Mungkin saya orang pertama yang menganggap Jember tempat yang cocok untuk slow living. Iya, daerah dengan julukan Kota Tembakau itu cocok untuk mereka yang menginginkan kehidupan yang tidak terburu-buru demi mencapai kepuasan hidup. Banyak orang salah kaprah menyamakan slow living dengan pemalas. Itu keliru. Slow living berarti lebih memberi fokus pada rutinitas dan hal-hal atau detail-detail kecil.
Nah, menurut saya, Jember adalah daerah yang cocok untuk menopang gaya hidup itu. Di bawah ini beberapa alasannya.
Daftar Isi
#1 Lokasi Jember yang strategis
Jember adalah salah satu kabupaten strategis di Jawa Timur. Jember terletak di antara kota-kota yang menjadi pilar industri dan wisata di Jawa Timur, yaitu Surabaya, Malang, dan Banyuwangi. Lokasi yang strategis ini memudahkan kalian untuk bepergian.
Ingat, slow living bukan berarti hidup bermalas-malasan dan mendekam di satu tempat. Demi mencapai kualitas hidup yang paripurna, sesekali bepergian untuk healing juga boleh kok.
#2 Transportasi Jember memadai
Jember mudah dijangkau dengan berbagai transportasi. Mau ke Jember lewat darat, kalian bisa menggunakan bus maupun kereta api. Kebetulan kabupaten ini terhubung oleh jaringan kereta api yang ada di Pulau Jawa. Naik bus juga bukan perkara sulit, jalanan menuju Kota Tembakau ini sudah mulus. Bahkan, ada jalan tol untuk mempersingkat waktu perjalanan darat. Mengakses Kota Tembakau lewat udara juga tidak mustahil. Di Jember ada Bandara Notohadinegoro. Bandara ini melayani penerbangan domestik.
Untuk mobilitas di dalam kota, Jember punya Terminal Tawang Alun yang bisa diandalkan. Ada bus AKAP (Antar Kota Antar Provinsi), bus AKDP (Antar Kota Dalam Provinsi), bus Trans Jember, dan angkot (angkutan kota). Kalian ingin berkendara dengan jasa kendaraan online? Di Jember sudah ada Gojek dan Grab juga, Mat.
#3 Biaya hidup murah
Slow living bukan berarti seseorang menjalani frugal living. Namun, apapun gaya hidup kalian, tidak ada salahnya untuk memilih daerah dengan biaya hidup yang ramah di kantong. Nah, Jember adalah salah satu daerah yang masuk dalam daftar itu.
Bayangkan saja, selain transportasi yang murah, makanan di jember juga murah meriah. Dengan uang Rp5.000 sudah dapat nasi pecel/nasi jagung/nasi kuning/nasi campur. Bahkan, dengan uang Rp3.000 sudah bisa menikmati segarnya soto bening. Beneran? Bener Mat. Coba browsing Warung Soto Bening Mbah Kromo, semangkuk soto harganya mulai dari Rp3.000-an.
Berbicara soal kuliner, Jember tidak kalah dibanding daerah lain. Mulai dari yang otentik seperti Pecel Lumintu dan berbagai makanan legendaris lain hingga kafe-kafe estetik juga banyak. Bukankah slow living makin nikmat jika makanannya enak?
#4 Wisata jangan ditanya!
Jember punya keindahan alam yang memukau dan asri. Menurut saya inilah yang paling membuat saya bilang “Jember tempat yang cocok untuk slow living”. Alam yang hijau dan udara yang segar menciptakan suasana yang tenang dan damai, lingkungan ini saya temui di kawasan Kebun Teh Wonosari.
Nah, kalau pengen yang hijau-hijau dan ada airnya bisa ke Air Terjun Tumpak Sewu. Terus kalau saya ingin mendinginkan pikiran dan menikmati waktu yang berkualitas saya pergi ke tepi laut. Alternatifnya banyak banget, bisa ke Teluk Love, Pantai Pancer, Pantai Payangan, Pantai Watu Ulo, dan Pantai Papuma. Bohhhh, senja di Pantai Papuma ini nih yang indahnya kayak apotek tutup, nggak ada obat. Konon Pantai Papuma dijuluki Raja Ampatnya Jember.
#5 Jember yang masih kental akan budaya
Jember menjadi salah satu daerah di Jawa Timur yang paling getol menyelenggarakan kegiatan budaya. Kalian pernah dengar Jember Fashion Carnaval (JFC)? Agenda ikonik ini menggabungkan antara fesyen dengan kegiatan seni budaya lain. Bahkan, JFC masuk dalam Top 10 Karisma Event Nusantara 2024, dilansir dari laman resmi Kemenparekraf (https://kemenparekraf.go.id/).
Selain JFC, ada pula Festival Parade Pegon yang dirayakan di Pantai Watu Ulo. Masih banyak banget festival-festival seru yang bisa dihadiri untuk mengenal budaya sambil hidup slow living.
Soal budaya, sebenarnya Kota Tembakau ini sangat kaya dan menarik untuk dikulik. Misal, budaya Pandhalungan yang merupakan percampuran antara Jawa dan Madura. Meskipun kaya akan akulturasi budaya, interaksi sosial masyarakat setempat sangat hangat dan menarik untuk dikulik. Lama-lama bikin betah.
Saya rasa poin ini sudah cukup menjelaskan Jember tempat yang cocok untuk slow living. Segelintir orang di luar sana saya rasa juga merasakan apa yang saya rasakan. Saya pun yakin banyak warlok (warga lokal) yang sekarang sedang merantau di dalam hatinya tetap rindu Jember dan ingin kembali untuk slow living di usia senjanya.
Penulis: Mulia Annisa Rahma
Editor: Kenia Intan
BACA JUGA Pantai Papuma Memang Indah, tapi Orang Jember Malas Berwisata ke Sana
Terminal Mojok merupakan platform User Generated Content (UGC) untuk mewadahi jamaah mojokiyah menulis tentang apa pun. Submit esaimu secara mandiri lewat cara ini ya.