Harus diakui bahwa film Milea: Suara dari Dilan (2019) adalah puncak kesedihan dari dua seri sebelumnya. Walau diselipkan beberapa flashback yang membosankan, tetap saja perpisahan dua pasangan ikonik bagi remaja masa kini menghadirkan sisi sendu. “Kok mereka beneran putus, sih?” atau “Harusnya Dilan peka!” bergentayangan dari mulut para penikmatnya selepas keluar dari bioskop.
Banyak yang mengatakan bahwa kisah cinta mereka adalah hal yang unik. Ada pula yang mengatakan bahwa hubungan mereka tak lebih dari sekadar toxic. Namun, terlepas dari dua hal tersebut, hadirnya visualisasi dari novel karya Pidi Baiq, seakan mengurangi beban berat Rangga yang ia tanggung sejak milenium awal. Bukan saling sikut, menurut saya Rangga dan Dilan adalah ikon pada masing-masing zamannya.
Walau berseting waktu tahun 1990-an, tapi kisah cinta Dilan dan Milea seakan menjadi panutan muda-mudi masa kini. Kita paham betul bagaimana lakunya jaket jeans dengan kerah berwarna coklat di awul-awul Sekaten. Ditambah dengan bendera Amerika kebalik agar terlihat semakin Dilan. Juga, dalih memberikan kado sekarang berubah menjadi sesuatu yang sederhana namun bermakna. Embuh yang diincar itu bermaknanya atau malah irit. Yang jelas, Dilan membuka sebuah babak baru, mau tidak mau, suka tidak suka.
Setelah kita berkenalan dengan Duloh, Dilan-nya mBantul, yang menggambarkan hiruk pikuk adaptasi muda-mudi Bantul dengan kisah cinta ala Dilan. Kini, saya akan menggambarkan bagaimana jadinya jika Dilan lahir di Sleman. Haqqul yakin, tempat nongkrong Dilan bukan di warung Bi Eem, tapi di Burjo Sami Asih. Dan, bukannya sering muter-muter Buah Batu, tapi Dilan yang satu ini sering muter-muter Pogung Raya dengan segala sisi njlimetnya. Singkat kata, beginilah ceritanya.
Namaku Dilan. Dilandino Maldini. Asal Kabupaten Itali, masih doyan makan nasi. Aku telah membaca cerita Milea. Aku terharu karena ia hafal luar dalam masa lalu kami. Dan dalam tulisan ini, aku hanya ingin meluruskan apa yang belum lurus dan membengkokan apa yang sudah bengkok.
Cerita dimulai ketika Piyan, sahabatku yang lebih baik dari kuman, mulutnya wadulan puol dan memberitahu Milea apa pun yang akan aku lakukan. Ia bercerita, ia memberitahu informasi kepada Lia. “Dilan mau berangkat, Lia,” kata Piyan. “Dilan mau olahraga!”
Piyan pun kembali bercerita kepadaku tentang responsnya Lia. Katanya, Lia langsung sesenggukan. Bukan karena nangis, tapi karena kesloloden. Ya, wajar, Piyan bikin Lia kaget karena ia lagi makan jadah tempe. Dengan mulut yang kelet-kelet sangit, Lia bertanya kepada Piyan, “Hah, olahraga? Berantem maksudnya? Kaya Boim Preman Pensiun aja.”
“Bukan, Lia. Dilan mau suporteran. PS. Sleman mau tanding lawan Mitra Kukar!” kata Piyan yang aku yakin dia lagi mampir ke Indomaret Point cuma buat numpang wifi. Padahal, info Piyan itu salah. Sore itu, PS. Sleman akan bertanding melawan Semen Padang. Dasar informan kurang wawasan.
Aku di sini bukan aku yang kalian lihat di bioskop. Bagiku, gelut itu tidak berguna. Tenaga, pikiran, dan kreatifitasku, mending aku tumpahkan ke dalam wadah yang lebih bermanfaat. Aku ikut ekskul berkuda dan tata busana. Di luar akademik, aku ikut Campus Boys untuk mendukung PS. Sleman. Gimana? Lebih mbois ketimbang Dilan versi Iqbaaal a-nya tiga, kan?
Ayolah, gelut antar suporter atau dunia per-klitih-an itu norak, Dap. Ada hal yang lebih indah dan bermanfaat, yakni berteriak sekuat mungkin, demi Super Elja yang sedang mengepakkan sayapnya setinggi mungkin.
