Saya tak pernah menganggap Naruto itu segalanya. Lebih tepatnya, Naruto merupakan pemecut semangat saya ketika mendapatkan ranking terbawah ketika SMP. Berkatnya, pikiran saya yang saat itu belum rusak, menganggap bahwa saya masih bisa berbenah dan meraih cita-cita. Setidaknya, masih ada cahaya di tengah kegelapan.
Saya tak pernah menganggap Naruto adalah filosofi cinta kasih yang terselip dari lembar demi lembar komik. Lebih tepatnya, digamparnya Naruto atas Sakura dan lebih memilih Sasuke, adalah penyelamat saya ketika bribikan yang saya sukai ketika SMP lebih memilih kawan dekat saya. Entah sejak kapan, sosok konyol blio, berubah menjadi sosok yang saya hormati tanpa merendahkan sosok lainnya.
Jogja yang hujan nyatanya bukan pertanda baik untuk keberlangsungan perasaan saya. Benar saja, dalam Boruto Chapter 51, Nanadaime diprediksi akan wafat lantaran melakukan “pengorbanan” untuk Boruto secara sempit, Warga Konoha secara luas. Entah ini akan menjadi penuh spoiler atau tidak, yang jelas saya hanya ingin menyampaikan betapa nggerusnya chapter ini.
Saya tidak sedang berlebihan, meninggalnya Naruto, itu berarti hilang pula satu “penunjuk arah” kehidupan saya ketika kecil. Entah bagaimana dengan kalian yang memiliki kisah sentimentil atau tidak. Pun kalau mau bilang saya berlebihan, silakan. Saya mengizinkan.
Naruto memang beberapa kali terlepas dari kematian. Pun banyak sekali hoaks yang tersebar mengenai kematian blio. Melalui chapter ini, mari kita memikirkan kemungkinan terburuk dan apa yang harus kita persiapan untuk menerima semua itu dengan lapang dada dan seikhlas-ikhlasnya.
Pertama, saya mau membaca ulang manga Naruto dari awal. Saya rasa, kalian juga bisa melakukan hal yang sama. Bukan hanya untuk Naruto, saya mau berterima kasih kepada Kishimoto Sensei. Bukan hanya art-work yang acap kali merobek perasaan, tapi juga proses kreatif kala beliau melahirkan tokoh-tokoh dalam jagat Naruto.
Sore ini, ditemani Jogja yang sedang diguyur hujan, sebelum menulis tulisan ini, saya membuka lembar demi lembar komik Naruto. Bagaimana Tim 7 terbentuk, bagaimana Akatsuki menjadi momok, hingga kisah getir Jiraiya yang berusaha menjadi pria sejati melalui caranya.
Kedua, kaji lebih dalam mengenai kisah Naruto. Katanya, tingkat kasih sayang paling dalam adalah sebuah kritikan. Tak elok memang mengkritik sebuah manga yang solid, tapi tak ada salahnya jika mengembangkan plot utama maupun sampingan dalam sebuah kajian.
Misalkan, kisah pemimpin Konoha itu apakah benar-benar mengusung asas oligarki? Kemudian, kaji mengenai apakah ada potensi klan yang membangkang dari Konoha layaknya Klan Uchiha beberapa tahun silam? Walau kesannya bagai teori liar dan usang, melalui kajian ini, sosok Naruto akan terus mendekam di hati. Setidaknya, dalam waktu yang lama.
Kaji juga tokoh-tokoh yang lain. Siapa pun itu yang ada di dekatnya Naruto. Siapa pun itu yang membuatnya berkembang. Guru Iruka, terutama. Sosok yang mempunyai tempat paling khusyuk di hati Naruto. Sosok yang tanpa sadar, menempa Naruto dalam keheningan kehidupan.
Ketiga, berkumpul bersama para penggemar Naruto yang lain. Saya rasa, jika pandemi tidak ikut campur dan terlibat secara banyak, sebuah pertemuan harus dilakukan jika benar-benar wafat. Entah pertemuan secara besar, atau pertemuan kecil yang melibatkan orang-orang yang menurutmu tepat untuk melihat tangismu.
Kalau saya sih jelas, harus ada bekonang dan Ale-Ale untuk memantapkan barisan derai air mata. Wes to, nggak ada jawaban paling tepat selain merayakan kematian Naruto dengan cawan ke cawan. Mau arak, brem, ciu, tuak, hingga bekonang, sopi, terserah. Seadanya di daerahmu adanya apa. Berhubung arak nggak ada, ya sudah seadanya. Dengan mabuk, rasanya saya baru bisa plong untuk menangis.
Saya menghubungi kawan saya yang juga penggemar Naruto. Ia langsung memiliki plan tersendiri, “Nanti kumpul di kebon milik Pak Musam. Kita duduk melingkar, satu per satu bercerita pengalaman manis bersama Naruto sambil setenggak demi setenggak bekonang. Habis itu kita tutup dengan berpelukan, menangis, dan hamdalah.”
Kawan saya satu lagi juga memiliki plan tersendiri. Begini katanya, “Kalau aku mau muterin desa saja. Tapi sambil lari. Bukan lari biasa, tapi lari gaya Naruto yang tangannya ke belakang. Tentunya, sambil menangis.”
Intinya, mari kita lepas Naruto dengan sedikit perasaan njarem sampai ke ulu ati, tetapi suka cita datang belakangan untuk menyertai. Ya, bayangkan saja di atas sana, Naruto sedang ngeteh bersama Minato dan Hiruzen bahwa Konoha telah baik-baik saja. Kemudian ia berjalan-jalan bersama Neji seraya mengatakan, adiknya, Hinata, telah bahagia.
Tak lupa ia mentraktir rokok untuk Guru Asuma dan menjelaskan bahwa Shikamaru, Chouji, dan Ino, telah menjadi ninja yang kafah dan berbuat banyak kebaikan untuk warga Konoha. Melalui malam yang tenang entah di mana, Naruto bertatap muka dengan Itachi dan memberitahu bahwa adiknya, Sasuke, kini menjadi ninja yang meletakkan cinta kasih, jerih payah, dan suka cita untuk Konoha. Sebuah hal yang tak pernah dilakukan oleh Itachi dengan baik dan benar, selama semasa hidupnya.
Terlepas dari semua kegiatan yang harus dilakukan di atas, semoga kalian melakukan hal yang positif untuk mengenang kepergiannya. Ya, itu pun kalau jadi ajal menjemputnya. Namun, sebaik-baiknya sebuah kematian, adalah bagaimana cara orang lain mengenang dia. Dengan matinya Naruto, itu adalah sebuah hal yang menandai kehidupannya dalam menginspirasi generasi ke generasi, telah paripurna. Tutup buku dan ucapkan terima kasih sedalam-dalamnya.
BACA JUGA Boruto Beli Gacha Melulu, Uang Sakunya Emang Berapa, sih? dan tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.