Sekitar pukul 04.30, saya berangkat dari Jogja menuju Wonosobo. Ada salah satu teman semasa SMA yang hendak menikah. Dibanding teman-teman lain, sepertinya saya sampai paling awal, sekitar pukul 08.30. Acara serah terima pengantin dan akad akan berlangsung beberapa menit lagi. Malam sebelumnya, saya mengakomodir teman-teman sekelas di grup WhatsApp terkait jam keberangkatan sampai iuran. Sudah delapan tahun lulus SMA, tapi status ketua kelas seperti masih ada di pundak.
Ya, dahulu, tepatnya saat kelas tiga SMA, saya menjadi ketua kelas.
Bukan karena paling pintar apalagi populer, saya terpilih sebagai ketua kelas lebih sebagai bentuk lelucon. Asumsinya, karena saat kelas dua saya beberapa kali membuat lelucon saat presentasi di depan kelas, teman-teman “mengerjai” saya untuk menjadi ketua kelas. Ngomong-ngomong, waktu dulu sekolah di SMA, kelas dua dan tiga orangnya tetap, tidak diacak di setiap jenjang.
Saya menerima status ketua kelas walaupun paham betul, saya bukan tipe konseptor. Saya lebih ke tipe eksekutor. Menurut saya, pemimpin lebih cocok untuk jenis orang berjiwa konseptor.
Benar saja, hari demi hari berjalan, antara ketua kelas dengan pembantu umum kelas rasanya tidak jauh berbeda. Salah satu contohnya, saat guru meminta murid untuk mengambil barang di kantor. Harusnya itu jatah siswa yang piket. Tapi, semisal tidak ada yang mau, maka saya yang turun tangan. Mungkin terlihat heroik, tapi justru saat dia harus mengerjakan segala urusan sendiri, itulah kegagalan seorang pemimpin. Dia tidak bisa menggerakkan anggotanya.
Pada tahap yang lebih ekstrem, saya justru mengikuti kemauan para anggota kelas dalam hal “buruk.” Pernah suatu ketika, beberapa anak meminta murid cowok di kelas untuk bolos semua. Bagi yang tidak mau, dia akan dikucilkan. Seharusnya ketua kelas mencegah, tapi nyatanya saya malah ikut arus.
***
Acara serah terima dan akad pernikahan sedang berlangsung. Beberapa teman mulai datang. Kita menyaksikan prosesi serah terima dan akad secara tidak hikmat. Melihat orang yang sering bercanda kemudian serius rasanya ada yang aneh. Teman saya yang menikah hari itu memang tipikal orang yang suka bercanda.
Di sela-sela percakapan dengan teman, ada kabar bahwa salah satu anggota kelas yang lain sudah melahirkan. Secara spontan, mereka meminta saya untuk mengordinasikan teman-teman lain agar iuran untuk teman yang baru punya bayi tersebut. “Pokoknya kamu ketua selamanya.” kata salah satu teman.
Saya sudah merasakan jauh-jauh perasaan ini. Bahwa status ketua kelas sepertinya akan terus ada entah sampai kapan. Bahkan dalam beberapa reuni kecil-kecilan, ada saja yang memanggil saya dengan sebutan “Pak Ketu”.
Setelah saya menganalisis secara tidak mendalam, ada beberapa alasan mengapa ketua kelas di kelas 3 SMA berpotensi memegang jabatan selamanya. Pertama, pada momen kelas tiga, perjuangan belajar berada pada puncak-puncaknya.
Dahulu masih ada Ujian Nasional (UN). Jadi mulai dari belajar di kelas, les tambahan dari sekolah, sampai sholat jamaah (dadakan karena sudah kelas tiga) menjadi lebih intens. Ibarat perang, kita sedang dalam masa karantina dan pelatihan di barak militer. Layaknya sesama pejuang, kedekatan satu sama lain sangat erat. Maka perjuangan berat semasa kelas 3 SMA akan berubah menjadi kenangan indah di masa mendatang.
Alasan berikutnya, kelas tiga menjadi akhir masa sekolah. Sepertinya memori di kepala memiliki ruang tersendiri untuk setiap narasi “akhir”. Apa pun jenis dan porsinya, yang terakhir selalu istimewa, layaknya yang pertama. Entah istimewa dalam konotasi baik atau buruk. Sama dengan sebelumnya, hal ini menjadi alasan mengapa kelas tiga cukup berkesan.
Apabila kita perhatikan, kebanyakan reuni kelas semasa SMA adalah teman-teman pada tingkat kelas 3 SMA. Jarang reuni teman-teman SMA yang isinya anggota kelas satu atau dua. Kecuali kalau reuninya satu angkatan atau reuni akbar ya.
Layaknya tingkatan yang paling mungkin memiliki banyak kenangan, maka segala hal di kelas 3 SMA akan terus terbawa, termasuk ketua kelasnya. Jadi buat kamu yang jadi ketua kelas 3 SMA, bersiaplah menjadi ketua selamanya.
***
Sekitar pukul 10.00 acara serah terima dan akad selesai. Kini pengantin hanya menerima tamu untuk acara resepsi. Saya dan beberapa teman yang mengikuti acara sedari awal pindah ke area prasmanan, nyari kambing guling.
Saya belum bisa meninggalkan acara. Ada anak-anak yang belum datang dan meminta saya untuk stay. Seperti banyak acara kelas sebelumnya, saya bisa jadi orang yang paling awal datang, dan paling akhir pulang.
Menjadi ketua kelas memang sering melelahkan dan menjadi beban. Terlebih ketua kelas 3 SMA, lelah dan beban yang diemban akan lebih panjang masanya. Di sisi lain, kita punya kontribusi untuk menjaga ikatan kelas untuk tetap saling terhubung. Artinya, kita akan memiliki saudara atau keluarga lebih lama juga. Menjadi ketua kelas 3 SMA berarti menjadi ketua selamanya dan memiliki keluarga selamanya juga.
BACA JUGA 3 Rekomendasi Film Tema Jurnalistik dari Kisah Nyata dan tulisan Sirojul Khafid lainnya.