Jika Dilan versi film dilabrak Lia di depan mini market, Dilan versiku dilabrak oleh Lia di depan pertigaan Babarsari. Bayangkan saja, ramainya seperti apa. Ngang-ngung ngang-ngung suara bus Jogja-Solo dan suara rem truk gandeng asal Klaten. Hoooalah opo nggak ada tempat lain?
Jika di film Lia datang bersama Hugo, di sini Lia datang bersama mas-mas ojol. Baru turun dari ojol, Lia langsung muntab kepadaku. Ia berniat mengeluarkan quotes andalan yang sering dikutip oleh seleb tweet itu. Begini, “Aku itu pacarmu, Dilan. Aku yang seharusnya….” tiba-tiba, kata-kata yang quoteable itu berhenti.
“Mbak…” kata abang ojol memotong perkataan Lia.
“Nggak usah ikut campur, Mas!” kata Lia kepada mas-mas ojol. Marahnya Milea lebih serem dari debtcollector yang sedang menagih motor tunggakan.
“Aku itu pacarmu, Dilan. Aku yang seharusnya….”
“Mbak…”kata mas-mas ojol lagi, kini dengan pekewuh.
“Opo to, Mas?”
“Kalau mau marah sama pacaranya boleh, tapi mbok ya bayar ongkosnya dulu, Mbak.”
“Oiya,” Lia pun membayar jasa abang ojol tersebut melalui dompet online. Aku yang sudah cepak pakai slayer, bendera, dan semangat penuh untuk suporteran di Maguwoharjo, hanya melihat tingkah yang-ku yang satu ini.
“Jangan lupa bintang lima ya, Mbak…”
Lia bagiku adalah pusat dari segala aktivitas pikiranku. Namun, aku ingin Lia yang dulu, aku harus lebih sabar.
“Aku itu pacarmu, Dilan. Aku yang seharusnya kamu dengar! Bukan teman-teman kamu yang nakal itu!” katanya sambil nunjuk-nunjuk. Berbarengan dengan klakson membahana bus Mira Patas. Nggak tahu nih kenapa Sumber Waras jam segini belum liwat, mungkin masih ngetem di depan JEC.
Lia kembali berkata kepadaku, “Kalau kamu ikutan suporteran, tahu nggak apa yang akan terjadi? Aku akan menghilang dari Sleman!”
Pengin aku bilang ke Lia saat itu. Begini, “Lia, aku pernah berkata kepadamu bahwa kamu cantik, tapi aku belum mencintaimu. Nggak tahu kalau sore. Tunggu aja. Namun, sejak kamu melarang-larang aku nyetadion nonton PS. Sleman, jawabanku hanya satu, aku berharap bahwa sore tidak pernah ada untuk kita. Tapi aku takut bilang itu, aku belum bayar utang waktu kita makan di Mas Kobis.”
Namun, aku hanya bilang seperti ini, “Cinta itu pada dasarnya indah, Lia. Jika bagimu tidak, mungkin kamu salah milih pasangan. Dan… entah kenapa aku merasa mencintai PS. Sleman lebih indah.”
Mak mbribit Lia membuka ponselnya. Ia langsung membuat video TikTok sambil nangis-nangis. Video awalnya menampilan masa-masa uwu kami dahulu. Dimulai dengan meramal kami bakal bertemu di angkringan, hingga aku memberi kado Lia satu kol pasir Merapi.
Lia kasih caption di video TikTok-nya seperti ini, “Kamu pernah bilang sama aku jika ada yang menyakitiku maka orang itu harus hilang. Jika orang itu adalah kamu, maka kamu pun harus hilang…”
Aku hanya bisa nimpali, “Aku pernah bilang kepadamu, aku tidak ingin mengekangmu. Terserah kamu, Lia! Bebas ke mana engkau pergi! Asal aku ikut. Nah, jika di posisi seperti ini, jika kamu khawatir seperti ini, mbok ya ikut saja nyetadion sama aku.”
“Gas, Mz~” kata Lia membuatku kaget.
“Lho tenan?”
“Tenan. Because football has no gender, Mz. Forza Sleman Ale!”
Kami pun tidak jadi putus. Dan Maguwoharjo, bagiku, tidak hanya sekadar teritori belaka. Lebih dari itu melibatkan chants yang tak bisa diungkapkan dengan perasaan yang bersamaku ketika matchday.
BACA JUGA Begini Jadinya Cerita Dilan dan Milea Jika Pidi Baiq Orang Bantul atau tulisan Gusti Aditya lainnya.
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.
Pernah menulis di Terminal Mojok tapi belum gabung grup WhatsApp khusus penulis Terminal Mojok? Gabung dulu, yuk. Klik link-nya di sini.