“Hanya waktu dan diri sendiri yang dapat membuktikan kita dapat berubah atau tidak”.
Seperti itulah potongan DAKI (Dakwah Coki) yang mungkin saja berlaku di banyak hal dalam kehidupan Coki Pardede. Setelah bebas dari masa rehab, Coki terlihat makin saleh secara spiritual, padahal ngakunya agnostik. Dalam hal ini, Romo Yerry unggul tipis dari Bib Jafar, tapi sebelum terlambat, Bib Jafar seharusnya bisa menikung Romo di sepertiga malam.
Welkambek, lord dzulumat, Paman Coki Pardede! Paduka kegelapan yang tak kunjung mendapatkan akses penerangan PLN. Bentuk nyata kesesatan yang tak pernah terjamah oleh operator Google Maps. Coki bisa dikatakan lebih dark dari batubara PLTU, dan lebih sesat dari maps yang belum terupdate.
Kembalinya Coki Pardede dengan humor dark jokes-nya sudah dinantikan oleh banyak penikmat humor gelap. Bagi domba-domba yang kadung terpapar adiktifnya, Coki adalah candu, opium, combo-wombo ultimate yang menjadi puncak tertinggi standar dark jokes. Rasanya hambar kalau mendengar dark jokes tapi bukan dari cocote Coki, ChuaakkzZ.
Buat sebagian orang, memberikan panggung untuk mereka yang problematik seperti Coki, dianggap menghadirkan persoalan baru di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat perlu menjatuhkan stigma sekaligus mendiskriminasi public figur modelan seperti Coki. Akan tetapi, menyamaratakan seorang yang adiktif dengan pendurhaka lain seperti koruptor dan cabul misalnya, rasanya sangat berlebihan dan tidak adil. Toh, pengalaman dan pengetahuan adiktif Coki kenyataannya menjadi pelajaran yang mencerahkan bagi banyak orang, meskipun ujungnya ya cuma ngonten untuk menghasilkan cuan, sattt.
Setelah menghirup udara segar, aura kesalehan Coki kini kian memancar. Orang agnostik seperti Coki memang memiliki pandangan bahwa hal supranatural atau kebenaran tertinggi misalnya soal keberadaan Tuhan tidak dapat diterima akal secara mentah-mentah. Dalam arti lain, seorang agnostik seperti Coki masih berproses mencari kebenaran tertinggi agar agama dan otoritasnya yang melembaga tidak taken for granted. Pencarian seperti ini tentunya tidak dilakukan oleh kita yang menerima agama secara lapang dada tanpa perdebatan.
Hasil dari proses pencarian dengan berbagai macam dialektika dan dialog yang terus-menerus dilakukan, membawa Coki menjadi seorang agnostik yang saleh dan mengenal siapa jati dirinya (makrifat), setidaknya kesan inilah yang bisa kita lihat dalam gagasan-gagasannya di podcast-nya Om Deddy. Coki menjadi pribadi yang lebih berlapang dada terhadap keadaan, dengan tidak menyalahkan siapapun atas kasus yang menjerat, meskipun memang ada cepu di antara pergaulannya.
Pada prinsipnya, kesalehan Coki terlihat dari caranya menghilangkan ego penghakiman yang membawa pikiran dan emosionalnya lebih matang. Coki Pardede juga tidak memiliki kesinisan terhadap siapapun( tapi boong). Ya kalau pun ada, setidaknya dibatin lah ya. Baginya, cepat atau lambat, risiko dari tindakan haram pasti akan terbuka dengan sendirinya, “Semua orang punya sisi gelapnya masing-masing, bedanya ada yang ketahuan dan ada yang tidak”, begitulah kira-kira petuahnya.
Sebagai seorang agnostik, proses pencarian jati diri Coki Pardede menjadi contoh baik bagi teman-teman yang telah memiliki keimanan, untuk terus meng-upgrade diri menuju gerbang-gerbang hachimon, eh, maksudnya gerbang-gerbang wushul dari syariat, tarekat, makrifat, hingga hakikat. Coki mungkin sudah sampai pada tingkat makrifat untuk mengenal dirinya sendiri, namun sayangnya ia masih teralienasi untuk menemukan syariat dalam kehidupannya.
Ya, tidak ada salahnya sesekali Coki berdialog dengan Gus Samsudin untuk menemukan keimanan tersebut, siapa tahu cocok. Ho’oh, tenan.
Penulis: Choirul Huda
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Surat Terbuka untuk Coki Pardede: Jangan Sia-siain Punya Temen kayak Tretan Muslim, Cok!