya bukan buruk, akan tetapi ya standar kereta api PSO pada umumnya: kursi tegak, berhadapan, dan bersinggungan langsung dengan penumpang sebelah.
Ada AC, tetapi sentral. Kalau lapar, juga tersedia gerbong restorasi dengan macam-macam pilihan makanannya seperti kereta api jarak jauh umumnya. Pemesanan tiket juga seperti kereta-kereta api biasanya yang bisa dipesan via KAI Access, jadi nggak perlu harus ke stasiun jauh-jauh hari. Cukup di hari-H saja.
Ya standar, kan? Baik, tetapi bukan yang spesial banget misalnya seperti kereta sleeper. Meskipun banyak dijumpai sih penumpang yang menikmati Kahuripan layaknya kereta sleeper–kalau-kalau kursi sebelahnya lagi kosong.
Soal pemandangan dan kelancaran, tentu sudah merupakan ciri khas moda transportasi ini di rangkaian mana pun. Apalagi kalau memilih kursi dekat jendela dan tidak keduluan orang lain penganut “semua kursi sama saja”. Dengan menumpang kereta ini, pemandangan persawahan dan sungai bisa dilihat di hampir sepanjang perjalanan. Apa itu gedung pencakar langit.
Akan tetapi buat saya, kereta ekonomi akan selalu lebih saya pilih ketimbang eksekutif, terlebih jika sedang bepergian sendirian. Selain perkara harga, juga saya–sebagai yang sukanya memilih kursi dekat jendela untuk senderan–sering merasa kurang nyaman kalau “dihimpit” oleh seorang yang belum dikenal. Kalau di kereta ekonomi sama saja sih, tapi kan lebih ramean gitu. Juga, ada space yang lebih luas untuk jalan keluar, biar pun lutut penumpang saling bertemu. Eh, kebayang, kan?
Ya memang eksekutif lebih nyaman untuk meluruskan kaki, tetapi kalau misal pengen ke kamar mandi atau restorasi tetapi sebelah kita tidur, tuh, di kereta ekonomi lebih gampang keluar. Entah sih, preferensi pribadi. Siapa tahu mungkin hanya karena saya yang ternyata kurang suka tempat sempit saja. Au ah gelap.
Itulah sedikit cerita tentang Kahuripan. Ketika Sri Tanjung tak bisa menggapaimu, Kahuripan akan menjemputmu.
Penulis: Annisa Rakhmadini
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA 3 Hal yang Akan Saya Rindukan dari Stasiun Gambir