Kalau kamu mendengar nama Jepara, kemungkinan besar yang muncul di benakmu adalah dua hal: ukiran kayu dan Raden Ajeng Kartini. Dan ya, dua hal itu memang sudah lama menjadi identitas kabupaten kecil di pesisir utara Jawa ini. Bahkan saking lekatnya, Jepara sampai dijuluki sebagai Kota Ukir, karena produksi mebel dan kerajinan ukirnya dikenal sampai ke luar negeri.
Tapi, coba datang ke Jepara hari ini. Kamu akan sadar bahwa suasananya mulai berubah. Bukan, bukan karena ukirannya luntur atau Kartini-nya pindah ke kota sebelah. Tapi karena di beberapa tahun terakhir, pabrik-pabrik garmen tumbuh seperti jamur setelah musim hujan. Kalau kata orang Jepara sendiri, “Iki wis dudu kutha ukir maneh, wes dadi kutha garmen.”
Jepara: pabrik di mana-mana, garmen di mana-mana
Setidaknya, sampai tulisan ini diketik, sudah ada lebih dari delapan pabrik garmen berskala besar berdiri di Jepara. Sebut saja PT HWA SEUNG Indonesia (HWI), PT Kanindo Makmur Jaya, PT Jiale Indonesia Textil, dan beberapa nama lain yang bahkan orang asli Jepara pun kadang belum tentu bisa hafal.
Menurut data dari Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kabupaten Jepara pada 2023, delapan pabrik garmen berskala besar di Jepara saja sudah menyerap lebih dari 45.000 tenaga kerja, yang mayoritasnya adalah perempuan muda usia produktif. Bukan cuma dari Jepara sendiri, tapi juga dari Kudus, Pati, Rembang, bahkan dari luar Jawa.
Sisi baiknya jelas terasa. Angka pengangguran menurun drastis. Ekonomi lokal bergeliat. Orang tua yang dulu waswas anaknya nganggur setelah lulus SMA, sekarang bisa agak lega. Bahkan, banyak pemilik lahan yang dulunya hanya punya sawah satu petak, kini mendadak jadi juragan properti setelah lahannya diborong pabrik.
Dampak ikutan lainnya juga tak kalah menarik. Bisnis kos-kosan naik daun. Warung-warung kopi ber-AC makin banyak. Bahkan, kamu akan gampang menjumpai fenomena “nongkrong di kafe sambil pakai seragam pabrik”, sebuah tren yang dulu mungkin cuma ada di kota besar.
Tapi, setiap rejeki juga punya konsekuensi
Sayangnya, tidak semua yang berkilau itu emas. Di balik geliat ekonomi yang menggembirakan itu, Jepara juga sedang mengalami pergeseran identitas sosial, budaya, bahkan ekologi.
Pertama, soal lingkungan. Lahan pertanian pelan-pelan menyusut, ditukar dengan beton, aspal, dan gudang besar bertuliskan “Export Quality”. Banyak petani yang tergiur menjual sawahnya karena harga yang ditawarkan bisa tiga hingga lima kali lipat dari harga pasaran. Tapi ketika sawah sudah jadi pabrik, mereka baru sadar: lahannya hilang, dan mereka harus jadi buruh di tanah sendiri.
Kedua, polusi dan kemacetan mulai jadi makanan sehari-hari di kawasan industri. Dulu, di daerah seperti Pecangaan atau Kalinyamatan, kamu masih bisa dengar suara burung di pagi hari. Sekarang, yang terdengar adalah klakson truk dan deru mesin genset.
Ketiga, dan mungkin yang paling genting: iklim pendidikan mulai bergeser. Banyak anak muda lebih memilih kerja di pabrik setelah lulus SMA daripada melanjutkan kuliah. Alasannya sederhana: kerja langsung dapet duit, kuliah belum tentu. Tapi dampaknya bisa serius, karena dalam jangka panjang bisa menyebabkan stagnasi kualitas SDM dan hilangnya generasi intelektual dari kampung-kampung Jepara.
Belum lagi soal gaya hidup. Gaji UMR bikin dompet tebal, tapi juga mendorong perilaku konsumtif. Nongkrong wajib di kafe, beli HP wajib iPhone, dan gaya hidup “ora branded ora urip” makin menjamur. Kalau tidak disertai dengan edukasi finansial dan manajemen gaya hidup, kita hanya sedang menyaksikan lahirnya generasi dengan penghasilan tinggi tapi tabungan nol.
Jepara Kota Ukir tanpa tukang ukir?
Ironisnya, di tengah ledakan ekonomi dari industri garmen, sektor ukir yang menjadi roh identitas Jepara justru mulai meredup. Banyak pengrajin ukir mengeluh sulitnya mencari penerus. Anak-anak muda yang dulunya diajak belajar ukir di sanggar atau workshop, sekarang lebih tertarik masuk pabrik karena gajinya pasti, kerjaannya tetap, dan jam kerjanya jelas.
Kalau dibiarkan, bisa jadi 10–15 tahun lagi, kita hanya akan mengenang Jepara sebagai kota ukir dari buku sejarah. Sebab, tukang ukirnya sudah tak ada, dan pasar mebelnya kalah saing dengan produk pabrikan.
Jadi, apa solusinya?
Bukan berarti kita harus anti terhadap pabrik. Industri garmen jelas memberi kontribusi nyata bagi ekonomi Jepara. Tapi pemerintah daerah dan masyarakat perlu mulai menyusun strategi jangka panjang, agar ledakan ekonomi ini tidak menghancurkan karakter lokal.
Salah satunya dengan mengintegrasikan pendidikan vokasi ukir dan garmen di sekolah-sekolah kejuruan. Mendorong regenerasi pengrajin muda, dan mengembangkan industri kreatif berbasis kearifan lokal. Toh, garmen dan ukir bisa bersinergi. Siapa tahu, suatu hari kita bisa lihat merek fashion lokal dari Jepara yang desainnya gabungan batik, ukiran kayu, dan estetika tradisional lainnya. Kan keren.
Jadi, mari kita akui realitasnya: Jepara hari ini bukan cuma kota ukir. Tapi juga kota garmen. Dan itu sah-sah saja. Asal jangan sampai kita kehilangan yang pertama, hanya karena terlalu sibuk mengejar yang kedua.
Penulis: Muhammad Sya’dullah Fauzi
Editor: Rizky Prasetya
BACA JUGA Jepara Ketinggalan Zaman, tapi Warganya Tetap Bahagia
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.


















